Ada kalanya Gia merasa kalau membina pertemanan yang baik dan sehat dengan seseorang bukanlah hal yang mudah. Berteman memanglah mudah, tapi mempertahankan pertemanan dalam konteks yang sehat adalah hal yang cukup sulit untuk dilakukan. Bahkan gadis itu belum terlalu paham tentang makna sebenarnya dari pertemanan yang sehat.
Kalau kalian berpikir gadis itu adalah orang yang sulit dalam membina pertemanan, maka kalian salah besar. Dari SD sampai SMA, Gia sudah berkali-kali berganti sirkel pertemanan. Mulai dari yang toxic, munafik, menusuk, sampai akhirnya ia merasa ia telah menemukan orang yang tepat untuk ia jadikan teman. Namun, tidak sekalipun Gia merasa khawatir akan tidak memiliki teman. Ia akan lebih memilih untuk sendirian daripada bersama 1000 teman yang palsu. Menurutnya, alam lah yang akan menyeleksi orang-orang yang nantinya akan tinggal disisinya. Mana orang yang benar-benar layak dijadikan teman dan mana yang bukan.
Pernah mendengar istilah teman sejati? Tentu semua orang pernah mendengarnya, begitu juga dengan Gia. Seingatnya hari itu adalah hari pertama diadakannya MOS tingkat SMP. Hari dimana ia pertama kali mengenakan pakaian putih biru.
Dalam satu kelompok diisi oleh kurang lebih sepuluh anggota. Entah karena kesialannya atau apa, tapi sebagian dari anggota kelompoknya adalah siswa yang pasif. Yang tidak banyak bicara seperti dirinya. Namun, ada satu anak perempuan yang selalu menarik perhatian Gia. Siswi itu menarik perhatiannya bukan karena ia menyukainya, tapi sebaliknya, Gia tidak terlalu menyukai anak perempuan berambut panjang itu.
Terlalu banyak bicara, terlalu banyak bertingkah, tidak bisa diam, dan terlalu berisik. Begitu Gia mendeskripsikannya.
"Besok hari terakhir MOS ya?"
Tidak penting. Kenapa anak itu selalu menanyakan hal yang jelas-jelas ia sendiri sudah tau jawabannya?
"Iya, El. Besok hari terakhir." Jawab anggota lainnya, tapi jelas bukan Gianna.
"Yahh besok kita udah pisah, deh. Kira-kira ada gak ya yang sekelas sama gue? Kan enak tuh kalau sekelas, kita udah kenal soalnya."
Entah tulus atau tidak, tapi anggota yang lain ikut mengiyakan apa yang dikatakan gadis dengan tag nama Elinanda.
"Gi, mau?" Eli menyodorkan bekal makannya yang berisi roti pada Gia, tapi dengan cepat ditolak oleh gadis itu. Eli kecewa, tapi tentu saja ia menyembunyikannya rapat-rapat. Kenapa sulit sekali mendekati Gia? Pikirnya. Kenapa gadis itu seperti enggan berteman dengannya? Atau jangan-jangan Gia memang membenci dirinya?
"Gi, rumah gue searah sama rumah lo, loh. Lo pasti nggak tau ya? Nanti mau pulang bareng nggak? Lo naik angkot juga kan?"
Gia mengangguk, "iya, gue naik angkot. Tapi kayaknya gue pulang sendiri aja deh. Sorry ya, El."
"O--oh gitu ya? Oke deh! Santai aja hahaha!" Gadis itu memaksakan tawanya, padahal sebenarnya ia sedih bukan main.
Para siswa akhirnya diperbolehkan untuk pulang setelah upacara penutupan MOS dan juga doa penutup selesai dilaksanakan.
Matahari yang bersinar terik membuat Gia ingin buru-buru pulang kerumah. Mama pun telah berpesan kepadanya untuk jangan mampir kemana-mana lagi sepulang sekolah. Kekhawatiran mama bukanlah kekhawatiran yang tak berdasar. Semua kekhawatiran itu terbentuk setelah seminggu yang lalu muncul banyak berita penculikan anak-anak di setiap sudut terpencil kota Surabaya. Gia tentu saja menentang kekhawatiran mama dengan mengatakan, "siapa juga, ma yang mau culik anak kayak aku? Lagian aku udah SMP. Yang diculik kan kebanyakan anak-anak TK sampai SD. Yang butuh dikhawatirin itu Ivanna sama Ivan. Penculik mana doyan sama aku?"
"Kamu tuh kalau dibilangin suka gitu! Jangan ngeremehin ya! Pokoknya sepulang sekolah harus cepet pulang!"
Ujung-ujungnya pun tetap Gia lah yang kalah. Memang kapan ia pernah menang berdebat dengan ibunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
I WISH U | Huang Renjun
JugendliteraturTentang bagaimana mereka si para pemimpi belajar bahwa masa muda adalah masa yang paling layak untuk diingat. Tidak semua angan harus digapai dan semua harap dikabulkan. Ini tentang bagaimana mereka mengikhlaskan. "Kita itu seperti kupu-kupu. Tumbu...