Thirteenth note

62 8 1
                                    

p.s

Chapter ini bakalan agak panjang dari biasanya, jadi pastiin kalian ngerasa nyaman dulu sebelum membaca. Happy reading!

Sembilan puluh persen manusia cenderung menggunakan ekspresi untuk menunjukkan setiap rasa yang sedang ia rasakan. Entah sedih, bahagia, takut, semuanya dapat dengan mudah terbaca melalui ekspresi wajah setiap orang.

Dari kecil, Gianna bukanlah tipe anak yang mudah menangis. Para bayi pada umumnya akan menangis saat merasa lapar ataupun sakit, tapi tidak dengan Gianna. Alih-alih menangis, bayi perempuan itu hanya akan mengeluarkan sedikit suara rengekan, lalu kemudian akan menjadi lebih pendiam dari biasanya. Karena itulah mama dan papa pernah sangat khawatir dengan kondisi putri sulung mereka itu. Putri mereka itu hanya akan menangis saat dirinya merasa sangat marah— seperti misalnya ketika berumur dua tahun, mama berhenti memberinya permen jelly favoritnya.

Di umurnya yang ke empat tahun— dimana waktu itu Gia baru saja menyandang gelar sebagai seorang kakak perempuan— dirinya pernah menghilang sampai kurang lebih setengah hari. Disaat langit mulai berubah gelap, papa akhirnya berhasil menemukan putrinya itu sedang terkunci di gudang sekolah TK nya. Anak normal pada umumnya pasti akan menangis kencang dan berteriak ketakutan sembari memanggil mama dan papanya, tapi gadis itu tidak. Ketika papa menemukannya, yang sedang gadis kecil itu lakukan adalah meringkuk di ujung ruangan sembari menyembunyikan wajahnya pada kedua lututnya. Dan ketika dihampiri, papa menyadari bagaimana tubuh putrinya itu bergetar hebat. Tapi lagi-lagi anehnya, gadis kecil itu tidak menangis sama sekali. Jangankan menangis, bahkan anak itu tak berteriak untuk menunjukkan kepanikannya terkunci sendirian di ruangan sempit yang sangat amat gelap.

Kejadian yang menimpanya di masa lalu itu kini menjadi trauma besar bagi Gianna. Di dunia ini, Gianna membenci manusia, tapi hal yang paling ia benci adalah kegelapan. Gadis itu menyukai malam. Ia menyukai bagaimana malam hari selalu menciptakan keindahannya sendiri, entah dari gedung-gedung tinggi yang selalu terlihat cantik di malam hari atau bintang-bintang dan juga bulan yang selalu tersebar cantik di langit hitam. Namun, ia membenci ketika langit terlihat begitu gelap dan tak ada satupun lampu jalan ataupun benda langit yang bersinar. Gadis itu tak pernah tidur di ruangan yang gelap. Meskipun menyukai pakaian bernuansa hitam, tapi kamar milik gadis itu selalu di dominasi oleh warna putih. Kegelisahan dalam dirinya selalu melejit tanpa bisa dikontrol saat ia berada di ruangan yang gelap dan sempit. Seperti saat ini misalnya. Lagi-lagi kejadian yang pernah menimpanya sewaktu kecil kembali terulang padanya di masa remaja.

Gia memukul pelan pintu gudang yang sudah terkunci rapat itu. "Pak? Pak Ahmad? Siapa pun ada yang dengar?" Gadis itu tau perbuatannya percuma, karena siapa orang yang akan stay di depan gudang sekolah, yang bahkan letaknya berada di koridor paling ujung di lantai tiga. Daerah koridor ini sangat sepi dan jarang sekali ada siswa maupun guru yang menjangkaunya.

"Tuhan... Please jangan lagi..." ujarnya begitu lirih sembari meremat dadanya yang mulai terasa sesak akibat anxiety yang meronta-ronta.

Kalau tau dirinya akan berakhir seperti ini, harusnya tadi Gia mengiyakan tawaran Eli untuk mengembalikan kompor portabel bersama ke gudang. Sekarang, gadis itu tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu keajaiban datang untuk menolongnya. Ia tak membawa ponsel ataupun peralatan elektronik lainnya.

Gia meremat tangannya sendiri yang mulai bergetar. Gadis itu memilih untuk duduk tak jauh dari pintu gudang. Ketika ia melihat sekelilingnya yang gelap, jantung gadis itu berdebar semakin tak karuan.

Gudang yang sempit semakin membuat Gia merasa terkungkung. Gadis itu merasakan napas nya mulai tak teratur akibat banyak bayangan-bayangan tak mengenakan yang mulai bermunculan di kepalanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah terus merapalkan doa dalam hati, berharap ada seseorang yang sadar akan ketidakhadirannya dan pergi untuk mencarinya. Kalaupun memang tidak ada yang menyadari akan hilangnya dirinya, setidaknya ada seseorang yang tak sengaja lewat.

I WISH U | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang