[5 tahun sebelum ledakan pulau rintis]
"Bukankah dia terlalu berbeda dari abang-abangnya?"
Di pagi hari dimana hawa masih terasa dingin. [Name] yang baru saja bangun dan turun dari lantai atas, mendengar percakapan ibu dan ayahnya di ruang tengah.
[Name] yang masih berumur 6 tahun itu hanya berdiri dibalik tembok. Memperhatikan sang ayah dan ibu yang tengah mengobrol dengan serius.
Para abang-abangnya pasti sedang sekolah. Hanya [Name] yang belum masuk sekolah. Sebenarnya [Name] sudah bisa masuk TK, namun [Name] yang masih kecil itu menolak dengan alasan 'takut tidak punya teman'.
Meski alasannya aneh untuk seorang anak kecil. Ibu dan ayahnya hanya memaklumi saja. Mungkin [name] masih terlalu kecil untuk bergaul dengan teman sebayanya.
"Mau bagaimana pun, mungkin dia hanya terlalu lebih cepat belajar dari anak-anak lainnya." Sang ibu mencoba melepas rasa khawatir suaminya. Meski sang suami sendiri terlihat masih memikirkan hal itu.
"Melihat [Name], aku merasa bisa melihat ketujuh anak laki-laki kita dalam satu raga." Ayahnya berujar kembali. Dengan helaan napas panjang, ia kembali berucap. "Seperti versi sempurna."
[Name] hanya mendengarkan semua percakapan itu dari balik dinding. Merasa bahwa semua hal tersebut rahasia. Akhirnya, [name] memilih untuk naik lagi ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar miliknya.
[Name] memiliki kamar tersendiri. Tidak terlalu besar, namun nyaman untuk ukuran anak kecil. Kamarnya di dekorasi dengan warna ungu, meski [Name] sendiri bilang ia suka dengan warna merah.
Lalu ada ranjang kecil dan meja belajar. Di sudut ruangan, ada peti kecil tempat menyimpan mainan. Biasanya, [Name] suka asal memasukkan apa saja miliknya ke dalam sana.
Bahkan [Name] pernah memasukkan salah satu abangnya ke dalam peti itu. Membuat satu keluarga panik mencari, ternyata sang abang justru tidur tenang di dalam peti milik [Name].
Jangan salahkan [Name] . Ia hanya ingat jika tempat tersebut bisa ia masukkan segala hal yang penting bagi [Name]. Karena tidak cukup jika dimasukkan semua, maka [Name] hanya menarik dan menyuruh salah satu abangnya untuk masuk ke dalam peti itu.
Lucu sekali jika para abang [Name] mengingat hal tersebut.
Sekarang isi peti [Name] hanya hal-hal tidak jelas. Dan barangnya pun sedikit. Biasanya [Name] hanya akan memasukkan pena yang diberikan seseorang atau hadiah dari orang lain.
Contohnya saja, jepit rambut yang pernah dikasih oleh Halilintar. Ia masukkan ke dalam sana.
[Name] akhirnya membuka peti itu. Lalu melihat-lihat isinya, sebelum mengambil salah satu barang.
Sebuah batu kerikil berwarna biru yang pernah [Name] temukan sewaktu berlibur ke pantai. [Name] hanya mengambil itu lalu menutup peti kecilnya kembali.
Ia berpindah untuk duduk di atas kasur. Sambil memegangi batu kerikil kecilnya.
Setelah beberapa saat, ia keluar lagi dari kamarnya dan berdiri di dekat tangga. Lalu melempar batu itu ke tangga. Membuat suara berisik dimana batu itu jatuh satu-persatu di atas tangga.
"Astaga, apa itu?"
Kedua orang tua [Name] buru-buru menghampiri tangga. Lalu menemukan [Name] yang ada di ujung tangga, sedang terkekeh senang sembari menutup mulutnya.
"Astaga, [Name]. Kamu ternyata."
"Hehe. Ayah! Bunda!" [Name] turun dari tangga. Kedua tangan ibunya terbuka lebar dan langsung memeluk putri tercinta. Sang ayah hanya terkekeh saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
『 Little Sister And Seven Brother 2 』BoBoiBoy ✔
Fanfiction【 Completed 】 『 BoBoiBoy x Reader as Little Sister 』 ⊱ ────── {.⋅ ♫ ⋅.} ───── ⊰ ➢ Sequel lanjutan Little Sister and Seven Brothers Kisah sebagai adik ketujuh kembar tidak sampai di sana. Kini, mereka harus mencari keberadaan Taufan, Ice dan Solar ya...