Makan bersama lawan jenis yang dicintaii, disukai, ditaksir, di- apa lah yang sebangsa itu seharusnya romantis. Apalagi perdana seperti ini. Tak peduli sepasang muda-mudi ini didampingi kakak dari masing-masing mereka, bukankah malah seperti pertemuan calon keluarga. Ah, salah, mereka bukan lagi calon keluarga, mereka telah menjadi keluarga sejak pernikahan kakak mereka. Masih bisa dibilang romantis, kah? Ah, ya tergantung siapa yang menilai.
Lupakan romantisme. Beberapa makanan yang tersaji di meja menggugah selera. Seluruh makanan itu cipta karsa seorang juru masak amatiran, sang gadis umur 19 tahun yang gagal melanjutkan kisah asmaranya dengan remaja laki-laki yang duduk bersebelahan dengannya.
"Enak banget, eumm... Tapi, Ka-"
Uhuk... uhuk...
Kalimat Jawwis terjeda, tersedak sebab menelan bulat-bulat pentol krikil yang ada dalam capjay -bicara saat makan juga jadi penyebab, bisa jadi malah menelan bulat-bulat pentol krikil itu adalah faktor pendukung ia tersedak saja, faktor utamanya bicara saat makan.
"Minum dulu, minum."
Jangan kira ini lazimnya kisah muda-mudi yang akan (alias mulai tumbuh benih), sedang, atau pernah saling jatuh cinta, yang melempar dan mencari perhatian. Yang menawarkan segelas air putih pada Jawwis adalah orang yang duduk bersilangan dengannya, kakaknya sendiri, Anjumi.
Leona. Pemudi yang malam ini pertama kali makan bersama dengan lawan jenis yang ia -ia apa ya? Ia taksir saja deh, mungkin kata taksir lebih tepat untuk kisah cinta yang kini terasa rumit.
Leona. Seorang gadis yang hampir tak pernah lagi mendambakan romantisme.
Leona. Juru masak amatiran yang sebenarnya sangat anti dengan sesuatu yang berhubungan dengan kedapuran. Juru amatiran yanmg terpaksa masak demi menuruti permintaan bumil muda, istri dari abangnya, siapa lagi, Anjumi.
Leona. Seorang gadis berusia 19 tahun yang gagal melanjutkan kisah cintanya dengan remaja laki-laki yang duduk bersebelahan dengannya, Jawwis.
Apapun kalimat yang merujuk alias menjadi devinisi dari Leona. Apa peduli kalian? Pokok gadis itu, gadis yang bernama Leona itu, ia melirik Jawwis yang memuji masakannya. Pikirnya pujian itu tidak lebih dari ejekan. Sebagai runtutan kejadian setelah merasa diejek -ia melirik, kemudian- ia membiarkan Jawwis yang tersedak, tak menawarkan minum.
"Makasih Kak An, untung saja -hei! Kenapa liat-liat?"
Jawwis tanpa sengaja menoleh ke arah Leona dan mendapati gadis itu melirik ke arahnya. Lirikan tajam! Jawwis berlaga balik menatap tajam Leona demi reaksi lucu, misal langsung menghindari kontak mata, atau gelagapan menjawab pertanyaannya.
Di luar dugaan Jawwis, Leona kini malah duduk persis menghadapnya. Leona menatap lekat-lekat matanya. Ah, Jawwis kalah, kalah telak!
"Heh!" Jawwis yang duluan melepas kontak mata mereka.
"Kamu ini kenapa? Ck.. Ah, aku salah apa?" lanjutnya kesal.
"Masakan!" Anjumi memberi kode jawaban atas pertanyaan Jawwis.
"Apa, Kak? -Oh, masakan; kamu yang masak -hahaha.."
Leona mematut bibir. Aduh, pujian yang berakhir pertangkaran kecil. Pertengkaran antara saudara ipar. Dasar Leona, dipuji kok malah marah. Jawwis pula, kenapa malah sekarang ber-hahaha ria?
"Aku tahu masakanku jauh dari standarmu!"
Leona mengambil napas panjang untuk kalimat selanjutmya.
"Tapi, ah, bisa kan gak usah pura-pura muji?"
Leona mengurut pelipisnya, dramatis. Gerakan itu dipelajarinya di film-film saat seseorang memberi penjelasan rumit.
Leonel yang awalnya kurang semangat makan, sibuk dengan pemikirannya sendiri, baru menyadari ada pertengkaran paling tidak elite di meja ini.
"Aku muji, Leona! Sungguh! Ini enak, asli! Eumm.. (mengunyah dengan takzim). Tapi ini terlalu pedas dibanding masakan Kak An biasanya -Eh, kapan ya terakhir kali Kakak masak pedas untuk Jawwis? Aku lupa."
"Apa sih, Dik. Cemberut segala. Jawwis jujur, kok. Emang enak, enak!"
Leona menyerah atas tuduhannya. Memutuskan kembali pada posisi semula, sempurna menghadap meja makan. Topik ini berakhir.
Menit berikutnya Jawwis kembali bersuara. Topik baru. Ia mengabarkan menu masakan di Bali United, termasuk jajanan khas Bali yang ia suka. Leonel sekali dua kali menimpali. Leona paling banyak diam, tetapi jangan salah, paling banyak menyimpan detail dari informasi yang dibagikan Jawwis. Sementara Anjumi, kebalikan dari Leona, paling banyak menimpali, bertanya a b c, tetapi paling cepat lupa dengan penjelasan itu, paling lama ingat sampai lusa.
Saat piring ke-empat orang ini hampir kosong, Leona tiba-tiba ingat tujuan utama menginap di rumah ini.
"Bang! Kapan mulai belajar mawarisnya?"
Yang diajak bicara menghentikan gerakan menyendok suapan terakhir. Awalnya ia adalah orang yang paling tidak lahap makan, sibuk memikirkan masalah yang menimpanya, namun sejak adik ipar membicarakan seputar -makanan pemain- Bali United ia mengunyah lebih cepat, menyendok lebih teratur sekaligus paling pendek jarak antara sendokan satu ke sendokan berikutnya, tentunya sesekali ikut menimpali, bertanya, berkomentar. Sejak topik itu hadir di meja makan ini, Anjumi jadi yang paling sering menghentikan gerakan menyendoknya demi sesi wawancara yang jarang dimilikinya sebab kesibukanJawwis dan dirinya -juga, nanti Anjumi finish makan paling akhir. Dan Leona, ia jadi yang normal-normal saja demi tak terendus gelegat rasa ingin tahunya.
"Em... Belajar -kapan ya?"
"Belajar apa, Bang?"
"Mawaris."
"Lah, belajar gituan juga kamu."
Jawwis bertanya penuh takzim, sayang sekali diksinya kurang tepat.
Leona mengetuk piring dengan sendok. Melirik Jawwis -lagi. Ah, ini baru makan malam bersama di hari pertama, kenapa susah sekali menghindari pertengkaran tidak penting.
"Ikut!"
Jawwis menolehkan wajah pada Leona. Menerjap-nerjamkan mata, memohon.
"Tidak! Hanya aku dan Maha Guru Leonel As'adillah, ya kan Bang!"
"Kakak gak boleh ikut? lihat doang gitu -misalnya."
"Eh -boleh dong. Boleh."
"Aku juga boleh ya! Aku juga ingin belajar"
"Ti-"
"Jawwis boleh ikut!"
Leonel dengan santainya memberi keputusan, setelah itu memakan suapan terakhir.
"Lho, Bang! Tidak bisa main putusin gitu, dong."
"Jangan membantah perintah guru, Leona sayang."
Final. Kalimat ajaib itu lolos dari mulut Pak Guru Leonel. Leona dengan terpaksa sepakat. Jawwis tersenyum penuh kemenangan.
"Mumpung Selasa malam Rabu, kita belajar hari ini juga. Em, jam -habis sholat isya' , deh."
Jawwis yang finish makan nomor dua meraih piring kotor Leonel dan menumpuknya dengan piring kotor miliknya. Mendengar kalimat Leonel barusanJawwis ia jadi ingat fakta itu, hari baik mengawali belajar, Rabu -dan Ahad alias Minggu.
"Iya, ya. Hari Rabu baik untuk mengawali belajar. Ahad juga kan, Bang?"
Celetuk Jawwis. Leonel manggut setuju. Leona menatap Jawwis terkesima. Leona bahkan tak pernah tahu kalau ada hari baik untuk mengawali belajar.
"Pinter kan aku? Tahu begituan."
"Ih, apaan sih, Wis. Aku juga tahu kok."
Maksud Leona baru tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan Berarti) Ia Takluk Oleh Hujan
Teen FictionKita akan mengerti setelah membaca semua. Bukan, membaca bukan hanya tentang sesuatu yang tersurat, kita harus membaca sesuatu yang tersirat pula. Bahkan selayaknya mencari tahu tentang yang samar agar pemahaman kita tentang suatu kisah menjadi semp...