17 | Aku Mau Kita Yang Dulu

3.6K 271 19
                                    

Elka terpekur menatap hamparan rooftop Mall yang sudah disulap menjadi area konser. Pagar-pagar besi berwarna hitam telah dipasang untuk memisahkan tiap area penonton. Stand milik tenats mall juga sudah tertata rapi, tinggal menunggu diisi. Sementara di lain sisi, pikirannya berkelana pada kejadian pagi tadi di kantor. Tentang Karlina yang menanyakan buku nikahnya dengan Daniyal.

Itu di luar dugaan. Konyol. Ia sampai tidak putus bergidik setiap kali memorinya mengulang kata-kata Karlina tentang buku nikah. Satu hal yang Elka syukuri, dia masih bisa memberikan jawaban tepat atas pertanyaan sang bos dibanding menampilkan wajah ngeri.

"Mohon maaf, Bu, saya rasa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membahas hal tersebut."

Elka juga bersyukur dia buru-buru meninggalkan ruangan dengan dalih ingin pergi ke kamar kecil. Jika tidak, dapat dipastikan penggemar nomor satu Daniyal itu akan melayangkan rentetan pertanyaan nyeleneh yang mampu mengundang migrain di kepala.

"Hela napas gitu amat. Kenapa?"

Elka menoleh pada Javis yang menempati kursi plastik putih di sampingnya. Mereka berada Mal PI sejak tadi, melakukan pengawasan pada persiapan konser yang dijadwalkan empat hari lagi di rooftop Mal. Cahaya petang telah menyelimuti puncak Mal Perdana Indah. Roda waktu tak begitu peka Elka rasakan sebab ia sepenuhnya menumpahkan fokus pada pekerjaan.

"Vis, lo kenapa nggak tanya ini dan itu ke gue?" tanya Elka sekonyong-konyong.

"Tanya apa?" Javis bertanya diringi kekehan ringan. "Emang lo bakal jawab secara gamblang? Apa jaminannya kalau kata-kata yang keluar dari mulut lo adalah kebenaran sesungguhnya? Ka, selama lo gak cerita, ya ... gue diam. Males ngurusin gosip selebriti pemula kayak lo. Nggak ada untungnya. Kecuali, lo jadi narasumber gue. Kita wawancara eksklusif biar gue dapet uang dari berita lo. Gimana? Deal?"

"Oportunis sialan." Elka jadi ikut tertawa. Sudut-sudut bibirnya terangkat luwes. "Jahira marah, Yasa juga. Makanya gue heran lo keliatan santai banget."

"Marah itu relatif, sih, Ka. Mereka begitu karena punya bonding yang kuat dengan lo. That's why, ekspektasi mereka juga ikutan tinggi terhadap lo. Sementara gue? Gak ada ekspektasi apa pun yang gue harapkan dari seorang Elka Dyatmika. Gue hanya mengganggap lo sebatas teman kantor. Tenang saja, Ka, lo gak sespesial yang lo pikirin kok."

"Oh, i see."

Lagi-lagi, Javis terbahak atas respon masam Elka dari lelucon yang ia katakan.

"Gue nggak marah. Gue cuma merasa, apa, ya? Mungkin, gagal jadi teman? Maksudnya, lo yang gak punya kepercayaan sama kita-kita, itu mengganggu gue. Selama ini gue mengira kita sudah cukup dekat untuk ukuran teman yang bisa saling berbagi burden. Nyatanya, itu hanya anggapan tanpa dasar yang berusaha gue percaya."

"Jangan mempertanyakan diri lo. Jelas-jelas gue salah," Elka berujar getir. "Sejujurnya, masa lalu gue nggak begitu etis untuk gue bagi sama kalian. Dan gue gak sampai hati bikin kalian pusing mikirin masalah gue juga. Kalian boleh anggap gue egois, tapi cuma itu alasan tepat yang bisa gue jadiin landasan untuk tidak melibatkan lebih banyak orang lagi dalam kelumit hidup gue."

"Oke. Bisa dimengerti. Cuma, lo sadar nggak, ucapan lo barusan mengartikan kalau lo sudah terlalu keras ke diri sendiri?"

"Sadar."

"Dan gak merasa itu salah?"

"Nggak."

Javis menggeleng pasrah pada pola pikir perempuan di sampingnya.

Sonder [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang