p.s
Semua timeline waktu dan pertandingan dalam cerita ini hanyalah fiksi yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata!
•
•
Hari pertandingan yang ditunggu-tunggu itu tiba secepat kedipan mata, dan tak terasa dua minggu terlewati dengan begitu cepat. Raja masih ingat betul bagaimana jantung nya berdegup begitu cepat saat suara peluit yang ditiup serta suara sorakan para penonton sampai pada telinganya. Air mata itu tanpa sadar jatuh dengan sendirinya, karena terkadang ada masa dimana Raja ingin menyerah pada mimpi-mimpinya. Desta memeluknya erat, berulang kali mengatakan terima kasih, yang sebenarnya Raja tak tau untuk apa.
Dengan kemenangan yang berhasil mereka raih di turnamen tahunan ini, artinya langkah mereka menuju pelatihan nasional sudah berada di depan mata.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama saat di suatu pagi yang cerah, Raja mendapat kabar kalau seseorang yang sudah menjadi temannya sejak kecil, juga seseorang yang telah lama berjuang bersamanya di dunia olahraga ini, memilih untuk berhenti. Bukan hanya untuk sebentar, melainkan untuk selamanya.
Masih dengan balutan pakaian kemarin malam- malam yang sama dimana ia baru saja sampai di Surabaya, Raja mengemudikan vespanya menuju rumah Tara.
Tak butuh waktu lama bagi laki-laki itu untuk sampai di rumah temannya. Benar saja, ketika ia sampai di rumah Tara, gadis itu tengah berdiri di depan rumahnya. Ia seakan tau kalau pasti seseorang akan segera mendatanginya untuk menuntut penjelasan. Tapi, Tara tak pernah mengira kalau Raja lah yang akan datang pertama.
"Lo gila ya?!" Cowok itu sudah mulai mengomel duluan bahkan sebelum melepas helm dari kepalanya.
"Lepas dulu helm lo. Udah ngomel aja," Tara terkekeh.
"Tar, lo serius? Sumpah, Tar--"
"Gue serius, Ja. Udah dari lama gue mempertimbangkan untuk pensiun dari bulutangkis."
Raja tiba-tiba merasa frustasi. Masalahnya tidak ada angin tidak ada hujan, tapi tiba-tiba temannya itu mengumumkan untuk pensiun.
"Tapi kenapa? Lo gak pernah cerita apa-apa sama gue."
Tara menghela napas, namun kemudian gadis itu mengukir senyum tipis. "Gue nggak bahagia, Ja. Dari awal, bulutangkis bukan pilihan terbaik untuk hidup gue. Dan sekarang, waktunya gue untuk berhenti. Gue lolos beasiswa di Chicago. Gue mau belajar seni disana."
"Kenapa nggak pernah cerita sama gue?" Tanya Raja dengan nada sedikit ketus. Agaknya cowok itu kesal karena gadis di hadapannya tak pernah menceritakan apa-apa padanya.
"Soal?"
"Semuanya. Terutama soal lo yang nggak pernah bahagia main bulutangkis."
"Karena gue capek, Ja."
Raja membisu.
"Setiap kali gue bilang kalau gue payah, semua orang selalu meminta gue untuk nggak berpikir seperti itu, karena katanya semuanya cuma soal usaha dan waktu. Padahal enggak. Kalau cuma soal usaha, semua usaha udah gue kerahkan kok. Lo bahkan tau sendiri gimana mati-matiannya gue latihan setiap hari, lo tau kalau gue bukan orang yang gampang menyerah. Lalu kalau soal waktu, sepertinya dua belas tahun gue menggeluti profesi ini cukup membuktikan kalau bulutangkis bukanlah pilihan yang harus gue pertahankan. Manusia harus tau kapan mereka harus berhenti. Dan gue tau ini saatnya untuk gue berhenti . Jelas pensiun bukan keputusan yang mudah buat gue, Ja, tapi gue mau hidup yang lebih bahagia. Gue mau hidup tanpa ketakutan. Gue mau berhenti meragukan kemampuan diri gue sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
I WISH U | Huang Renjun
Teen FictionTentang bagaimana mereka si para pemimpi belajar bahwa masa muda adalah masa yang paling layak untuk diingat. Tidak semua angan harus digapai dan semua harap dikabulkan. Ini tentang bagaimana mereka mengikhlaskan. "Kita itu seperti kupu-kupu. Tumbu...