“Jawwis!”
Setelah hening beberapa saat Leona mengawali perbincangan.
“Hmmm,” jawab Jawwis tanpa mengalihkan pandangannya dari gawai.
“Sedang tidak baik?" tanya Leona hati-hati.
Remaja laki-laki yang tadinya sibuk dengan gawai nya spontan menoleh ke lawan bicara. Mungkin tatapan matanya terlalu tajam bagi Leona sehingga Leona yang tadinya memperhatikan Jawwis mengalihkan pandangannya.
“Bagaimana maksudmu? Hai Leona, jangan memalingkan wajah saat diajak bicara!”
“Ah, kamu juga, tadi tidak memperhatikan ku,” jawab Leona sedikit berbisik, tetapi terdengar jelas oleh Jawwis.
“Oh, kamu pendendam ya? Baiklah aku minta maaf. Kenapa kamu menanyakan hal itu, sedang tidak baik katamu, memangnya aku terlihat seperti orang sakit?”
Setelah selesai dengan kalimatnya Jawwis kembali menatap layar gawai nya, namun bukan untuk memainkannya melainkan mematikan daya. Hal ini membuat Leona tersenyum di dalam hati, seolah Jawwis benar-benar mengindahkan titahnya untuk tak mengalihkan pandangan saat diajak bicara yang tertuang dalam kalimatnya ‘ah, kamu juga, tadi tidak memperhatikan ku.'
“Tidak. Aku hanya ingin bertanya, tetapi aku harus memastikan kamu dalam mode perasaan baik, good mood.”
“Iya, saya dalam keadaan baik. Mau tanya apa?”
“Soal hujan, apa—”
“Assalamualaikum.”
Suara laki-laki membuat Anjumi terkejut, segera ia menutup buku harian Leona yang ia baca dan menaruhnya di laci lemari dapur, pikirnya itu tempat yang cukup aman untuk menyimpan beberapa saat. Buku harian Leona yang ia baca memang sangat menarik, tetapi ia harus mengutamakan menyambut tamu, apa lagi kalau tamunya adalah suaminya sendiri, ya walaupun kurang tepat istilah tamu untuk tuan rumah.
“Waalaikumsalam, sebentar Mas.” ujar Anjumi sambil setengah berlari.
Anjumi tak perlu membuka pintu sebab memang pintunya tak ditutup, bahkan dibuka lebar karena masih sore. Didapatinya suami tercinta yang memakai kaos pendek warna biru muda polos, bercelana cargo jogger putih tulang menenteng kresek lumayan besar yang didalamnya terdapat sebuah nasi box. Anjumi segera merebut kresek tersebut lalu berujar, “lebih enak mana ya masakan Chef Anjumi atau Chef Leo? Mari kita coba!”
“Salim dulu dong! Kok malah sibuk sama makanan.”
Anjumi tersenyum cengengesan mendengar teguran itu. Segera ia menjabat tangan suaminya dan mengecup punggung tangan.
Pasangan yang usia pernikahannya masih satu catur wulan ini segera masuk ke dalam rumah. Mereka segera menuju ke dapur, Anjumi demi menikmati masakan suaminya sekaligus memastikan masakan yang juga dijual di rumah makannya ini layak mendapatkan minimal bintang empat, sementara sang suami yakni chef Leo demi segera melihat aura kebahagiaan Anjumi saat menyantap masakannya. Ya, chef yang satu ini terlampau percaya diri bahwa masakannya enak.
“Sesuai passion kan Mas kerja di rumah makan? Masakan kamu enak lho, kenapa tidak dari dulu saja ngelamar kerja di rumah makan ku?” tanya Anjumi tepat disaat ia menaruh nasi box di atas meja makan.
“Kalau ceritanya begitu ya mungkin aku sudah malas lanjut kuliah, lebih baik di rumah makan mu, kerja sekaligus curi pandang ke CEO.”
Tentu saja CEO yang dimaksud adalah istrinya sendiri, Anjumi.
“Yayaya,” jawab Anjumi singkat.
“Mari kita coba,” Anjumi membuka box demi segera menyantap makanan di dalamnya.
“Jangan hanya dicoba, habiskan, enak kok.”
Box itu berisi nasi yang dicetak kotak, rendang, perkedel, dan tentunya sayur khas masakan nasi Padang. Itu merupakan menu 'Rumah Makan Anjumi' terfavorit pasangan ini, khususnya Anjumi.
“Hmmm, iya, enak.”
Anjumi tipe orang yang apabila merasakan masakan enak komentarnya sebatas ‘enak’, ia lebih memilih untuk melanjutkan makan sampai habis baru memberi imbuhan komentar.
“Aku tahu, bagimu ini enak sekali bukan?”
“Hmm, ya,” jawab Anjumi sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Tadi Leona ke rumah makan.”
“Terus?" tanya Anjumi setelah yang ia kunyah tertelan dengan sempurna.
Anjumi melanjutkan makannya sambil mendengarkan lelaki yang duduk tepat di samping kanannya.
“Katanya ia ingin menginap di sini beberapa hari."
Mendengar itu Anjumi langsung tersedak. Ia memukul mukul meja secara perlahan, tetapi Leo tak paham.
“Air, air! Minta tolong!"
Uhuk.. uhuk.. Anjumi masih dengan masalah yang sama.
“Hati-hati dong kalau makan," ujar Leo sambil menyodorkan segelas air putih.
“Kamu tidak suka Leona menginap? Kalau tidak suka tidak apa-apa, nanti aku carikan alasan yang masuk akal agar ia mengurungkan niatnya.”
Bukannya tidak suka Leona menginap di rumah ini, ia hanya tiba-tiba teringat dengan buku harian Leona yang sekarang disembunyikannya di salah satu laci lemari dapur. Buku harian Leona itu Anjumi dapatkan sebulan yang lalu saat ia membantu ibu mertua -yang merupakan ibu dari Leona dan Leo, ya, Leo satu ini yang sekarang menjadi suami sah Anjumi adalah Leonel, abangnya Leona- membersihkan gudang. Ia simpan buku itu sebulan lamanya dan baru mulai ia baca hari ini, tepatnya dua jam yang lalu.
Dari pada buku harian sebenarnya Anjumi lebih memilih untuk menyebut buku tersebut ‘novel’, tapi saat ia baca sekilas ternyata hanya terdiri atas sepuluh bab dan sebuah prolog sehingga dirasanya belum layak disebut novel, tidak tahu lagi kalau novelet, ia belum memastikan kriteria novelet. Anjumi hampir berhasil membaca seluruh bab, bab berjudul “Terjebak Hujan” adalah bab terakhir, ia sudah sampai di sana tetapi belum menamatkannya. Untuk membaca sepanjang itu Anjumi memerlukan waktu 2 × 45 menit dengan jeda 15 menit setelah 45 menit yang pertama, seperti waktu bermain sepak bola.
“Anjumi!”
Seruan Leo berhasil membawa Anjumi keluar dari lamunannya tentang buku harian Leona.
“Oh ya, maaf Mas. Boleh kok Leona menginap di sini. Aku tersedak karena aku tiba-tiba teringat sesuatu.”
“Tentang Leona?”
“Iya. Aku lupa menaruh earphone miliknya yang ku pinjam di mana, takut ia menagih.”
Tak sepenuhnya berbohong, Anjumi memang pernah meminjam earphone milik Leona dan belum mengembalikannya.
“Astaga, ku kira apa. Ya sudah, lanjutkan makan, aku mau mandi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan Berarti) Ia Takluk Oleh Hujan
Teen FictionKita akan mengerti setelah membaca semua. Bukan, membaca bukan hanya tentang sesuatu yang tersurat, kita harus membaca sesuatu yang tersirat pula. Bahkan selayaknya mencari tahu tentang yang samar agar pemahaman kita tentang suatu kisah menjadi semp...