Elka tidak mengira hari di mana dia memberanikan diri dalam melakukan hal gila ini telah tiba. Ingar bingar keriuhan yang tadi memekakkan telinga mulai ranap dalam pendengarannya. Atmosfer ketegangan menyelimuti suasana di sekitarnya.
Bisik-bisik dari mereka yang menyaksikan absurditasnya, menjelma seperti dengungan lebah. Lebah dengan sengatan paling mematikan yang tidak hanya memberikan efek menyiksa, tapi juga sepaket dengan perasaan nelangsa.
Apakah langkah yang ia ambil keliru?
Mungkinkah saat ini bukanlah waktu yang tepat?
Bagaimana jika hal yang kini ia lakukan berujung nahas?
Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam benak Elka, membebani pikirannya yang memang sudah semrawut sejak awal. Seandainya tadi dia menahan diri, ia tak akan terjebak dalam situasi konyol ini. Namun, dia sudah telanjur menceburkan diri. Jalan kembali seketika sirna dalam opsi yang harus ia pilih.
"Kamu mau bicara apa? Maaf, saya nggak bisa lama-lama."
Kesadaran kembali menyentak alam bawah sadar Elka yang sempat berceceran. Dia perlahan menghela napas panjang nan dalam, berharap dengan begitu, ia tak perlu lagi bertarung dengan kegelisahaan tiada ujung.
Setidaknya dia harus mencoba, bukan? Toh, kesempatan langka seperti sekarang hanya terjadi dalam seribu tahun sekali. Alias Elka benar-benar hanya akan melakukan hal ini sekali seumur hidup.
Sebelum membuka bibir, ia menatap satu persatu wajah dan ekspresi orang-orang yang kini memaku fokus ke arahnya dan laki-laki di depannya. Hasilnya, wajah teman-teman sekelas merekalah yang mendominasi penglihatannya. Untuk sesaat, dia kehilangan kemampuan dalam menyelaraskan nalar dengan suasana sekitar. Itu jelas terjadi sebab langkah yang ia ambil benar-benar mengacaukan proses berpikirnya. Kacau karena pria berparas tampan, namun menatap tanpa minat di hadapannya ini.
Baik, mungkin dia tidak keliru, mungkin saja hasilnya akan berakhir seperti yang selama ini terbayang-bayang di kepalanya. Ada akhir bahagia dalam semua novel yang pernah dia baca, dan mungkin saja kisahnya dapat berakhir seperti demikian.
"Aku menyukaimu."
Dua kata itu terdengar lantang dari bibir Elka. Kata yang dua tahun belakangan telah bersemayam kokoh di hatinya. Menggerogoti pikirannya sehingga ia kesulitan mengeyahkan eksistensi pria tersebut dari otaknya. Semua usaha untuk menyangkal perasaan itu sudah Elka lakukan, tapi dia hanyalah perempuan berhati lemah yang mudah luluh bila dihadapkan pada pria yang memiliki perwujudan sempurna dari semua kriteria calon pasangan yang ia dambakan.
Daniyal, nama lelaki yang kini menjulang di hadapannya, menatapnya dengan sorot tak terbaca.
Dan baru saja, ia sudah mengakui perasaannya! Elka tak percaya dia berhasil melakukan pengakuan cinta pada lelaki ini! Selama dua puluh dua tahun dia hidup, tak pernah Elka merasakan gejolak afeksi yang mampu mengambil alih kewarasannya seperti perasaan yang dia miliki untuk Daniyal. Elka pikir, perasaan ini akan dia biarkan terbenam di dasar hati hingga ia lulus nanti, tetapi akal sehatnya menampik itu semua. Nyatanya, dia sulit membendung keinginan untuk mengutarakan perasaannya pada Daniyal. Hari ini, adalah puncak dari semua kegilaan Elka.
Dia menolak mendengarkan bisikan demi bisikan yang bertambah ganas dari orang-orang di sekelilingnya. Satu-satunya suara yang ingin dia dengar adalah respon Daniyal.
Menebas semua ketakutannya, dia menatap lurus-lurus aksa sang pujaan yang tampak kelam. Mata indah inilah yang paling ia puja dari Daniyal. Seolah dengan sorot penuh misteri yang telah berhasil memikatnya ini, Daniyal mampu menyuntikkan ribuan sedatif pada Elka hingga sesaat ia lupa pada kompleksitas hidupnya. Dulu, Elka tidak pernah berani memandang mata Daniyal lebih dari tiga detik, tapi sekarang, dia memohon agar tatapan mereka tak pernah pupus.
"Menggelikan."
Elka yakin ada yang salah dengan pendengarannya. Apakah Daniyal baru saja mengatakan sesuatu?
Gusar yang sebelumnya Elka kira telah ia antisipasi kedatangannya, lambat laun mulai menakutinya.
Dia tidak salah mendengar.
Kata yang terlontar dari birai Daniyal membuat Elka dihantam kelu. Ia terdiam dalam perasaan sakit yang perlahan merambati hatinya. Telapak tangannya berkeringat, tapi anehnya sekujur tubuh Elka terasa disusupi dingin yang memerangkapnya dalam gigil.
"Perempuan seperti kamu benar-benar menggelikan," ujar Daniyal tak menahan diri dalam mengutarakan respon kejam atas ungkapan perasaan yang baru saja ia dengar dari Elka. "Berhenti mempermalukan diri. Apakah kamu sadar betapa menjijikkan hal yang kamu lakukan sekarang?"
Dan seolah enggan terjebak lebih lama lagi dengan gadis yang dinilainya 'menjijikkan', usai memberikan jawabannya, Daniyal meninggalkan Elka begitu saja. Mengabaikan gemuruh syok dari orang-orang yang mengelilingi mereka.
Hanya saja, sebelum ia benar-benar keluar dari dalam kelas, Daniyak berhenti sejenak dan kemudian berbalik.
"Satu lagi, saya mengatakan ini bukan semata-mata karena saya bersimpati kepadamu, tapi agar kamu sadar dan memperbaiki pola pikir dangkalmu. Dengar baik-baik. Kamu perlu berpikir ribuan kali ketika ingin bertingkah seperti barusan. Jangan gegabah karena hasilnya bisa sangat fatal. Saya tidak ingin sok suci, tapi menurut saya, kamu sudah mencederai citra seorang perempuan. Saya setuju pada argumentasi mengenai emansipasi wanita. Hanya saja, apabila emansipasi yang dimaksud terwujud dari tingkahmu barusan, sungguh, itu sangat memalukan. Saya ingatkan sekali lagi agar kamu tak lupa. Saya, tidak akan pernah menyukai perempuan sepertimu. Kamu adalah perwujudan dari perempuan rendahan yang ingin saya singkirkan dari hidup saya."
Bersamaan dengan kalimat pamungkasnya, Daniyal pun benar-benar meninggalkan Elka yang terdiam seribu bahasa. Bukan celaan teman-temannya yang menghancurkan Elka, bukan pula tawa sinis mereka yang menginjak rasa percaya dirinya sampai ke tahap dia ingin meraung dengan sangat keras, tapi tatapan tajam Daniyal yang bercampur dengan sorot jijiklah yang meremukkan hati Elka.
Sakit.
Sakit sekali. Sungguh.
Ia pikir, tak ada yang lebih menyakitkan dari semua lara yang selama ini dia rasakan di hidupnya. Namun, ternyata semua itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia alami sekarang.
Otaknya yang naif agaknya telah tercuci oleh novel-novel romansa yang menyajikan alur manis sampai akhir. Di mana kedua pemeran utama menjalin kasih hingga maut yang kemudian menjadi pemisah. Begitulah tolok ukur yang Elka inginkan dalam kehidupan asmaranya.
Elka lupa, alasan dia enggan membaca novel romansa dengan akhir tragis, sebab ia tidak ingin merasakan kepedihan yang sama. Dia terlalu takut untuk hal itu sehingga mencari pelarian pada novel-novel happy ending dan sibuk merangkai pengandaian di otaknya. Akibatnya, ketika kenyataan pahit sebagaimana yang tersua dalam novel dengan akhir getir tersebut menghantam dirinya sendiri, Elka seketika dibuat lumpuh.
Apakah merasakan cinta adalah kesalahan terbesarnya?
***
S O N D E R
"The realization that everybody around you, even strangers, are living a life just as complex as yours."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonder [✓]
RomansDisebut sebagai perempuan menjijikkan oleh pria yang ia cintai, membuat Elka sadar bahwa merasakan cinta adalah dosa terbesarnya. Dia pernah mencintai Daniyal hingga di tahap kehilangan urat malu karena menyatakan perasaan terdalamnya pada pria itu...