Remaja Yang Takluk Oleh Hujan

78 19 18
                                    

Remaja laki-laki itu berjalan dengan santainya di bawah hujan lebat yang yang mengguyur kawasan SMA Namaterang. Dengan jas hujan hitam totol-totol putihnya ia tak lebih dari remaja lelaki yang takluk oleh hujan.

Jauh di belakang remaja laki-laki itu seorang remaja perempuan berseragam pramuka dengan atribut lengkap berjalan cepat demi tidak kehilangan jejak remaja laki-laki itu. Hal itu dikarenakan remaja laki-laki itu lebih tinggi beberapa senti, wajar saja langkahnya lebih panjang.

Remaja laki-laki itu bernama Jawwis Samak Argawinata, biasa dipanggil Jawwis. Ia mempunyai gelar 'Tukang Pukul Nomor Satu SMA Namaterang'.

"Kenapa mengikuti ku?"

Merasa dibuntuti Jawwis protes.

Jarak antara dua insan yang sama-sama duduk di bangku kelas 11 SMA ini kini hanya sekitar 2 meter. Akhir-akhir ini Leona memang sering berjalan cepat, mudah baginya membuntuti seseorang sekalipun seorang remaja  lelaki seumurannya -yang hampir bisa dipastikan langkah normalnya lebih panjang dari langkah normal Leona. Yah, apalagi remaja laki-laki ini berjalan dengan sangat lambat bak seorang yang berusaha merekam detail suatu tempat dan tak mau sedikit pun titik terlewatkan.

"Kenapa kamu mengekor?"

Jawwis mengulangi pertanyaan dengan redaksi lain, dengan suara yang lebih lantang.

"Oh, aku? Tidak, aku hendak ke seberang jalan, naik ojek motor itu untuk bisa pulang."

Leona berani memastikan Jawwis merasa terusik dengan kehadirannya. Mungkin Jawwis tak ingin ada yang tahu kalau dia pulang dengan jas hujan -polkadot itu.

"Permisi Jawwis."

Demi sopan santun.

Leona mengurungkan niat membuntuti Jawwis. Se-terpesona apapun Leona pada Jawwis. Leona tak pernah mengesampingkan gelar yang Jawwis miliki, sekalipun busana Jawwis kali ini begitu kontras dengan gelarnya.

Ini titik terangnya. Kata terpesona. Wanita ini tak percaya. Jadi Leona menaruh rasa pada Jawwis.

“Siapa juga yang mau kowar-kowar. Seharusnya jangan aku yang berada di situasi ini."

Leona tak berbisik, namun suaranya jelas tak akan terdengar oleh Jawwis. Hujan lebat.

'Keren iya, tampan apalagi, tapi sayang takluk oleh hujan.'

Leona terus berjalan meninggalkan Jawwis yang mematung di tempat. Sesekali menoleh ke belakang. Tak lupa ia berdoa di dalam hati semoga abangnya segera menjemput. Kalau tidak apa yang harus ia perbuat? Apa iya ia harus naik ojek motor yang sebenarnya belum ia ketahui orang yang berhenti di seberang jalan dengan jas hujan yang kelihatannya lebih kaku dari jas hujan Jawwis itu tukang ojek atau bukan. Seandainya orang itu memang tukang ojek pun ia tak mau mengeluarkan uang, lebih baik menunggu jemputan abangnya.

"Hei, Leona! Namamu Leona, to?"

Meski Leona yakin pendengarannya belakangan ini baik-baik saja ia tetap berusaha memastikan apa yang ia dengar itu benar dengan mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke mukanya sendiri.

Jawwis mengangguk mantap.

"Dengar ini baik-baik, jangan sampai siapa pun tahu dari mu bawa aku pulang menggunakan jas hujan.”

Komando rupa larangan oleh Jawwis. Seperti ultimatum.

Leona mengangguk mantap sebagai tanda sepakat lalu segera membalikkan badan, berjalan meninggalkan Jawwis.

"AKU BUKAN REMAJA LAKI-LAKI YANG TAKLUK OLEH HUJAN."

'Norak!'

“WOI. KRUNGU?”

'Berisik. Iya, iya.'

Leona segera berbalik badan lalu mengacungkan jempol. Berbalik badan lagi sekarang. Ah, bolak-balik badan terus.

Sebuah mobil merapat ke kiri jalan. Dari tempat Leona berdiri sekarang -lurus menghadap ke arah gerbang yang terbuka- mobil itu hanya terlihat bagian depannya saja. Kaca mobil di turunkan, remaja laki-laki yang terpaut tiga tahun lebih tua dari Leona melambaikan tangan ke arah Leona. Dalam hati Leona bersyukur sebab  itu adalah abangnya. Kalau tidak segera datang apa iya ia harus naik ‘ojek' itu?

"Abang lama banget sih."

"Kenapa kau main hujan?"

Perhatian itu adalah formalitas semata, orang ini adalah orang yang sama yang menyuruh Leona naik ke atap rumah saat hujan deras.

"Jangan seperti itu, sok peduli. Siapa tadi yang menyuruhku untuk naik ke atap rumah, heh? Kang sate?"

"Ya ya maaf. Sekarang cepat masuk. Eh tapi...  duduk di belakang ya!"

Leona menurut saja meski sebenarnya ia lebih suka duduk di muka, di samping abangnya. Lagipula suasana hatinya kan sedang buruk karena sikap sok perhatian Leonel.

Leonel segera menjalankan mobil begitu Leona duduk dengan sempurna lengkap dengan sabuk pengaman yang melingkari. Tidak ada percakapan antara kakak-beradik ini. Si Leona masih kepikiran Jawwis sementara Leonel, ah, dia takut kena semprot Leona.

Hening. Tidak masalah, daripada berisik karena pertengkaran tidak penting.

"Itu Jawwis Bang. Iya, itu. Kejar Bang!"

Titah Leona pada abangnya saat seorang laki-laki yang menggunakan sepeda motor cross membalap mobil yang mereka kendarai.

Sebenarnya Leonel adalah tipe orang yang suka mengendarai motor ataupun mobil dengan kecepatan rendah, tapi kali ini ia bersedia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi demi tak bertambah buruknya suasana hati sang adik. Satu lagi imbuhan, sama dengan Leona, Leonel juga penasaran dengan sosok Jawwis.

Sungguh, Leonel tak kehilangan jejak motor cross yang melaju dengan kecepatan cukup tinggi tersebut. Jarak antara mobilnya dengan motor cross itu sekitar 3 sampai 4 meter saja. Leonel mengikuti ke manapun motor cross itu melaju.

Hujan masih mengguyur, masih lebat. Jalanan pun jelas menjadi licin. Tapi motor cross itu, ah, tetap melaju kencang. Maka mobil ini pun harus begitu, melaju kencang.

Sampai lah Leonel pada suatu tempat yang asing.

"Kamu tahu ini daerah mana?"

"Tidak,"

Leona adalah anak rumahan. Tidak tahu jalanan-jalanan kota selain yang ia lewati biasanya -untuk pulang pergi  sekolah.

"Tapi sepertinya ini jalan menuju rumah Jawwis," imbuh Leona.

Mendengar itu Leonel menurunkan kecepatan mobilnya.

"Kenapa jadi pelan?"

"Untuk apa kalau tujuannya hanya rumah? Mau bertamu?”

“Kalau tujuannya tempat nongkrongnya sih aku mau, sekalian aku ingin tahu pergaulannya di luar sekolah,” imbuh Leonel.

Leona tak mau uring-uringan. Mengalah. Ia sandarkan badannya pada kursi. Sementara itu Leonel yang tak merasa bersalah segera memutar balik arah laju kendaraan ini. Keadaan pun hening kembali, bersamaan dengan itu suara hujan menjadi lirih. Hujan lebat telah berubah menjadi gerimis.

Perempuan ini menghela napas panjang. Bersiap untuk bab berikutnya.

***

(Bukan Berarti) Ia Takluk Oleh HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang