"Kamu sekaya apa sih??" Cheryl tahu kalau pertanyaannya ini kurang ajar, tapi dia sepenasaran itu. Gadis yang duduk disampingnya ini terlihat begitu bahagia, Cheryl belum pernah melihatnya bersedih. Aninda Chantika, satu-satunya manusia yang bisa Cheryl ajak berteman. Bukan karena Cheryl melihat kasta untuk memilih teman, tapi gadis yang kerap dipanggil Ddy itu tidak seperti anak kebanyakan. Ia mirip dengan Cheryl, tidak suka pamer harta dan berkuasa atasnya.
"Kaya banget!! Soalnya tuhan ngasi aku, bunda dan ayah kesehatan jasmani dan rohani. Dan tuhan juga bikin aku gak kekurangan kasih sayang dari orangtua. Jadi aku anggap, aku beramat sangat kaya" Ddy bahkan sudah melebarkan tangannya. Gadis yang lebih tua beberapa bulan dari Cheryl itu semakin menunjukkan kebahagiaannya sampai akhirnya ia sadar kalau Cheryl disebelahnya sudah semakin menunduk, Cheryl tenggelam dalam kesedihannya.
"Ryl?? Maaf ya, aku gak maksud gimana-gimana tapi mungkin kan porsi kita beda. Tuhan lebih sayang papa mu, tapi kan kamu masih punya mama. Itu juga masih termasuk harta" Ddy merangkul Cheryl. Sedikit bersyukur hari ini guru les mereka ternyata tidak bisa hadir, guru mereka sudah memberitahukan didalam pesan grup, hanya saja Cheryl dan Ddy tidak memeriksanya dan sekarang keduanya terdampar ditaman samping gedung les mereka.
"Kebahagiaan itu gak cuma tentang harta ya ternyata Ddy, kesehatan kita, orang-orang disekitar kita juga bisa termasuk harta ternyata. Bodoh banget aku ngira kamu yang selalu bahagia karna orangtua kamu kaya"
Ddy mengangguk, "Tapi kamu gak salah sih Ryl. Ayah ku punya restoran, bunda ku meskipun ibu rumah tangga tapi uang ngalir terus direkeningnya. Mungkin kalau orangtua ku gak kaya, hidup kami juga gak sebahagia sekarang"
Keduanya terkekeh. Entah ajaran seperti apa yang diberikan oleh kedua orangtua mereka sampai-sampai diusia yang baru akan menginjak sebelas tahun ini mereka sudah nyambung berbicara topik seberat ini.
🥀__🥀
Apakah kondisi Ana baik-baik saja?? Tentu tidak. Kalau Abil terus menyalahkan kelancangannya, maka Ana sibuk mengusir bayangan Abil dari benaknya. Alasan Ana menjaga jarak dengan Abil adalah karena Ana takut ia akan lepas kendali.
Ana tidak mengerti dengan jalan pikirannya dan lebih tidak mengerti lagi dengan tubuhnya yang begitu mendamba Abil dan menginginkan lebih. Beberapa kali Ana mendengar bisikan untuk segera berlari kearah Abil dan melemparkan tubuhnya begitu saja, tentu saja Ana masih waras untuk tidak melakukan perintah dari bisikan yang begitu berisik itu.
Mungkin efek sudah lama tidak disentuh Ana jadi merasa kalau dirinya membutuhkan Abil lebih, tapi kalau hanya masalah itu, kenapa setiap melihat Abil rasanya jantung Ana bekerja dua kali lipat dari biasanya. Bahkan kadang, saking berisiknya Ana sampai takut ada orang yang mendengarnya. Kejadian malam itu, seperti menghidupkan api kecil didalam hati Ana yang semula gelap. Apakah alasan Ana menghindar hanya karena takut tidak bisa mengendalikan diri?? Tentu saja tidak. Ana cukup logis sekarang.
Kalau ia dan Abil dekat berlebih dan mengarah ke romansa, maka sama saja dengan ia mempertaruhkan segala yang ia punya saat ini. Bukan hanya tentang harta, tapi karir Abil bisa saja ikutan rusak dan Ana tidak mau itu terjadi.
"Ayo bicara Na!" Abil masuk kedalam ruangannya begitu saja, bahkan lelaki itu mengunci pintu.
"Dimana sopan santun kamu Abil?!" Jelas saja Ana terkejut, lelaki ini tadi hanya ia lamunkan, kenapa pula sekarang sudah berdiri didepan mejanya.
"Aku bisa mengesampingkan kesopanan!! Yang penting, sekarang kita harus bicara!!!" Ana menegak ludahnya susah payah. Aura Abil begitu berbeda, terasa sangat mengintimidasi sampai-sampai Ana tidak berani melawan bahkan ketika Abil sudah merapatkan tubuh mereka.