23 - Copy Ian

862 156 24
                                    

"Di sini kan, tempat yang abang cari?"

Rena mengatakan itu setelah mereka sampai di depan rumah lama Grace yang sudah tidak berpenghuni. Gempa sempat merinding melihatnya. Karena awalnya dia memang dari sini, namun entah kenapa saat bangun, ia berada di tempat lain yang sangat jauh.

Rena diam saja saat memperhatikan rumah itu. Ian cuma bisa melihat raut wajah Rena yang dikatakan tidak baik. Gempa menggenggam pegangan kursi roda dengan erat.

"Masuklah, kami tidak bisa ikut campur dengan urusan kalian semua," ujar Rena. Ia kini mengambil alih memegang kursi roda Rayn yang belum juga membuka mata.

Gempa ragu. Ia sendirian. Dan lagi tidak mengetahui dimana para saudaranya. Handphonenya tidak ada di saku celana sejak bangun. Bahkan tubuhnya pun kotor. Meski Gempa belum sempat sama sekali membersihkan tubuhnya.

Ian menarik baju belakang Rena. Rena menoleh. Tampak Ian menggigiti kukunya sambil menatap rumah itu. "Kak, di bawah sana--"

"Aku tahu." Rena tersenyum tipis sembari mengelus kepala Ian dengan lembut. Ian tampak berdekatan dengan Rena, enggan menjauh. Terlebih, ia terlihat tidak suka dengan rumah itu.

Gempa masih fokus dengan lamunannya. Lantas berbalik menatap Rena dan yang lain. "Kalian tidak apa-apa ditinggal disini?"

"Tentu saja, kami bisa hidup sendiri."

Gempa menggeleng. "Maksudku, saat aku kembali. Bisakah tetap ada di sekitar sini?"

"Kenapa? Takut?" sahut Ian. Rena menjitak dahi Ian dengan sebal.

"Mau membawa kami?" Gempa mengangguk saat Rena mengatakan itu. Rena tersenyum tipis. Cukup lama hingga ia menjawab. "Akan kami tunggu."

"Baiklah kalau begitu, berhati-hatilah. Aku akan langsung mencari kalian begitu semua ini selesai." Gempa antusias. Dia berbalik dan pergi menuju rumah itu. Tampak melambai sedikit kepada mereka. Dibalas Rena dengan lambaian tangan juga.

Setelah Gempa menghilang di balik gerbang. Rena menurunkan tangannya. Tampak termenung setelah itu. Ian melihat wajah Rena. Ekspresi Rena sehari-hari itu kian tampak seperti menyembunyikan sesuatu.

"Apa kita akan benar-benar menunggu dia kembali dan membawa kita pergi dari sini?" tanya Ian. Ian sudah tahu bahwa mau seindah apapun sebuah kata yang diutarakan. Itu tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan.

Bahkan hal tersebut sama ketika mereka berada di dalam ruangan serba putih. Dan ketika seorang dokter berjubah putih mengatakan bahwa mereka akan bebas.

Bebas dalam artian yang berbeda.

Rena bukan tipikal orang yang langsung luluh dan percaya saja dengan tipuan manis. Atau janji-janji apapun yang orang lain akan buat dengannya. Bagi Rena, hidup sendiri adalah hal terbaik yang bisa ia punya.

Menjadikan para anak-anak panti menjadi percobaan alat-alat yang bisa mereka jual untuk perang adalah hal tidak manusiawi yang pernah ada. Penyiksaan demi penyiksaan yang harus dilalui tiap ada alat baru yang dikembangkan. Bahkan satu-persatu anak gugur karena alat yang dicoba pada mereka itu belum sempurna.

Ia tidak mengerti kenapa alur hidupnya seperti ini. Padahal ia yakin tidak melakukan dosa apapun selama hidupnya.

Ia adalah anak baik.

"Ian, kau mau tetap disini atau ikut bersamaku?" tanya Rena seolah memberikan pilihan.

"Tentu saja ikut bersamamu!" jawab Ian dengan tegas. Ian takkan mau ditinggal sendirian. Orang satu-satunya yang bisa ia percaya adalah Rena. Ia tidak mau jika harus pisah dengan Rena dan menjalani hidup sendirian.

『 Little Sister And Seven Brother 2 』BoBoiBoy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang