10. Kesempatan Kedua

2.8K 94 16
                                    

Kwknya Mimi mau boom update semua karya Mimi deh. Mumpung belom puasa ehe.
Setuju enggak?
Kalau setuju, ayo dong tinggalin komen kaliann


.

.

.




Selena turun dari mobil bersamaan dengan Edgar. Saat ini, Selena dan Edgar memang sudah tiba di depan villa milik keluarga Edgar. Para pelayan tampak menyambut kedatangan Edgar, dan membuat Selena segera berkata, "Kakak, aku akan pulang sekarang."

Edgar menatap Selena dan menjawab, "Masuklah dulu. Aku rasa tidak sopan untuk membiarkanmu pulang tanpa menawarkan teh satu cangkir pun."

Selena tampak cemberut dan berkata, "Tidak perlu. Aku harus kembali."

Edgar menutup pintu mobil dan memasukkan tangannya yang bebas ke saku celanannya dan menunjukkan tangannya yang masih digips dengan rapi. "Apa mungkin, aku harus menceritakan pada kakek dan nenekmu mengenai sejarah tanganku yang digips ini? Sebenarnya, aku tidak keberatan untuk menceritakan semuanya. Bahkan mengenai kejadian tadi malam," ucap Edgar menekankan kalimatnya membuat Selena kesal bukan main.

Pada akhirnya Selena pun menutup pintu mobilnya dengan kesal sembari berkomentar, "Kenapa Kakak masih menggunakan gips seperti itu? Padahal Kakak sudah tidak perlu lagi menggunakannya."

Selena benar-benar kesal lalu melangkah masuk ke dalam villa tersebut bersama dengan Edgar. Sebenarnya Selena ingin menghindari Edgar secepat mungkin. Sebab dirinya sadar memang tidak ada untungnya bagi dirinya untuk menghabiskan waktu atau berinteraksi dengan pria yang semakin berani menggodanya ini. Hanya saja, Edgar selalu bisa membaca apa yang dipikirkan oleh Selena, hingga Edgar bisa dengan mudah mengambil langkah untuk membuat situasi sesuai dengan keinginannya.

Saat Edgar ingin mengajak Selena untuk duduk di ruang bersantai, Selena mendapatkan telepon dari kakeknya. Selena tentu saja menerimanya. Namun, Selena seketika berekspresi masam karena ternyata kakeknya berkata, "Sayang, kau tidak perlu pulang. Tolong menginaplah di villa Edgar."

"Kenapa Kakek memintaku untuk melakukan hal itu?" tanya Selena lalu menjauh dari Edgar yang tentu saja berada di sana. Selena tidak ingin pembicaraannya dengan sang kakek bisa terdengar oleh Edgar.

Dari ujung sambungan, sang kakek pun menjawab, "Kakek dan nenek merasa jika lebih baik kau tinggal di sana. Edgar juga masih belum sepenuhnya sehat, bukankah kau juga harus merawatnya? Kau harus bertanggung jawab karena ia terluka sebab ingin menyelamatkanmu yang terjatuh."

Seketika Selena menatap kesal pada Edgar yang tampak masih mengamatinya dari jauh. Selena pikir, Edgar tidak mengatakan apa pun pada kakek dan neneknya. Namun, ternyata bajingan itu memang sudah memberitahukan bahwa ia adalah penyebab dari tangannya yang terluka tersebut. Selena pun mengatupkan bibirnya. Berusaha untuk menahan semua makian yang bisa ia lontarkan pada Edgar.

Lalu Selena berkata, "Aku akan melakukan bagianku, Kakek. Tapi, kurasa aku tidak perlu melakukannya sejauh itu hingga menginap. Aku masih bisa pulang pergi, dan tidur di rumah."

"Untuk sementara waktu, kau tidak bisa tinggal di rumah, Sayang. Kakek dan Nenek akan pergi ke luar kota. Para pelayan juga beberapa mengambil waktu untuk cuti karena urusan keluarga. Jadi, lebih baik kau tetap tinggal di villa Edgar. Nenekmu juga tengah memberitahu masalah itu pada Edgar," ucap Johan membuat Selena melirik pada Edgar yang terlihat tengah menerima telepon. Melihat hal itu, Selena pun merasa pening bukan main.

"Tapi Kakek aku—"

"Sayang, bagaimana jika kita berbicara lagi nanti? Kakek dan Nenek harus berangkat sekarang juga, atau kami bisa terlambat," ucap Johan mau tidak mau membuat Selena kembali harus mengalah. Sambungan telepon pun terputus ketika Selena menjawab bahwa dirinya akan menuruti apa yang sudah diputuskan oleh kakek dan neneknya.

Sementara itu, Edgar yang juga sudah selesai berbicara dengan Nelda, tampak menyeringai tipis. Lalu Edgar berkata pada pelayan, "Tolong siapkan sebuah kamar di lantai dua untuk Selena. Begitu pula dengan pakaian yang bisa ia kenakan selama tinggal di sini."

Edgar mengatakan semua itu dengan suara yang memang sengaja ia keraskan. Agar Selena bisa mendengar suaranya itu dengan jelas. Selena sendiri menatap Edgar dengan ekspresi kesal, dengan bibir yang masih cemberut. "Dasar menyebalkan. Nasibku memang selalu sial saat berhubungan dengannya," gumam Selena tanpa suara.

***

Edgar sudah duduk di meja makan dan menyesap air putih. Namun, ia tidak melihat Selena datang ke ruang makan. Padahal ii sudah waktunya mereka makan malam. Semenjak Selena mendapatkan kamar di villa tersebut, Selena memang memilih untuk mengurung diri di kamar. Hingga saat ini pun, Selena tidak melangkah dari kamar yang ia tempati dan bahkan sepertinya menghindari momen makan bersama dengan Edgar.

Tentu saja Edgar merasa terganggu dengan hal tersebut dan bertanya, "Di mana Selena? Apa ia belum tahu makan malam sudah siap?"

Seorang pelayan yang memang berstatus paling tinggi sebagai kepala pelayan di villa itu pun menjawab, "Kami sudah memberitahu Nona Selena bahwa makan malam sudah siap. Hanya saja, tadi Nona Selena memilih untuk makan beberapa buah kukis dan susu karena berkata jika perutnya kurang nyaman untuk menikmati makanan berat."

Edgar mengernyitkan keningnya. "Benarkah?" tanya Edgar.

Pelayan itu mengangguk. "Tadi saya juga sudah memberikan beberapa obat pencernaan untuk Nona. Jadi, sepertinya sekarang Nona tengah tidur. Jika memang kondisinya masih belum membaik, saya meminta Nona mengatakannya pada saya agar dokter bisa segera dipanggil dan memeriksa kodisinya."

Edgar menghela napas. "Kau melakukan kerja bagus," ucap Edgar dengan ekspresi datar sebelum menikmati makan malamnya dengan sekenanya. Sebab nafsu makan Edgar tiba-tiba menghilang begitu saja.

Setelah makan malam tersebut, Edgar pun meminta para pelayan untuk beristirahat saja. Edgar tidak akan meminta bantuan mereka di malam itu, jadi mereka tidak perlu terjaga dan bisa beristirahat. Setelah semua lampu kediaman dipadamkan hampir delapan puluh persen, Edgar sendiri berniat masuk ke dalam kamarnya sendiri. Hanya saja, langkah Edgar tertahan karena dirinya kembali tergelitik untuk memeriksa kondisi Selena.

Saat membukanya, Edgar sadar jika pintunya terkuci dari dalam. Namun, itu bukan masalah karena Edgar memiliki kunci master. Jadi, ia pun berhasil membukanya dan masuk ke dalam kamar. Namun, ia segera disambut dengan sebuah pertanyaan, "Kenapa Kakak selalu masuk ke dalam kamar seorang gadis tanpa permisi seperti ini? Apa Kakak memang benar-benar orang mesum?"

Edgar melihat Selena yang ternyata kini tengah bermalas-malasan di ranjangnya dengan televisi yang menyala dan memutar sebuah film. Edgar pun berkata, "Kenapa tiba-tiba aku dipanggil mesum?"

"Tentu saja aku berpikir seperti itu. Sebelumnya, aku melihat Kakak memutar video mesum di komputermu, lalu kemarin Kakak masuk ke dalam kamarku dan melakukan sesuatu yang tidak sopan padaku. Lalu, jika bukan mesum, aku harus memanggil hal itu sebagai sikap apa?" tanya balik Selena tajam. Tampak dengan jelas ekspresi kekesalan menghiasi wajah Selena saat ini.

Edgar yang melihat hal itu sama sekali tidak merasa bersalah. Ia malah terlihat tertarik dengan melangkah mendekat pada Selena sembari berkata, "Kau sepertinya marah padaku."

Selena menipiskan bibirnya. Ia rasanya tidak lagi bisa memiliki stok kesabaran lagi. Ia merasa jika semua usahanya sia-sia, selain itu Selena juga kesal karena Edgar bertingkah seeenaknya. "Pergilah, aku benar-benar tidak ingin bicara dengan Kakak," ucap Selena.

Namun, secara tiba-tiba Edgar sudah berada begitu dekat dengan ranjang. Lalu Edgar berkata, "Sepertinya bantuanku tadi malam tidak berhasil membuatmu puas. Kalau begitu, berikan aku kesempatan kedua. Kali ini, aku akan memberikan sentuhan yang membuatmu puas. Aku akan menjaminnya."

Tentu saja Selena yang mendengarnya terkejut bukan main dengan apa yang dipikirkan oleh Edgar tersebut. Sayangnya, Selena tidak mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri atau mengambil antisipasi untuk menghindar dari Edgar. Sebab beberapa saat kemudian Selena benar-benar sudah jatuh ke dalam genggaman Edgar. Pria itu dengan mudah memberikan sentuhan yang lebih agresif dan luar biasa daripada sentuhannya sebelumnya.

Hal itu membuat Selena pening bukan kepalang dan mati-matian berusaha untuk menahan erangannya. Namun, Edgar dengan jailnya menggigiti daun telinga Selena. Lalu berbisik, "Kau tidak perlu menahan eranganmu, Selena. Kau bebas mengerang, karena tidak akan yang mendengarnya selain diriku."

Playing with My ProfessorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang