5

121 5 2
                                    


"Ampun, Ayah!!" Suara Luna semakin terdengar pilu.

"Luna!!" Zigy dengan sigap menahan gagang sapu yang kembali siap menghantam punggung Luna.

Wanita itu terperanjat melihat Zigy tengah menahan gagang sapu dengan tangan kirinya.

"P---Pak Zigy." Luna membisu.

"Kamu gak apa-apa?" Zigy menoleh pada pria paruh baya dengan tatoo wajah perempuan di dadanya.

"Siapa lo? Punya hak apa belain anak gak tahu diri ini? Punya nyali lo?" Teriaknya. Tetangga mulai berdatangan ketika mendengar keributan. Namun tak ada yang berani menolong Luna.

"Pak, sebaiknya Pak Zigy pergi. Nanti ayah saya mukulin Pak Zigy." Bibir Luna gemetar menahan sakit dan tangis.

"Ayo bangun." Zigy memapah Luna.

"Bisa jalan?" Tanyanya. Luna mengangguk.

Zigy menoleh ke arah pria yang 'katanya' ayah Luna.

"Kalo anda gak sayang Luna, biar saya yang menyayangi Luna."

***

   Luna meringis saat dokter memeriksa punggungnya yang ternyata sudah banyak luka memar. Zigy mengepalkan tangannya. Deni sudah di sana dan ia sedikit bingung dengan kejadian ini tetapi ia memilih bungkam dan tak berani berkomentar apapun.

"Ibu ---"

"Luna Dok, panggil aja Luna." Wanita itu menurunkan hoodienya.

"Ah ya. Saya akan buatkan jadwal untuk General checkup ya. Saya khawatir ada luka di dalam yang tak terlihat." Dokter Pram menoleh pada Zigy. Dokter Pram adalah Dokter pribadi keluarga Zigy.

"Mas Zigy, lebih baik Mbak Luna istirahat di sini, supaya di pantau keadaannya." Dokter Pram tersenyum pada pewaris Kala group tersebut.

Zigy mengangguk. "Baik Dok, nanti saya urus."

Dokter Pram pamit untuk kembali bertugas. Suster dan Deni berlalu menuju meja administrasi untuk mengurus semuanya.

"Saya penjarakan aja ya ayah kamu itu!" Zigy duduk di kursi di sebelah Luna yang tengah memandang kosong ke langit-langit ruang IGD.

"Gak usah Pak." Luna menoleh dan menggeleng.

"Saya pulang aja ya, saya gak apa-apa. Udah biasa." Luna hendak bangkit.

Zigy menahan lengan Luna.

"Gak ada yang pulang malam ini!" Suara Zigy terdengar seperti peringatan.

Luna mengerjapkan matanya.

"Tapi Pak---"

"Dengerin saya, Lun!" Zigy menatap tajam pada Luna.

"Saya gak akan membiarkan kamu di siksa kayak binatang. Terlebih sama orang tua kamu sendiri. Ayah kamu!" Zigy menggenggam tangan Luna.

"Mulai sekarang, kamu gak sendiri. Ada saya yang akan melindungi kamu."

Mungkin ini adalah kata-kata termanis yang pernah Zigy ucapkan selama hidupnya.

Luna pun melongo. Deni juga melongo di belakang Zigy.
Cuma Zigy yang terlihat santai dan memilih menyeringai.

"Kenapa harus VVIP Pak?" Tanya Luna yang terkejut melihat kamar VVIP yang lebih mirip hotel.

"Karena saya ngantuk." Sahut Zigy enteng.

"Deni udah siapin baju untuk kamu. Gak apa-apa ya kamu pakai baju saya dulu." Zigy menunjuk pada tumpukan baju yang ada di sofa.

"Ehm, itu underwear nya di kasih Bunda saya." Zigy terlihat sedikit grogi.

"Pak Zigy---" Luna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis pilu.

"Lho? Kok nangis? Sssstttt... Luna, gak usah nangis." Zigy mengusap kepala Luna. Perlahan ia merengkuh Luna ke dalam pelukannya. Tubuh wanita itu bergetar. Cukup lama Luna menumpahkan rasa sedihnya padq Zigy.

Wanita itu mendongak.

"Apa orang seperti saya layak bahagia?" Tanya Luna padq Zigy dengan suara parau.

ALWAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang