2

176 6 0
                                    

Zi terbangun dan ia bisa mencium wangi masakan yang membuat perutnya mendadak merasa lapar. Ia membasuh wajahnya dan keluar kamar. Jam menunjukkan pukul setengah 7 pagi.

Ia menatap punggung seorang wanita yang tengah sibuk dengan kompornya.

Celana hitam di atas mata kaki di balut dengan kaos oblong biru, ujung lengan kaosnya di gulung menampilkan lengan ramping milik wanita itu. Ah iya, Zi ingat, Luna namanya.

"Udah datang, Lun?" Tanya Zi yang jelas terdengar bodoh. Luna menoleh.

"Eh iya Pak. Mau sarapan?" Tanya Luna. Zi kembali menoleh pada meja kecil dimana Bi Rahma suka meletakkan sarapan dan kopi paginya. Dan kopinya ternyata sudah tersedia di sana.

"Boleh, masak apa?" Tanya Zi.

"Nasi uduk sama daging goreng, mau coba?" Tanya Luna.

Zi mengernyitkan keningnya.

"Berat banget." Gumam Zi.

Luna mengerjapkan matanya dan entah kenapa terlihat cantik di mata Zigy.

"Oh? Mau di buatkan yang lain?" Tanya Luna dengan sopan.

"Gak usah gak apa-apa. Itu aja." Sahut Zi. Luna mengangguk lalu menyiapkan sarapan untuk Zigy. Setelah semua tersedia, Luna berlalu ke ruang televisi dan mulai membersihkan ruangan tersebut. Zi melahap habis nasi uduk yang terasa sangat lezat. Tiga potong daging goreng gurih sudah berpindah ke perut Zigy yang sixpack.

Zigy menatap Luna yang masih sibuk dengan lap di tangannya. Untuk ukuran pembantu rumah tangga, Luma terlalu cantik. Bukan, bukan Zigy merendahkan profesi mulia tersebut, hanya saja bagi Zigy, Luna pasti punya alasam sendiri kenapa ia mau bekerja menjadi pembantu rumah tangga.

"Pak, saya nanti siang izin sebentar ya." Luna berdiri di hadapan Zi yang sudah siap berangkat ke kantor.

"Oh? Mau kemana?" Zi bertanya pada wanita yang---eh tunggu! Mata Luna lebam.

"Lun, mata kamu kenapa?" Tanya Zi. Wanita itu tergagap.

"Oh, ini jatuh pak kepentok ujung meja. "

Zi menatap wanita itu dan jelas bisa menangkap kebohongan yang di balut senyum manis nya.

***

"Pak!" Terdengar kembali suara Deni.

"Eh? Apa?" Tanya Zigy. Deni menggeleng pelan.

"Elu ngelamun Pak?" Tanya Deni.

"Gak kok!" Sahut Zi. Deni memutar bola matanya.

"Itu kenapa kopi gue di minum?" Tanya Deni.

"Hah?"


   Kana menoleh pada ponselnya yang tengah bergetar.

"Halo, Zi?"

"Bun, aku minta nomor handphone Luna dong, berkas ku ketinggalan di apartemen."

"Oh? Oke nanti bunda kirim ya." Sahut Kana.

Tak berapa lama sebuah nama di kirimkan Kana untuk Zigy.

"Lho? Kenapa Zi gak minta Deni ambil aja ke apartemen?" Gumam Kana pelan.

Sementara itu di sebuah warteg sederhana, terlihat Luna tengah berbincang dengan seseorang.

"Lebam nya gak akan cepet sembuh, Lun. Bapak mu memang keterlaluan!" Gerutu seorang wanita paruh baya yang di ketahui pemilik kontrakan dimana Luna tinggal.

Luna mengusap kembali matanya.

"Aku kadang mau mati aja, bu." Gumam Luna pelan. Jelas terlihat putus asa.

"Hus, jangan gitu Lun. Kamu harus kuat." Wanita paruh baya itu mengusap bahu Luna yang kembali turun naik. Luna mengantarkan uang kontrakan yang sudah menunggak selama tiga bulan. Beruntung Bu Sigit pemilik kontrakan tersebut sudah menganggap Luna sebagai anaknya sendiri.

"Kenapa aku selalu di benci bapak ya?" Tanya Luna pada Bu Sigit. Wanita paruh baya itu menatap sendu wanita cantik di hadapannya.

"Cuma bapak mu yang tahu, Lun. Buruan nikah dan biarin aja bapak mu tinggal sendiri di kontrakan. Siapa yang mau ngurus kalo tabiat nya begitu." Bu Sigit terlihat geram.

"Siapa yang mau sama aku bu? Cuma lulusan SMP dan miskin." Luna meremas lutut nya. Takdir terasa begitu tak adil padanya. Sejak lulus SMP ia banting tulang mencari pekerjaan.

Dari sejak kecil, ayahnya selalu memperlakukan Luna dengan buruk. Pukulan, tendangan sering Luna dapatkan.

Tapi Luna selalu menyayangi sang ayah. Walaupun Luna mulai menyakiti dirinya sendiri untuk melampiaskan amarahnya selama ini. Amarah yang diam-diam mengakar di hatinya.

ALWAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang