Di Afghanistan, ada sesosok pria yang menangkap perhatianku. Namanya adalah Sebastian Moran, salah seorang tentara yang bertugas di sana. Ia berwajah tampan dan tinggi, populer dan suka tidur dengan wanita di bar. Aku tidak pernah berbicara dengannya. Setelah aku memperhatikannya selama beberapa hari, aku sadar bahwa ia tidak semenarik itu. Hanya orang populer yang biasa. Ia juga tidak tertarik untuk berbicara denganku meskipun ia kerap memperhatikanku.
Aku banyak menemui orang-orang terkenal, yang paling memberikan kesan untukku adalah Irene Adler, aktris asal Amerika Serikat. Wanita itu benar-benar berbakat, aku menghormati kerja keras dan dedikasinya. Kami berbicara beberapa kali dan aku memang tidak salah, ia memang mengagumkan.
ꜱᴡᴇᴇᴛʜᴇᴀʀᴛ
"Wah, siapa ini?" Tanya Von Herder. Indranya merasakan ada seseorang yang berdiri menghalanginya saat ia sedang berjalan santai di taman.
"Bisakah anda minggir? Anda menghalangi jalan." Ia meminta sesopan mungkin dengan senyum diwajahnya.
Felix tersenyum, ia menyamakan tingginya dengan Herder, wajah tepat didepannya. Herder tergelak sedikit saat merasakan pergerakan tiba-tiba dari Felix.
"Hai." Felix menyeringai. Tidak sia-sia ia meminta bantuan dari pamannya dan menginap di rumah temannya yang bertetanggaan dengan Whiteley tadi malam.
Senyum Von Herder meluntur, dahinya berkerut tanda bingung sebelum realisasi menyambarnya. Mulutnya terbuka menganga, kedua kakinya hendak berlari tapi itu tidak ada gunanya, Felix pasti bisa menangkapnya dengan mudah.
"Apa kau sudah puas main-mainnya, mein Bruder von Herder?" Tanya Felix dengan nada yang tenang, berbanding terbalik dengan sorot matanya menyolok.
Bulu kuduk Herder berdiri, tidak tahu harus menjawab apa. Herder paling benci saat kakaknya bertanya dengan tenang seperti ini, akhirnya pasti selalu tidak baik untuknya. Ia lebih memilih kakaknya yang mengejek dan berapi-api itu.
Rasanya sama seperti belasan tahun yang lalu, ia masih merasa lemah dan tidak berdaya dihadapan kakaknya. Memori tidak menyenangkan kembali mengalir ke otaknya, merubuhkan bendungan yang ia buat bertahun-tahun.
"Kenapa kau disini?" Terdengar getaran di suaranya, Herder berusaha untuk senyum yang berakhir gagal.
"Mencarimu."
"Tidak mungkin."
"Mungkin tidak mungkin itu tidak masalah bukan? Ada bar dekat sini, haruskah kita kesana dan bicara Herder?" Itu bukan pilihan, itu adalah perintah. Felix tidak menunggu jawaban dari Herder, ia langsung menarik tangannya, tidak mempedulikan reaksi penolakan dari yang ditarik.
Bar yang disebutkan Felix terletak di ujung jalan, di dalam sebuah gang gelap dan sepi. Cocok untuk pembicaraan privasi.
"Nah, sekarang karena kita sudah berdua disini, kenapa tidak kau jelaskan alasanmu kabur dan bersembunyi adik bajingan?" Tangan kiri Felix mengetuk jarinya di atas meja sedangkan tangan kanan Felix menggenggam pergelangan Herder dengan erat.
"Bangsat kau," bisik Herder, giginya saling dirapatkan, tangannya terkepal erat.
ꜱᴡᴇᴇᴛʜᴇᴀʀᴛ
Sebuah kapal berbendera Belgia mendekat di dermaga kota Ramsgate. (Y/N) meregangkan tubuhnya. Jujur saja, badan (Y/N) rasanya remuk semua. Perjalanan dari Asia ke Eropa memang melelahkan, apalagi saat dilakukan tanpa jeda. Ia menghela nafasnya, dilihatnya lampu-lampu gedung yang menerangi kegelapan malam.
Baru saja ia hendak melangkahkan kakinya, sosok familiar terlihat di ujung jalan, tiga orang. Insting (Y/N) sigap membawa empunya ke sudut bangunan yang gelap dan tidak kasat mata.
Pupil (Y/N) membesar tatkala melihat orang tersebut dengan jelas. Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul di pikirannya.
Karena orang itu adalah Sebastian Moran, seorang pelacur dan seorang pria cantik- tunggu sebentar, kenapa wajah pria cantik itu terlihat familiar?
Tidak, itu tidak penting. Yang penting adalah kenapa Moran masih hidup? (Y/N) dengar ia sudah mati dalam misi. Atau jangan-jangan ia sendiri yang keliru? Tidak mungkin.
(Y/N) diam terpaku ditempat, matanya masih mengawasi tiga orang tersebut. Tiga orang tersebut berhenti di pub ujung jalan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak ada waktu untuk hal macam itu, ia harus kembali ke London terlebih dahulu.
Saat berjalan pun, wajah pria cantik itu masih terbayang dalam pikirannya. Itu tidak mungkin hanya perasaan deja vu semata, (Y/N) pernah melihatnya di suatu tempat.
Rambut pirang, mata biru, beauty mark di bawah mata, Irene Adler? Bukannya ia juga sudah mati? Beritanya tersebar di mana-mana.
Kening (Y/N) berkerut, apa-apaan semua ini, pikirnya, Altair mungkin benar, ini sudah akhir zaman. Ia menghela nafas, kepalanya pusing, (Y/N) ingin tidur tapi apalah daya ia harus kembali ke London. Ia berjalan dengan lunglai ke tempat penyewaan kereta kuda.
Di tempat lain, Moran dan James sedang meminum minuman yang dinamakan kesendirian, minum berdua tetap lebih baik dibanding minum sendiri. Pelacur yang dibawa mereka tadi sudah lama pergi setelah dibayar.
"Ada yang mengawasi kita tadi." Ujar James.
"Hm? Aku tidak menyadarinya."
"Tentu kau tidak. Kau mabuk dan sibuk berbicara dengan pelacur tadi."
Moran mengangkat tangannya menyerah, tidak menyangkal. "Kau tau siapa?"
"Tidak."
"Menurutmu berbahaya?"
"Tidak."
"Kalau begitu tidak apa-apa."
"Yakin?"
"Ya."
James mengangkat bahunya sebelum kembali meneguk alkohol.
Yah, harusnya tidak apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐖𝐄𝐄𝐓𝐇𝐄𝐀𝐑𝐓 || 𝕄𝕋ℙ 𝕏 ℝ𝕖𝕒𝕕𝕖𝕣
Fanfiction[𝘈𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘪 𝘣𝘪𝘯𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨, 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘶𝘮𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘯𝘨.] --------------------------------- ⠿ 𝐌𝐎𝐑𝐈𝐀𝐑𝐓𝐘 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐓𝐑𝐈𝐎𝐓 ⠿ ▄▄▄▄▄▄▄▄▄ ❝ Milverton ...