“Ayo, langsung masuk! Seperti rumah siapa saja.”
Ujar Jawwis pada Leona yang mematung di depan pintu, meyakinkan agar tak perlu sungkan-sungkan. Itu sekaligus karena Jawwis juga berniat masuk rumah, dengan mematung seperti itu sama saja Leona menghalangi.
“Maaf ya, tidak membantumu menggendong tas itu.”
“Ah! Kalau kamu terhuyung ke belakang, jatuh, aku juga yang repot. Cepat sembuh ya!”
Leona baru saja menyetrum hatinya. Krinying-krinying. Perasaan itu, hadir lagi. Ah, sebenarnya tak pernah pergi sejak pertama kali ada.
Perasaan itu pertama kali hadir di suatu sore. Bukan, bukan waktu Leona memergokinya memakai jas hujan hitam totol-totol putih, melainkan hari di mana dia dan Leona terjebak hujan, tepatnya saat orang baru itu -si Leona- menanyakan kenapa hari itu sorot matanya seperti orang sedih, apakah selalu begitu setiap kali hujan turun. Ah, semanis itu pertanyaan anak pandu bernama Leona bagi Jawwis.
“Manis betul pertanyaan gadis itu.”
Puji Jawwis dalam hati kala itu, saat Bang Leonel yang merapatkan mobil ke pinggiran jalan SMA Namaterang sudah sampai di hadapan mereka.
“Woi! Wis! Bilang aamiin atau apa gitu.”
“Oh, iya. Aamiin, pasti cepat sembuh, kok. Ini cedera ringan.”
Jawwis yang sempat terseret dalam ingatan masa lalu telah kembali. Namun, perasaan krinying-krinying nya tidak hilang begitu saja. Ya Allah, sekarang Leona malah tersenyum padanya. Krinying-krinying kuadrat, deh.
“Gitu dong!”
Habis kalimat Leona segera berlalu. Senyum yang singkat, baper yang berkepanjangan. Baper kubik, deh.
“Eh, omong-omong mana tuan rumah?”
Leona balik badan.
“Lah. Aku, bukan ya?”
“Maksud ku Kak Anjumi dan Bang Leonel.”
“Oh, paling di dapur.”
“Langsung, nih?”
“Iya. Masuk aja. Tas nya taruh kamar dulu. Itu kamar tamunya. Kata Kak An sudah dibersihkan sama Bi Markonah kemarin.”
Leona mengalihkan pandangan pada kamar yang ditunjuk Jawwis. Ia manggut-manggut lalu berjalan menuju ke sana. Ia taruh tas di depan pintu kamar.
“Eh, masukin aja!”
“Gak sopan, tahu. Mau salaman dulu dengan mereka.”
“Terserah si paling sopan, deh. Aku mau duduk saja di sini. Jangan lama-lama temu kangen nya, kalau kamu jadi ikut aku ke dokter.”
Jawwis segera duduk di sofa yang berada di ruang tamu. Saat Jawwis sudah di penghujung kalimat Leona ngibrit menuju dapur.
“Eh.. adik Abang yang paling cantik sudah datang.”
Anjumi yang awalnya tenang, mencuci beberapa telur terkejut karena suaminya, sebenarnya lebih ke ucapan suaminya. Leona, sudah datang?
“Eh.. adik Abang yang paling cantik sudah datang,” Leona menirukannya dengan gerakan bibir yang dibuat-buat.
“Ya jelas, kan adikku cuma satu. Kalau ada satu lagi yang perempuan pasti cantikan dia.”
“Ck... Assalamualaikum, Abang, Kak!”
“Eh Leona.”
Untung satu pun telur tidak pecah.
“Waalaikumsalam. Aku pikir Jawwis abang-abang lambe tok, lho.”
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan Berarti) Ia Takluk Oleh Hujan
Teen FictionKita akan mengerti setelah membaca semua. Bukan, membaca bukan hanya tentang sesuatu yang tersurat, kita harus membaca sesuatu yang tersirat pula. Bahkan selayaknya mencari tahu tentang yang samar agar pemahaman kita tentang suatu kisah menjadi semp...