7

81 4 0
                                    

Dokter Pram terlihat mengamati rekam medis Luna. Ia meminta waktu pada Zigy untuk bicara, hanya berdua.

"Itu sudah berlangsung lama, Dok?" Tanya Zigy mendengar penjelasan dari Dokter Pram.

"Jika di lihat dari lukanya saya pastikan sudah lama. Namun ada beberapa goresan luka yang belum terlalu kering, artinya baru terjadi."

Zigy memijat pelipisnya. "Artinya, Luna cenderung suka menyakiti diri sendiri?" Zigy memastikan.

Dokter Pram mengangguk. "Butuh bantuan  Psikiater untuk hal ini. Karena luka batin lah biasanya yang menyebabkan ini terjadi. Sebaiknya, Luna tidak di biarkan kembali ke lingkungan lamanya. Saya khawatir, ia bisa saja bunuh diri." Dokter Pram menghela nafasnya.

***

Luna mendongak ketika pintu ruangan Dokter Pram terbuka.

"Sudah boleh pulang?" Tanyanya pada Zigy. Pria itu mengangguk.

"Ayo pulang, mulai hari ini kamu tinggal di apartemen aku aja."

Luna melongo dan ia tak bergerak ketika Zigy sudah melangkah. Pria itu menoleh ketika tak mendapati Luna di sampingnya. Zigy menggeleng ketika Luna malah berlalu ke arah yang berlawanan.

"Dengerin dulu!" Zigy meraih pergelangan Luna. Wanita itu menoleh cepat. Matanya sembab jelas lelehan air mata masih nyata di pipinya.

"Luna, ayo bicara dulu." Zigy mengusap bahu Luna yang turun naik karena menangis.

Suasana resto yang terletak di pinggir laut terasa hening. Hanya semilir angin sore yang menemani kebisuan Zigy dan Luna.

"Sejak kapan?" Tanya Zigy. Luna mendongak menatap Zigy.

"Apanya?" Tanya Luna tak mengerti.

"Luka di paha kamu." Sahut Zigy.

Luna menunduk.

"Semuanya akan baik-baik aja, Lun." Zigy menggenggam tangan Luna.

Luna menatap tangannya kanan yang tengah di genggam Zigy.

"Maafin saya ya Pak. Saya---terlalu banyak ngerepotin." Ujarnya.

Zigy mengedikkan bahunya. "Nggak juga sih, asal jangan minta gendong aja!" Sahut pria itu lalu keduanya terkekeh.

Setibanya di apartemen, Luna terlihat bingung. Ia enggan tinggal di apartemen Zigy namun ia pun takut untuk pulang karena ayahnya sudah pasti akan menghajarnya.

Luna duduk di sofa dengan pandangan kosong. Zigy mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Gak perlu ragu, Lun. Nanti aku yang ngomong sama bunda. Kamu bisa tidur di kamar sebelah ya." Zigy menepuk puncak kepala Luna.

Untuk saat ini wanita itu tak punya pilihan. Ia hanya mengangguk dan menatap Zigy dengan tatapan lembut.

Sungguh, bagi Zigy tatapan Luna sangat berbahaya hingga akhirnya ia memilih berlalu ke kamarnya, menghindari pikirannya yang mulai ingin memeluk Luna saat itu juga.

ALWAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang