Chapter 5 - Sebuah Mimpi

48 6 2
                                    

Setelah kejadian memalukan itu dimana saat itu aku sedang menggenggam tangannya, aku memutuskan untuk tidak menjadi Guntur untuk menemuinya lagi, bagaimana tidak, aku sangat malu untuk sekedar menunjukkan diriku padanya.

"gimana saya bisa pergi, Mas masih menggenggam tangan saya."

Ucapan itu membuatku jatuh dari motor karena kehilangan konsentrasi.

Kesialan dan keberuntungan selalu beriringan, itu yang pernah kudengar dari mulut Haikal.

Bahkan setelah menikmati senyum manis dikta aku harus terjatuh dari motorku karena kebodohanku sendiri. Manusia seperti aku ternyata bisa mabuk hanya karena senyuman seseorang.

Setelah terjatuh, aku berusaha bangkit untuk membuat motorku terparkir sempurna sementara aku duduk di pinggir jalan, aku terduduk di pinggir trotoar dengan memandangi langit malam serta memastikan perasaanku ini.

Setiap saat aku selalu memikirkan satu hal,  degupan jantung yang tidak biasa ini selalu muncul ketika aku melihat senyuman Dikta.

Aku yakin perasaan ini bukan sekedar menyukai, namun ada hal lain.

Tapi apa iya aku jatuh cinta pada Dikta? Apa yang dia pikirkan setelah ia tahu bahwa aku mencintainya?

Aku memperhatikan lalu lalang kendaraan sejauh mata memandang, entah aku atau kalian pernah berpikir;  kemanakah orang-orang itu akan pergi?

Terkadang aku pernah berpikir bahwa aku adalah pemeran utama dalam kehidupan ini, hanya aku yang nyata sementara mereka selain diriku adalah fiksi dan Dikta adalah sosok fiksi itu yang menarik perhatianku.

Sudahlah, semakin aku memikirkannya semakin aku lupa jalan pulang menuju kewarasanku.

"makasih Mas.."

Arrggh mengapa aku kembali teringat oleh suaranya, aku memegang kepalaku dan mengacak-acak rambutku dengan frustasi. Aku menarik slayerku kebawah yang menutupi hidung dan mulutku dengan kesal.

Tiba-tiba muncul pertanyaan dibenakku, mungkin ini adalah awal masalah yang akan harus hadapi di hari-hari berikutnya.

Dikta menyukaiku atau Guntur? 
Dikta straight atau tidak?
Dikta memiliki crush atau tidak?

Aku tersadar, sebelum memastikannya menyukaiku atau tidak seharusnya aku  mengetahui siapa seseorang yang kini ia suka.

Lama-lama memikirkannya saja kepalaku bisa pusing, bahkan aku takut jika besok harus melihat anak itu lagi.

Ngomong-ngomong kenapa dikta tidak mengenaliku ya? Apakah karena suaraku tersamarkan oleh slayer yang kugunakan?

Setelah puas duduk santai sembari mengumpulkan tenaga, aku memberanikan diri untuk pulang walau kakiku dan semua badanku terasa sakit semua. Aku ingat besok adalah waktuku bersama Dikta praktek memasak, walau begitu aku tetap menjadi bagian dari sangga kelas X TBSM 2.

Sesampainya dirumah, aku disambut oleh foto mendiang ayahku.

"selamat malam ayah, bagas pulang."

Pria humoris itu berpulang saat aku telah menyelesaikan lomba tingkat satu pramuka dimana kala itu aku duduk dikelas 7 Smp.

Tapi sudahlah, kepergiannya bukan untuk diratapi melainkan dikenang. Lagipula aku tidak ingin berlama-lama dalam keterpurukan. Masih ada Ibu yang selalu mendukung setiap langkahku.

Kembali pada kakiku yang masih ngilu karena beberapa saat yang lalu aku terjatuh di aspal. Sebenarnya aku masih bisa berjalan, namun memincang.

Aku memasukkan bahan masakan semuanya kedalam kulkas dengan diam-diam serta berusaha untuk berjalan kedalam kamarku.

ALL ABOUT US | BL  [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang