*15 | Cerita Tentang Rumah

15 0 0
                                    

Jangan lupa vote juga komentarnya ya!

Happy Reading♡

***

Kenapa sih refleks manusia kadang suka bekerja lebih dulu dari pada akal sehat? Seharusnya cara kerja saraf itu mengikuti perintah otakkan bukan kata hati? Mending kalau sejalan dengan keinginan, kalau kontra? Bisa-bisa semua orang yang bernasib sama, pasti akan merasakan kebingungan serupa seperti Fey saat ini.

Gadis itu sedang mengaduk dua cangkir teh manis hangat untuknya dan si tamu. Pergerakannya pelan seraya berpikir sekaligus merutuki kebodohannya sendiri. Tadi sewaktu Fey bilang jika ia akan membawa Raka ke rumahnya, itu memang benar. Di sanalah dia sekarang.

Rumah Fey.

Sedang celingak-celinguk sendirian di ruang tamunya. Persis kayak anak ilang.

Fey ... Fey, ngapain juga sih lo ngajak dia ke rumah?!

"Nih, diminum dulu." Fey mempersilakan Raka untuk meminum teh yang baru saja dibuatnya. Kemudian duduk dan bergabung dalam hening ruang yang ada.

"Lo bikin teh sampai setengah jam?" pertanyaan yang dengan lancarnya diucap Raka sehingga membuat si pemilik rumah meliriknya sinis.

"Tinggal minum aja sih, nggak usah kebanyakan ngomong."

"Iyaa, Makasih ya." Raka menyesap teh hangat itu perlahan, lalu meringis kecil sebab ada luka di dalam mulutnya. Pasti perih sekali.

"Pelan-pelan."

Entah mengapa melihat Raka dengan kondisi seperti itu membuat Fey berempati. Ada rasa tidak tega sekaligus rasa bersalah. Ini semua gara-gara permusuhannya dengan Keenan. Andai hari itu Raka tidak masuk ke dalam lingkaran setan yang Keenan ciptakan, sudah pasti kejadian semacam ini tidak akan pernah terjadi di kehidupan si lurus Raka.

Raka nggak mungkin berurusan dengan si biang masalah Keenan.

"Rumah lo nyaman juga ya," celetuk Raka menyadarkan Fey dari pikirannya.

"Biasa aja, sepi. Nggak enak."

"Emang di rumah nggak ada orang?"

"Nggak ada."

"Sama dong kayak rumah gue. Nggak ada orang." Raka menoleh ketika merasa Fey tengah menatapnya lekat. "Kenapa?"

Fey menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Rasanya pasti sepi, tapi seenggaknya rumah lo nyaman," ujar Raka masih mengedarkan pandangan menelisik ruangan.

Ini bukan yang pertama bagi Raka menginjakkan kaki di rumah itu. Sudah kali kedua dan sekarang ia baru bisa mendeskripsikan bagaimana rumah Fey terlihat.

Gambaran ruang tamu dominasi putih gading yang tidak begitu besar dengan atapnya yang sengaja dibuat lebih tinggi sehingga membuat ruangan itu tampak lebih luas. Apalagi tidak ada banyak barang di ruang tamu. paling hanya ada satu set sofa, nakas, dan lemari buffet kecil di sisi ruangan. Iya, cuma itu saja. Untuk pajangan berupa foto-foto ada di ruang tv atau ruang keluarga. Ya meskipun kedua ruangan itu tampak menyatu tanpa sekat. Lalu dari ruang tamu itu bisa nampak ruang makan dan dapur sekaligus taman belakang karena kebetulan pintu pembatasnya terbuat dari kaca.

Rumah Fey bukanlah tipikal rumah megah yang mampu menampung sebuah keluarga besar. Sebaliknya, rumah itu terlihat kecil namun tertata dengan baik. Setiap detailnya membuat Raka merasa rumah ini seperti rumah keluarga sederhana yang nyaman.

"Tapi sayangnya definisi rumah nyaman versi gue beda sama lo." Fey bangkit berjalan untuk mengambil tasnya yang tadi dia letakkan di kursi meja makan. Merogoh sebentar mencari keberadaan ponselnya. Lalu setelah dapat ia berpindah ke taman belakang.

To RAFELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang