Hanya Gerimis, Tenang

37 13 2
                                    

Sore ini segelintir pelajar SMA Namaterang harus menunggu jemputan untuk bisa pulang. Bagi mereka ini seperti hari-hari lalu, terasa membosankan memang menunggu jemputan, tetapi begitu jemputan datang mereka tinggal menikmati perjalanan pulang ke rumah, duduk manis dalam boncengan atau entah apa istilah yang tepat bila mobil. Leona adalah bagian dari segelintir itu, dan dia menikmati nya sekaligus merasa beruntung.

Dari segelintir ini ada yang tak beruntung, sudah harus menunggu begitu sampai jemputan nya ia yang harus mengambil alih kemudi, membonceng. Tetapi karena manusia tergolong atas beberapa tipe dalam berkendara, ada yang suka berkendara seorang diri, ada yang suka dibonceng, maka pasti ada juga yang lebih suka membonceng. Jadi beberapa orang yang di kaca mata Leona tak beruntung -karena harus membonceng, sebab pilihan pertama Leona sendiri adalah dibonceng, berkendara seorang diri, lalu terakhir membonceng- justru tak merasa demikian, teman-teman Leona yang tipe lebih suka membonceng dari pada dibonceng seluruhnya anak yang suka berkendara dengan kecepatan tinggi, sebagai contoh Warda.

"Leona!"

"Oh Warda, belum dijemput?"

"Belum, tapi aku berani bertaruh sekalipun yang dijemput duluan kamu yang sampai duluan di rumah adalah aku."

Jawaban Warda terkesan cukup panjang untuk sekedar menimpali pertanyaan basa-basi Leona.

"Sayang sekali aku tidak mau bertaruh untuk itu. Mari bertaruh perihal Jawwis saja, haha.."

Dewasa ini -atau mungkin sedari dulu- dalam dunia pertemanan perempuan sering terjadi kisah cinta segitiga yang anehnya masing-masing dari orang yang menyukai laki-laki yang sama itu blak-blakan, bahkan mereka berjanji untuk bertarung sehat. Salah satu contoh adalah Leona dan Warda, mereka teman akrab yang sama-sama menyukai Jawwis.

"Katanya bertaruh dosa."

"Bercanda, lagi pula aku juga tidak ambisi mendapatkan Jawwis," jawab Leona dengan entengnya.

"Eh, aku sudah dijemput," ujar Warda.

Leona mencari keberadaan kendaraan milik temannya, ketemu, mobil merah yang masih merayap di jalan depan SMA Namaterang.

"Oh iya. Hati-hati di jalan, jangan ngebut!" teriak Leona seolah titahnya bagi Warda bukan sekedar angin yang berhembus.

Tepat saat supir Warda turun dari mobil -hendak tukar kursi karena majikannya lah yang akan mengemudi- Leona duduk di salah satu bangku permanen pelataran sekolah dan melepas tas nya lantaran rasa tidak nyaman pada sepasang pundaknya. Tas itu ditaruhnya terpaut kurang lebih sepuluh sentimeter di sisi kanannya.

"Padahal mau duduk di sini. Harus ya cari bangku lain?"

"Oh Jawwis, duduk saja, silakan, aku ambil deh tasku."

Leona mengambil tasnya demi tukang pukul nomor satu SMA Namaterang itu bisa duduk sebangku dengannya.

"Bercanda, aku harus segera pulang sebelum hujan. Aku hanya ingin mengembalikan..."

Jawwis memberi jeda, niatnya menyebut nama barang bersamaan dengan memberikan barangnya pada si empu.

"Astagfirullah, aku lupa. Maafkan aku Wis."

"Maaf untuk?"

Kini Jawwis fokus pada lawan bicaranya sehingga urung mengeluarkan tepak makan dari tasnya.

"Seharusnya aku memberikan isi bekalmu di atas piring seperti kemarin siang," Leona merasa bersalah.

Jawwis hanya fokus pada lawan bicaranya yang menurutnya berlebihan, ia tak merasa dirugikan sedikitpun. Kalau Leona bukanlah orang yang baru Jawwis kenal pastilah Jawwis menertawakannya, yang Jawwis lakukan sekarang hanya menahan tawa sambil mendengarkan Leona sampai di penghujung kalimat 'pengakuan dosa'.

(Bukan Berarti) Ia Takluk Oleh HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang