"Gue mau nyamperin murid baru itu!" tegas Athala, membuat beberapa siswa dan siswi yang mendengarnya tercengang."WHAT, GUE NGAK SALAH DENGAR, 'KAN?"
Arthan hebo sendiri, masih tak menyangka dengan apa yang akan dilakukan oleh Athala. Sejauh ia mengenal sosok Athala, sahabatnya itu tak pernah dekat dengan perempuan. Sekalinya ada perempuan yang dekat sama Athala, langsung dicuekin sama sahabatnya itu sendiri.
Sama halnya dengan Bintang, pemuda berwajah tampan itu sama bingungnya dengan Arthan.
"Arthan, lo kalau mau teriak-teriak ngak usah didekat gue. Lama-lama gue bisa tuli gara-gara lo!" ujar Bintang seraya menatap tajam Arthan. "Gue lagi bingung, kenapa si Atha tiba-tiba mau nyamperin murid baru itu. Padahal, kita aja ngak kenal sama cewek tadi."
"Kita sepimikiran, Bin. Dahlah, dari pada mati penasaran mending kita samperin aja si Atha."
"Ck, mati rasa, mati rasa. Lo kayak ngak tahu aja kalau gue lagi mati rasa sama pacar," ujar Bintang keceplosan. Pasalnya, setahu Artan, Bintang itu sama sekali tak pernah dekat dengan cewek manapun. Eh, tahu-tahunya Bintang sudah punya pacar.
"Asekk, lo udah punya pacar? Kenapa ngak pernah ngomong ke gue sih? Ntar kalau lo punya masalah sama cewek lo, lo bisa datangi gue buat minta tutor meluluhkan hati cewek. Gratis, ngak usah dibayar pakai uang. Cukup bayar pakai kuota 20 GB juga udah mendingan."
"Itu sama aja, bege, kalau lo minta bayaran!"
"Bedalah, kalau uang bentuk fisik, tapi kalau kuota bentuk nonfisik," kata Artan.
"Aelah, udah kayak peninggalan kerajaan Hindu-Budha aja. Btw, lo udah tugas sejarah indonesia yang soal Pg 50 nomor sama essay 20 nomor di halaman 170?"
"Hafal benget lo sama yang kek begituan. Gue mah santai aja, ntar kalau udah waktunya mapel SI ntar gue kerjain," ujar Artan. "Btw, gimana sama tawaran gue tadi? Lumayan 'kan?"
"Gue sih mau-mau aja, Ar. Masalahnya pacar gue itu bukan cewek."
"Lah terus?"
"Ikan peliharaan gue. Kemarin dia udah mati gara-gara dimakan sama kucing tetangga yang nyasar ke rumah gue. Sakit hati gue. Sakitnya tuh, di sini." Bintang memegang bagian dadanya dengan sangat dramastis.
"Ya elah, Bi, gue kira pacar lo itu cewek, sekolah di sini. Tau-taunya cuman ikan. Capek deh."
"Ar, gue sedih banget tahu pas liat ikan gue udah ngak bernyawa. Masalahnya tuh ikan—"
Artan rasanya muak jika Bintang akan membahas mengenai hewab peliharannya. "Udah, urusan ikan lo diskip dulu. Sekarang, kita harus nyusul Athala!"
"Oke kalau gitu. Tapi janji ya, lo bakal dengerin cerita gue tentang ikan peliharaan gue."
"Lo tenang aja, gue siap dengerinnya dari awal sampai akhir," ujar Artan terdengar tulus. Padahal dalam hati, rasanya ia malas jika harus meladeni sahabat sablengnya itu.
"Ya udah, keburu ketinggalan jejak kereta, kita langsung berangkat aja."
"Lah, kok, jadi kereta?" tanya Artan bingung.
"Typo, maksudnya jejak Athala."
"Terserah lo aja deh, Bi. Asal lo senang dah."
***
Di sisi lain, Athala tengah berdiri di depan ruang kepala sekolah untuk menunggu Dinar dan Pak Gilang keluar dri ruangan tersebut. Sejujurnya, Athala ingin mengajukan banyak pertanyaan untuk Dinar.
Apalagi sekarang, setelah pertunangan mereka pemuda itu menjadi lebih penasaran mengenai tentang Dinar. Maklum, agar ia bisa mengenal lebih jauh sang calon pendamping hidup.
Sekitar sepuluh menit Athala menunggu, akhirnya dua orang yang sejak tadi ia tunggu kini telah keluar dari ruangan yang tak terlalu besar itu. Berdiri tepat di depannya membuat Athala langsung memasang wajah datar.
"Athala, kamu ngapain ke sini?" tanya Pak Gilang.
"Ngak apa-apa, Pak. Emang ngak boleh saya berdiri di sini? Toh, ngak ada larangan juga."
"Tumben aja kamu datang ke sini. Biasanya kan tempat nongkrong kamu di kantin, heran bapak sama kamu."
"Sekali-kali, Pak, jarang loh murid kayak saya berkeliaran di sini," kekeh Athala.
"Sudah, sekarang kamu masuk kelas!" pinta Pak Gilang membuat Athala hanya mengganguk. Rencanaya untuk berbincang dengan Dinar kini gagal sudah.
Tak lama, bertepatan dengan Athala berbalik badan bel masuk pun berbunyi. Artan dan Bintang yang baru saja menghampiri sang sahabat kini mengikuti Athala untuk menuju kelas mereka. XII IPA 3.
Suasana kelas begitu kacau, para siswa dan siswi membuat keributan. Ada yang asyik menyanyi sambil teriak-teriak, berkelompok untuk bercerita, bahkan ada yang dengan santainya mengerjakan PR sambil mengemil.
Bukan kelas XII OPA 3 namanya kalau tidak melakukan keributan setiap harinya. Bahkan, setiap guru yang mengajar di kelas tersebut sampai kewalahan, apalagi kalau Athala dan kedua sahabatnya itu berulah. Kacau sudah.
"Assalamualaikum," sapa seorang pria paru baya dari ambang pintu.
Semua murid menjawab salam, lantas mengalihkan pandangan kepada Pak Gilang. Guru tersebut pun masuk ke kelas dan diikuti oleh seorang gadis yang berparas ayu di belakangnya.
Siapa lagi kalau bukan Dinar. Seketika suasana yang tadinya agak kacau, berubah menjadi hening. Apalagi sekarang, semua netra terarah kepada Dinar.
"Hari ini, di kelas kalian kedatangan murid baru," kata Pak Gilang. Tatapannya sekarang beralih pada gadis yang berada di sampingnya. "Dinar, silahkan perkenalkan diri kamu!"
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapa Dinar. "Perkenalkan, nama saya Dinar Adawiyatul Khairiyah. Saya pindahan dari pondok pesantren Al-Hikmah, di Bandung. Salam kenal semuanya, senang bertemu dengan kalian," lanjut Dinar setelah salamnya tadi dijawab oleh para siswa dan juga siswi.
"Dinar, silahkan duduk di samping Farah! Dan kita akan melanjutkan materi yang minggu lalu sempat tertuda."
***
Bel istirahat pun telah berbunyi, Dinar segera membereskan buku serta penanya lantas memasukkan ke tas. Saat Pak Gilang keluar kelas tadi, Dinar sempat berkenalan dengan Farah, dan rencana keduanya akan pergi ke kantin.
Namun, saat Dinar hendak berdiri dari bangkunya tiba-tiba sebuah tangan kekar menahan pergelangan tangannya. Gadis bermanik mata kecoklatan itupun segera menepis tangan yang bertengger di pergelangannya lalu melihat siapa yang berada di depannya saat ini.
Athala?
"Gue mau ngomong sama lo!"
"Iya, boleh. Mau ngomongin apa?"
"Ngak disini! Lo sekarang ikut gue!"
Atlaha segera menarik tangan Dinar, tetapi lagi-lagi langsung ditepis oleh gadis itu. Ya, meskipun mereka sudah resmi bertunganan namun Dinar masih ingin menjaga jarak dengan Athala.
Pemuda itu hanya bisa pasrah, ia segera melanjutkan langkahnya dengan Dinar yang mengikuti dirinya dari belakang. Rooftop. Ya, sekarang ini kedua remaja itu berada di tempat tersebut. Entah apa yang akan dibicarakan oleh Athala sampai-sampai ia mengajak Dinar ke tempat ini.
Meskipun tadi saat berada di lorong kelas XI keduanya sempat menjadi pusat perhatian membuat Dinar agak merasa risi. Berbeda dengan Athala yang hanya terlihat biasa-biasa saja, tanpa merasa bersalah sedikitpun karena membuat Dinar merasa tak nyaman.
"Kamu mau ngomong apa?" Dinar membuka percakapan antara keduanya, karena sejak tadi Athala hanya diam.
"Gue mau nanya, kenapa lo bisa ada di sekolah ini?!" tanya Athala menaikkan satu oktaf suaranya. "Lo mau ngikutin gue?"
"Saya sekolah di sini karena—" Belum sempat Dinar menyelesaikan bicaranya, seseorang langsung menghampiri dirinya dan Athala membuat ia mengurung niatnya untuk melanjutkan ucapannya.
"Athala!" teriak seorang gadis dan langsung memegang pergelangan tangan Athala.
Dinar yang melihat apa yang terjadi di depannya pun langsung mengalihkan pandangannya. 'Siapa gadis itu?' batin Dinar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Pacar Halal (End)
Teen Fiction⚠️Awas Baper⚠️ "Kamu mau ke mana?" "ke Balkon, mau murojaah hafalan." "Kenapa harus di balkon? kan ada aku di sini." "Terus, kalau ada kamu emangnya kenapa?" "Kamu di sini aja, biar aku yang dengerin kamu murojaah." "Serius boleh?" "Iya, fatimah kec...