Lah.***
“Apasih? Liatin mulu dari tadi, kayak gak pernah liat orang makan cilok aja.”
Setelah kejadian tawuran solo versus squad antara Nadir dan geng di perumahan yang sepi tadi, geng Rasasvada membawa Nadir singgah di sebuah warung kopi, tempat langganan anak-anak SMA Serein untuk nongkrong juga pelarian teraman untuk membolos.
Duduk mengitar di satu meja yang sama dengan suguhan kopi sachet ABC juga dua piring kacang rebus. Atensi mereka kompak mengarah pada satu-satunya si pemakan cilok yang duduk terapit di antara Gusti dan Ozam, yang juga sama-sama tak bisa menerima kenyataan bahwa Nadir lah yang sudah turun tangan melawan kubu lawan tanpa bantuan siapapun. Ozam yang telat datang, diberi tahu melalui video amatir yang direkam oleh si mata siwer, Gariel.
“Naon ih Kak Gus, saya lagi makan jangan digituin.” Nadir menepis pelan tangan Gusti kala sang pemuda menoel-noel pipi Nadir yang menggembung karena mengunyah cilok.
Gusti masih dalam proses mencerna, apakah seseorang yang duduk di hadapannya kini, Nadir atau bukan. Karena Nadir yang Gusti tahu, hanyalah pemuda tengil menyebalkan yang terkadang membuat Gusti kesal. Berbanding terbalik dengan apa yang Gusti lihat tadi, saat dengan tanpa ragu Nadir melunturkan image polosnya, dan melayangkan berbagai serangan pada kubu lawan.
“Halah, kayak gitu mah gue juga bisa. Tinggal nendang, mukul, beres.” Kalau ini Ozam, menyudahi sesi kagumnya dan kembali ingat bahwa dirinya masih dalam tahap bermusuhan dengan Nadir.
Nadir tak memedulikan Ozam, hanya menanggapinya dengan guliran bola matanya kesal. Bertengkar seperti tadi membuat separuh tenaga Nadir hampir habis, apalagi ia lupa tidak sarapan. Sedikit menyayangkan kue basah yang tak Nadir bawa satupun di gudang sekolah tadi.
“Eh Dir, tapi lo seriusan bukan mata-mata anak Stargazer, 'kan?” Ableh masih sama halnya dengan yang lain, tidak percaya jika Nadir mempunyai skill bela diri sehebat itu. Namun Ableh juga harus memikirkan sisi di mana ia harus mengantisipasi, bahwa Nadir bukanlah mata-mata dari geng yang selama ini sudah menjadi musuh bebuyutan anak Rasasvada beberapa bulan terakhir.
“Ya bukanlah. Lagian nih, saya pindah ke SMA Serein, perkara bunda saya pindah dinas lagi. Tau gak sih kalian, saya udah dua kali pindah sekolah di Malang, cape deh.” Nadir menepuk jidat.
“Lo, pasti bawa dedemit khas Sunda kan Dir makannya lo bisa tawuran kayak gitu.” Renaga yang tingkat kedongkolannya sedikit mereda semenjak ia melihat betapa hebatnya Nadir ketika beradu fisik dengan anak-anak ingusan tadi.
“Sinting apa kamu, Naga. Tanpa saya bawa demit, nih-” Nadir menyenggol lengan Ozam, “saya udah duduk sebelahan sama spesiesnya.”
“Paan sih, gajelas lo.” Ozam yang akan menyeruput kopinya hanya mencebik kesal.
“Terus, alasan lo join Rasasvada apa dong kalau lo bisa aja nge-counter semuanya sendiri kayak tadi.” Jason bertanya ingin tahu.
“Saya?” Menjeda dialog, Nadir nampak susah payah menelan dua bulatan cilok sekaligus. Menepuk dadanya beberapa kali, akhirnya sang pemuda kembali bersuara. “Awalnya saya ga yakin, siapa yang udah keroyok aa saya. Saya kira teh, itu cuman ulah orang-orang iseng, tapi pas tau kalau yang keroyok aa saya itu anggota geng motor, saya rasa bukan pilihan yang buruk kalau semisal minta bantuan ke kalian.”
“Bantuan berupa apa? Bela diri, lo juga bisa.” Ableh menjawab.
“Koneksi sesama geng motor. Kalian geng motor, pasti kalian juga tau geng-geng di sekitaran sini.” Jelas Nadir.
“Tapi, bener kata Gariel, logo geng motor di video pengeroyokan aa lo, keliatan asing. Kita baru tau ada geng motor kayak gitu.” Riki berucap, mengingat percakapan di groupchat kala itu, saat ia melihat video pengeroyokan yang dialami oleh kakak dari Nadir.
“Saya berharap bisa cepet ketemuin geng motor itu, soal ngelawan, gapapa deh biar saya sendiri. Asal kalian mau bantu cari.” Nadir berharap, ia tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi.
“Masa iya bantu cari doang, Dir. Udah lo tenang aja, kita bakal bantu cari sekaligus eksekusi.” Ucap Roger.
“Makasih ya Kak.” Nadir kepalang senang.
“Lo bisa aja minta tolong ke Yasa kan, Dir?” Kini Gusti membuka suara.
Nadir cepat-cepat menggeleng, “malu atuh a.” Matanya melotot sekejap, “maksudnya, Kak. Saya juga udah gada urusan lagi sama Yasa, dia udah mantan. Lagian geng dia rusuh banget perasaan.”
“Lo beneran mantannya si Yasa Dir?” Kini Jason yang bertanya. Tampaknya Nadir benar-benar menjadi target sasaran interview kala itu.
“Iya, beneran.” Dan Nadir juga baru ingat, bahwa nanti, ia harus pergi bersama Yasa. “Aduh, mana saya nanti mau keluar sama dia.”
“Ngapain? Mau balikan ya?” Roger bertanya dengan nada menggoda juga ekspresi jailnya.
“Bukan Kak astaga. Ini teh demi kalian juga tau. Saya jadi mata-mata, buat cari tau informasi tentang anak Stargazer.”
“Jadi mata-mata bonus balikan.” Celetuk Riki.
“Bukan, Iki.”
“Gua jadi ikut, 'kan?” Gusti tidak lupa niatnya yang sudah membulat, untuk ikut Nadir pergi bersama Yasa nanti. Entah kemana Yasa mengajak keluar, intinya Gusti harus mempersiapkan diri, tatkala ia harus bertatap muka dengan ketua geng bebuyutannya.
“Terserah.”
“Lo ngapain bang mau ikut? Cemburu ya?” Renaga menyadari gelagat Gusti yang tak seperti biasanya.
“Bayar sendiri kopi lu.” Ancam Gusti.
“Ampun ndoro.”
Tak terasa, percakapan mereka mengantarkan suasana pagi ke siang, kopi yang tadinya terisi penuh kini berangsur-angsur hanya tinggal seperempat terisi dari gelasnya. Seisi meja dipenuhi dengan kulit kacang, terlalu asyik agaknya obrolan mereka bersama si penghuni baru, Nadir, hingga tak sadar bahwa kacang yang tadinya ada di piring, sudah pecah dari kulitnya, tertelan oleh bagaimana seriusnya anak-anak Rasasvada mengobrol.
“Nad.” Sejak tadi diam, Gariel menoel-noel punggung tangan Nadir. Ponsel Nadir yang tergeletak di atas meja membuat atensi Gariel teralih. Tidak, bukan ia ingin meminjam, namun Gariel mendapati lookscreen barbie di ponsel Nadir yang membuat Gariel kepo.
“Hm? Kenapa, Gariel?” Nadir yang saat itu tengah mengobrol dengan Jason dan yang lain, segera menatap Gariel.
“Itu, lo suka barbie ya? Gue liat, lookscreen-nya.” Ucap Gariel. Memang begitu adanya, saat ada notifikasi yang entah apa itu isinya, ponsel Nadir menyala, membuat Gariel bisa melihat lookscreen milik sang pemuda.
“Hehe, iya.” Ucap Nadir pelan, masih merasa gengsi. Beruntung semuanya saat itu terlarut dalam obrolannya masing-masing, termasuk Gusti yang kini sudah berpindah duduk di pojok bersama dengan Ozam, untuk mabar.
“Keren.” Puji Gariel, meringis sembari memberikan dua jempol pada Nadir, membuat si pemuda hanya terkekeh.
“Kenapa? Kamu juga suka? Mau nobar gak di gudang sekolah kapan-kapan? Syaratnya, kamu bawa LCD proyektor, saya deh bawa macbook-nya, nanti kita nobar.” Ucap Nadir basa-basi, hanya sekedar mengeluarkan obrolan supaya atmofsir canggung antara ia juga Gariel sedikit luruh.
“Serius? Besok gue bawa. Istirahat kita nonton ya.”
“Apaan sih?” Riki yang kepo dengan obrolan Gariel dan Nadir.
“Mau nobar. Barbie.” Sahut Gariel.
“Serius?! Ikutan dong. Gue pingin nonton Frosen.” Riki berucap antusias.
“Frosen bukan barbie, Rik.” Gariel meluruskan.
“Lah.” Nadir tidak berekspetasi kalau Gariel akan menyetujui ajakannya.
***
.PawMoui