31. Perjalanan Hijrah

2.1K 170 7
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

31. Perjalanan Hijrah

“Dua jenis yang tak akan pernah kenyang selama-lamanya. Yaitu pencari ilmu dan pencari harta.”

Ali bin Abi Thalib

°°°°
Dua hari berlalu dengan begitu cepat dan indah. Pagi menyapa senin ini dengan ceria. Seolah hari ini mewakili kebahagiaan semua mahasiswa yang telah berwisuda. Langit biru pun ikut terbawa suasana acara yang penuh khidmat.

Diiringi lantunan rebana, sholawat terdengar begitu merdu menyapa setiap telinga orang. Dimulai dari acara pembukaan, lantunan ayat Al-quran, sambutan dari berbagai pengurus serta acara pembaiatan dan penutup. Semuanya berjalan sesuai dengan keinginan panitia dan semua orang.

Disalah satu barisan kursi yang berjejer rapi, seorang wanita menyaksikan langsung suaminya yang tengah berada diatas panggung, menyampaikan sambutan singkatnya setelah dinyatakan mendapat nilai kelulusan tertinggi.

Kebiasaan mulutnya yang selalu berdakwah menyiarkan islam, serta berbicara didepan publik membuat Gus Amir tak merasa gugup sama sekali. Bahkan dari caranya berbicara sangat terlihat dan menunjukkan bahwa ia adalah lelaki berwibawa.

“.....terutama saya ingin menyampaikan terima kasih yang teramat dalam untuk, istri saya...,” Gus Amir menatap istrinya yang memakai khimar putih lengkap dengan cadarnya. Ning Mila duduk tepat disamping mertuanya. Lelaki itu menyunggingkan senyum.

“Beliau ini sosok yang sabar sekali menghadapi saya, suami yang kadang sok sibuk gitu, ya...,” Gus Amir terkekeh pelan diikuti MC dan tamu undangan yang ikut tertawa.

“Sibuk sekali, ya, Gus. Dakwah sana-sini, mengajar, masih ngejar skripsi....,” tanggap sang MC.

“Iya...makanya, nanti ilmu nya kita bagi jadi dua, ya, dek...,” canda Gus Amir tertuju pada istrinya yang mampu membuat semua orang tertawa. Bahkan teman-teman sekelas nya pun ikut bersorak. Mereka tahu betul, menjadi seorang Amir bukanlah mudah. Dan mereka juga tahu apa yang selama ini Gus Amir lalui hingga mencapai detik ini. Mahasiswa dengan nilai tertinggi.

Hampir setengah jam Gus Amir menyampaikan sambutan nya. Ia kembali turun panggung. Mendekati keluarga nya. Memeluk Umi yang selama ini telah mendoakan dirinya setulus hati. Gus Amir sampai meneteskan air mata nya. Lalu lelaki itu mencium kedua pipi dan kening Umi Aisyah seraya berbisik 'terima kasih'.

“Selamat, Mas. Umi bangga sama anak Umi ini.” ujar Umi Aisyah, mengusap punggung kokoh putra nya yang masih betah dipelukan.

Acara sambutan dari mahasiswa berprestasi dari fakultas lain masih berlangsung. Gus Amir berpindah kepada sang istri yang sedari tadi mengusap lengan nya. Pria berjas hitam itu sangat tampan dimata Ning Mila.

“Adek...terima kasih banyak, maaf selama ini Mas terlalu sibuk sampai jarang memperhatikan adek...,” mendengar suaminya berbisik lirih membuat Ning Mila tak mampu berkata. Ia hanya diam, mengusap punggung Gus Amir yang mendekapnya.

“Selamat, sayang.” hanya itu yang Ning Mila ucapkan. Namun mampu membuat Gus Amir mengeratkan pelukan.

“Perutnya kegencet, yang!” ujar Ning Mila. Gus Amir menjauhkan diri.

AMILA [Season 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang