Fifth note

57 7 0
                                    

Pukul dua dini hari, laki-laki itu terbangun dari tidurnya. Dengan cepat ia menyadari kalau ruangan itu bukanlah kamar tidurnya. Ia cuma bisa menghela napas waktu menyadari ruangan itu adalah bangsal rumah sakit.

Bangsal VIP itu sepi, tentu saja. Hanya ada dirinya dan tiang infus yang senantiasa menemaninya.

Pikiran laki-laki itu kembali melayang. Tiba-tiba ia teringat akan kejadian kemarin. Kejadian dimana ia mengetahui kalau mama ternyata telah mencintai pria lain selain ayahnya. Dada Raja tiba-tiba sesak ketika ia berusaha menerima fakta tersebut.

Kenapa Raja merasa dikhianati?

Memilih untuk mengabaikan rasa sesaknya, ia mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk, lalu mengambil ponselnya yang berada diatas nakas.

Salah satu tangannya dipasangi infus, tapi hal tersebut tidak menghalanginya dalam menggunakan ponsel.

Ada banyak panggilan dan pesan tak terjawab dari Dilan dan Tara. Raja tidak heran. Dilan pasti ingin tau kenapa ia tidak masuk sekolah, dan Tara pasti ingin tau kenapa dirinya tidak datang untuk latihan rutin.

Andai saja Raja dapat mengatakan pada teman-temannya itu kalau ia sedang tidak berdaya sekarang. Ia benci mengakui fakta kalau dirinya lemah.

Tak butuh waktu lama bagi Raja untuk menyadari ada satu pesan tak biasa yang masuk dari sekian banyaknya pesan yang ia terima, dan tak butuh waktu lama juga baginya untuk menghubungi kontak tersebut. Sepertinya laki-laki itu memang sudah gila. Ia bahkan tak ingat kalau sekarang sudah pukul dua dini hari.

Telepon tersambung dengan cepat.

"........"

"....…"

Pada tiga menit awal, mereka hanya bertukar suara napas. Tak ada yang berniat memulai percakapan.

Menit berikutnya, terdengar suara helaan napas dari gadis di seberang telepon. "Lo nggak lihat jam? Ini jam dua malam."

"Bener bu sri yang titip pertanyaan itu ke lo?"

"Mal, udah malem. Gak bisa dibahas besok aja? Gue tutup--"

"Tapi lo masih angkat telepon gue, itu artinya lo masih punya waktu buat ngomong." Sahutan Raja batal membuat Gia memutus sambungan.

"Lo insomnia kan? Karena itu lo belum tidur."

"Gue.."

"Jangan bohongin gue pakai alasan yang masuk akal. Gue bodoh, jadi gue gampang ketipu."

Di seberang telepon, Gia sudah tak tau lagi harus merespon seperti apa.

"Sebelum lo tutup teleponnya, jawab pertanyaan gue yang tadi. Bener bu sri yang titip pertanyaan itu ke lo?"

"Iya."

"Bukan lo sendiri yang tanya?"

"........"

"Jawab."

"Bukan."

Raja spontan tertawa culas. Ia merasa dirinya sekarang sangatlah menyedihkan. Ia bingung dengan apa yang sedang ia lakukan sekarang. Mencari perhatian? Sepertinya iya.

"Masih ada yang mau lo tanyain lagi? Kalau nggak, gue mau matiin teleponnya."

"Lo.. apa lo sama sekali nggak penasaran kenapa gue nggak masuk? Apa lo sama sekali nggak peduli?"

Lagi-lagi Gia sempat terdiam, tapi dengan cepat gadis itu menyahut, "enggak."

Tawa culas kembali keluar dari bibir laki-laki itu. "Ternyata lo memang nggak berperasaan ya? Bodohnya gue yang berharap lo peduli sama gue. Gue lupa kalau lo memang nggak peduli sama sekitar lo, tapi kenapa gue bahkan berharap lo seenggaknya penasaran kenapa gue nggak masuk kemarin?"

I WISH U | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang