Hujan mengguyur kota Jakarta malam ini, aroma khas tanah menyeruak masuk melalui jendela yang terbuka. Langit bagaikan tengah mencurahkan seluruh kesedihan, kepiluan, sakit hati tanpa amarah atau emosi. Terbukti hanya ada air yang turun begitu deras, tak tampak kilat atau petir yang ikut berpartisipasi.
Sejak acara tujuh bulanan Adhisti dan Raka menempati kamar yang berada di lantai bawah, dokter Nanda menyarankan agar Adhisti tak terlalu banyak beraktivitas di tangga karena takut membuatnya kelelahan dan bahaya lainnya.
Malam ini ia tengah melantunkan surat Maryam, meski masih terbata-bata tak membuat Adhisti menyerah. Ia lirik jam kuno yang menempel pada dinding. "Sudah jam segini, Mas Raka belum juga pulang."
Adhisti menyelesaikan bacaannya, memberi tanda lalu menyimpan Al-Qur'an di tempatnya. Ia berjalan ke arah nakas meraih benda pipih yang tergeletak di sana, Adhisti mulai mencari kontak sang suami lalu mengiriminya pesan.
Adhisti:
Assalamualaikum, Mas.
Mas lagi dimana?Mas Suami:
Waalaikumsalam, By.
Ada apa, By? Pengen makan sesuatu?Adhisti:
Gak ada papa, cuma pengen nanya aja.Mas Suami:
Aku masih di NarArt, kasian Rendy kelimpungan sendiri.Adhisti:
Cepet pulang! anaknya kangen!Raka tergelak membaca pesan istrinya, ia langsung mengetikan balasan pada Adhisti.
"Lagi pusing mikirin laporan keuangan yang gak balance gini, lo masih sempet-sempetnya ketawa-ketawa, Ka. Enak banget idup lo," ucap Rendy sinis.
"Makanya Nikah, jangan ngawinin anak orang terus."
"Mulut, minta gue kepang apa gue catok?" Rendy mendelik.
Rendy taruh berkas-berkas keuangan itu ke meja, ia usap wajah tampan bagaikan pahatan dewa Yunani itu. "Udah lama gue berenti, Ka."
"Serius?" Raka tampak kaget.
"Gue udah bisa nebak lo pasti gak akan percaya, tapi yang jelas ucapan lo tempo hari udah kek doktrin tersendiri buat gue. Cuma emang gue masih ragu buat ngelanjutin langkah, gue malu, Ka. Gue deketin Allah cuma saat gue butuh doang."
Raka tepuk bahu sahabatnya memberikan semangat. "Niatmu sudah diperbaiki kan? Bukan karena Delia lagi?"
"Sudah, cintaku terhadap adikmu bukan obsesi ingin memiliki, Ka. Aku sadar, aku ingin mengajak Delia memilih hunian di surga. Namun, aku sendiri masih memiliki tunggakan kontrakan di neraka. Akhirnya hanya kata ikhlas yang kuukir dalam hati, asal dia bahagia dan mendapat laki-laki baik yang bisa membawanya memiliki hunian di Jannah-Nya."
Raka tersenyum. "Kita tidak tau rencana Allah, Ren. Kita tidak tau yang terbaik menurut Allah seperti apa, aku sendiri belum tentu baik, begitu pun denganmu belum tentu buruk. Kita hanya diharuskan taat melaksanakan kewajiban, nilai akhir tetap ada pada Allah."
"Abi pun tak pernah mempermasalahkan perihal jodoh untuk Delia, jika Allah memang menuliskan namamu untuk menjadi adik iparku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa."
Apa yang dikatakan Rendy benar adanya. Jauh sebelum Rendy pulang ke Belanda ia sudah sering bolak-balik ke pesantren ustaz Anwar untuk memperdalam ilmu agamanya, kepada ustaz Anwar Rendy membuka semua aibnya dari mulai trauma masa kecilnya hingga ia terjerumus minuman dan wanita.
Dari sana Rendy mulai benar-benar memfokuskan diri dan merubah niat awalnya yang salah, tidak ada lagi kata demi Delia yang ada hanya karena Allah.
Ukiran nama Delia sedikit demi sedikit hilang dari hati Rendy, hingga suatu malam ia mendengar suara gadis yang tengah mengaji di apartemennya.
Rendy kaget bukan main, gadis urakan yang hanya Rendy ketahui namanya itu tengah mengaji dengan fasih. Suaranya mengingatkan Rendy pada Delianya, apa mungkin ia adalah Delia dalam versi yang berbeda? Atau itu salah satu jawaban dari Allah agar ia tak melupakan Delianya?
Adhisti sudah tertidur ketika Raka memasuki kamar, pria itu langsung mencium kening serta melantunkan surat Al Fatihah di perut istrinya.
Kegiatan rutin yang selalu Raka lakukan ketika hendak berangkat ke kampus atau ke NarArt dan saat pulang ke rumah. Perut Adhisti langsung memberikan respon, tendangan-tendangan kecil Raka dapatkan dan membuatnya gemas.
Adhisti sedikit membuka matanya, ia bisa mendengar langkah suaminya dan suara jendela yang ditutup. Air masih menetes dari genteng rumah sisa hujan tadi, menimbulkan bunyi yang sangat Adhisti suka.
Wanita hamil itu mendengar kembali langkah Raka yang semakin menjauh, tak lama pintu kamar mandi terdengar dibuka lalu ditutup Adhisti yakin suaminya hendak membersihkan diri.
'Tunggu! kenapa Mas Raka langsung membersihkan diri tanpa membawa baju gantinya?' batin Adhisti.
Sekitar dua puluh menit pria yang hanya mengenakan handuk dipinggangnya itu melangkah keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, tetesan air pun masih memenuhi tubuh bagian atas suaminya yang tak terbalut apapun.
Adhisti masih tetap diam di posisinya, pura-pura tidur dengan posisi miring. Ia terus memperhatikan gerak-gerik Raka yang tengah memakai kaos rumahan lalu membuka lilitan handuk tepat di hadapan Adhisti, akan tetapi Adhisti masih bisa bernapas lega karena ternyata Raka telah mengenakan celana selutut.
Wanita itu hanya bisa mengucapkan beribu-ribu kali istighfar dalam hatinya, jantungnya sudah berdetak kencang. Entah ide gila itu datang dari mana sampai bisa masuk ke otaknya, apa mengintip suami sendiri juga termasuk dosa? Ah terserah saja jika nanti ketahuan Adhisti bisa mengelak dengan dalil mengidam.
'Maafkan ibumu, Nak. Selalu memakai namamu untuk menjadi tameng.' batin Adhisti.
Raka mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur, dalam keadaan kamar yang temaram pria itu menaiki ranjang, tanpa Adhisti duga Raka langsung menutup mata Adhisti dengan tangannya dan tersenyum. "Tidur, Dek. Jangan suka ngintip, itu gak baik. Kasian mata ibumu yang suci itu."
Adhisti langsung menyembunyikan wajahnya yang sudah merah padam ke dada bidang sang suami, memeluk Raka seerat mungkin agar Raka tak bisa melihat wajahnya ia malu amat sangat malu.
❄️❄️❄️
Suara sendok yang beradu dengan piring menjadi pengiring pagi ini, Raka baru bisa menikmati makanannya setelah acara tujuh bulanan. Itu pun hanya makanan tertentu, nasi dan ikan tetap tidak bisa masuk. Hanya roti, buah serta ayam dan sup. Itu pun tanpa nasi, tolong di catat tanpa nasi.
"Mas, habis ini Abi ingin bicara."
"Nggih, Bi."
Kolam ikan menjadi tempat Abi Faruq berbincang dengan sang anak sulung, tak butuh waktu lama untuk Abi Faruq menunggu.
"Ada apa, Bi?" tanya Raka.
"Sudah menghubungi dokter Nanda?"
Raka terharu, bahkan Abinya selalu memikirkan dan mengkhawatirkan kondisi Adhisti.
"Sudah, Bi."
"Bagaimana, Mas?"
"Saat kandung Adhisti sudah memasuki usia 38 minggu kita bisa langsung melakukan sc, Bi." raut wajah Raka berubah murung.
"Lalu bagaimana dengan PMI dan komunitas thalassemia tentang ketersediaan darah?"
"Sudah juga, Bi. Hanya saja rasa takutku mulai datang kembali, Bi."
"Mas ingat ucapan Abi tentang takdir memiliki jalannya sendiri?"
Raka mengangguk, "Hadapi, Mas. Sekarang kita hanya bisa berdoa dan berusaha semaksimal mungkin, selebihnya kita serahkan kepada Allah. Mas harus percaya Allah akan memberikan yang terbaik, meski itu air mata sekalipun."
❄️❄️❄️
![](https://img.wattpad.com/cover/295679487-288-k278061.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisyabina Adhisti || Kim Jisoo - Kim Mingyu || TERBIT
Romance"Apa aku bisa menjadi seperti Sayyidah Fatimah untuk seseorang?" "Kamu tidak perlu menjadi Sayyidah Fatimah hanya untuk mendapatkan seseorang, karena di jaman sekarang tidak ada orang yang seperti Sayidina Ali bin Abi Thalib. Cukup menjadi dirimu se...