Eleventh note

58 7 2
                                    

Malam sudah semakin larut, namun dua perempuan itu sepertinya tidak berniat sama sekali untuk menutup mata. Ponsel milik Eli masih senantiasa memutar playlist yang kebanyakan diisi oleh lagu milik tulus dan Nadine amizah. Keduanya melamun sembari sibuk menikmati alunan lagu mendarah milik Nadine amizah.

"Oma lo tau kan lo nginep sini?"

"Tau. Oma kayaknya kasihan sama gue deh, soalnya tadi oma orang pertama yang kasih tau gue kalau papa mau ke rumah. Terus ya udah deh, gue bilang nginep rumah lo."

"Mau sampai kapan lo kabur-kaburan kayak gini?"

"Kalau bisa sampai mati."

"Sampai mati your eyes! Ngaco lo!"

"Gue pusing anjing, Gi. Disaat-saat kayak gini gue iri sama anak yatim piatu. Ya tau sih dosa kalau gue ngomong kayak gitu, kesannya gue gak bersyukur punya orang tua. Tapi kenyataan hidup gue emang kayak gini. Gue nggak tau dari sisi mananya gue harus bersyukur punya orang tua seperti mereka."

"Sedih lo?"

Tanpa menyahut, Eli mengangguk.

"Mau nangis?"

"Sebenernya pengen, tapi yaudah lah, capek gue nangisin mereka mulu."

"Butuh dihibur gak?"

"Emang lo bisa?"

"Gak sih."

"Ya udah lo diem aja, gak perlu berusaha apa-apa. Lo mau dengerin cerita gue aja, gue udah bersyukur."

"Ya udah sih, gak usah mellow gitu. Geli gue."

Eli terbahak, "topik lain deh. Gue juga gak suka kalau sentimen gini. Hidup cuma sekali tsay, mending kita ketawa. Iya nggak?"

"Mending kita tidur lah. Bahagia kalau palsu juga bakal capek kali. Nah, masalahnya, gue gak pernah bisa tidur."

Eli menoleh khawatir, "insom lo masih separah itu, Gi?"

"Sebenernya akhir-akhir ini lumayan membaik. Semenjak gue rajin minum susu kotak sebelum tidur."

"Lah? Bukannya dulu lo bilang ke gue gak mempan?"

"Sekarang mempan."

"Hah? Lo minum susu kuda?"

"Lo tuh minum susu alien! Ya kali susu kuda! Pokoknya sekarang mempan, jangan banyak tanya."

"Idihhh, sinting."

Lalu keduanya kembali terdiam. Sembari menatap langit-langit kamar Gia, Eli merenung. "Gi, gue kepikiran ambil arsitektur."

Gia menoleh, "really? That's a good choice."

"Tapi gue nggak mau kuliah pakai uang mereka."

"El."

"They already have their own child, Gi."

"Tapi lo juga anak mereka."

"Dulunya. Mereka bahkan nggak berusaha memperebutkan hak asuh gue sama sekali."

Pembahasan semacam ini memang tak bisa dihindari dari awal. Saat malam tiba, semua kesedihan itu selalu saja datang menghampiri tanpa pernah absen.

"Lo tau kenapa gue belajar mati-matian? Karena gue mengharapkan pengakuan dari mereka. Gue mau membuktikan ke mereka kalau menyia-nyiakan gue adalah suatu kesalahan besar. Gue pasti bisa hebat tanpa bantuan mereka kan, Gi?"

Gadis itu menghela napas sebelum ia tatap sahabatnya itu. "Untuk saat ini nggak bisa, El. Dengerin gue. Gue tau lo marah, kecewa, tapi lo harus menerima kenyataan kalau lo memang butuh mereka. Kalau terlalu sulit untuk lo berdamai dengan keadaan, maka manfaatkan. Manfaatkan sebaik-baiknya uang yang orang tua lo kasih buat lo. Nantinya, lo bisa kembalikan dengan cara lo sendiri. Entah lo anggap itu balas budi atau cuma sekedar membayar utang. Semuanya terserah sama lo, tapi untuk sekarang, lo harus mengakui kalau lo nggak berdaya. Merendahkan ego yang lo punya bukan berarti lo lemah. Kalau lo bisa melawan ego itu, artinya lo manusia bijaksana."

I WISH U | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang