Setelah kejadian selepas istirahat itu, Gia jadi lebih pendiam. Ia malu, sumpah. Apalagi orang yang menolongnya adalah cowok yang ia gadang-gadang jadi musuh abadinya dua tahun belakangan.
Selama pelajaran bahasa Inggris berlangsung, Gia menolak berinteraksi dengan teman sebangkunya. Anehnya juga, Raja ikut-ikutan jadi pendiam. Cowok itu seperti sedang puasa menjahili Gianna. Entahlah, Raja hanya merasa Gia akan merasa tidak nyaman kalau ia ajak bicara sekarang. Eh? Tunggu-tunggu... Kok dirinya tiba-tiba jadi peduli dengan gadis itu?
Jaket milik Raja masih terikat di pinggang Gia. Hal itu juga dikarenakan noda darah di rok nya sangat kentara, dan kebetulan kelas mereka sedang tidak ada mata pelajaran olahraga, jadi pilihan paling terakhir ya mau gak mau Gia harus meminjam jaket milik cowok itu.
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul dua siang. Setelah doa pulang dikumandangkan, dan bel pulang sekolah dibunyikan, para murid langsung berhamburan keluar dari kelas. Disaat teman-temannya satu persatu mulai keluar dari kelas, Gianna masih duduk manis di tempatnya sambil berpura-pura membereskan buku-buku dan alat tulisnya. Diam-diam ia melirik kearah Raja, cowok itu masih saja tidak mengatakan sepatah kata pun. Kenapa disaat-saat seperti ini Gia malah berharap Raja memulai percakapan lebih dulu? Ia agak kecewa saat mengetahui cowok itu lebih memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.
Seusainya ia mengangkat bangku keatas meja dan mengambil sampah-sampah pada kolong mejanya, Raja pergi meninggalkan kelas tanpa mengatakan apa-apa. Gia terkejut tentu saja, juga sedih.
"Gi, ayo."
Gadis itu menoleh, "ha? Oh? Gue hari ini nggak ikut eskul deh, El kayaknya. Perut gue udah mulai keram."
"Yah, iya juga ya lo lagi dapet. Ya udah mending lo pulang, ntar biar gue yang ijinin."
Gia mengangguk. "Sama tolong sekalian kasih kunci motor gue ke adik gue ya? Bilangin gue pulang duluan pakai gojek. Biar dia yang pulang bawa motornya."
"Oke, siap! Lo hati-hati di jalan. Eh, lo ada jas hujan atau payung gak? Kayaknya bentar lagi hujan."
"Gak ada sih, tapi pasti dipinjemin sama abang gojeknya."
"Oke deh, call gue kalau ada apa-apa."
***
Gia merasa sikapnya ini sungguh tidak benar. Meskipun Raja memang menyebalkan dan ia membencinya, tapi tetap saja cowok itu adalah orang yang membantunya. Kalau bukan karena cowok itu, mungkin Gia sudah jadi bahan julid semua orang di sekolah.
Karenanya, gadis itu tidak langsung memesan gojek dan segera pulang ke rumah. Setidaknya sebelum ia mengatakan terima kasih pada Raja, ia tidak bisa pulang dengan hati tenang, dan Gia sangat tidak menyukai hal itu. Ia tidak suka berbudi pada orang lain.
Harusnya Raja lewat gang ini waktu pulang, berhubung rumah cowok itu tidak jauh dari sekolah, dan setau Gia hari ini Raja tidak membawa motor ke sekolah, jadi harusnya cowok itu akan melewati gang ini.
Gang itu sepi, karena gang itu termasuk gang kecil, yang bahkan motor pun sulit untuk melewatinya. Gang kecil itu merupakan salah satu jalan alternatif tercepat untuk menuju ke sekolah, tak heran kenapa Raja lebih memilih berjalan kaki daripada boros bensin motor.
Langit mulai mendung, awan-awan mulai menghitam, bahkan suara petir mulai terdengar. Sial, Gia tidak membawa jas hujan ataupun payung, sedangkan di gang kecil ini tidak ada tempat yang bisa dituju untuk berteduh.
"Aduhh, tuh anak mana sih kok lama banget?" Gerutunya.
Ia kembali berbicara sendiri, "please jangan hujan dulu, please-- kampret." Gerimis pada akhirnya mulai turun dan membasahi seragamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WISH U | Huang Renjun
Teen FictionTentang bagaimana mereka si para pemimpi belajar bahwa masa muda adalah masa yang paling layak untuk diingat. Tidak semua angan harus digapai dan semua harap dikabulkan. Ini tentang bagaimana mereka mengikhlaskan. "Kita itu seperti kupu-kupu. Tumbu...