First Date~
Remangnya pencahayaan ruang tak serta-merta membuat Jamie hilang tertelan gelap. Justru, pemuda itu tampak bersinar sampai-sampai mengalahkan terangnya bulan yang ada di kanvas Tuhan berjuluk langit.
Padahal, Jamie tampil biasa saja. Badan rampingnya hanya terbalut kemeja hitam polos tak dikancing sempurna dan jeans dengan robekan di bagian lutut serta paha. Beberapa helai rambutnya dibiarkan jatuh, hingga sebagian dahi tertutup.
Namun, sepertinya malam ini ada magis yang bekerja. Magis bernama bahagia, yang sukses membuat seringainya terulas begitu sumringah. Yang membuat sepasang netranya disinggahi bintang kelap-kelip, hingga sepasang manik pekat tersebut tampak berbinar begitu indah.
Ya, indah.
Teramat indah adalah satu-satunya adjektiva yang menurut Jace paling tepat untuk mendeskripsikan Jamarion Akela malam ini.
Teramat indah, sampai grup musik asal Toronto, New West, yang tengah membawakan salah satu lagu hitsnya Call Me When You Hear This Song di atas panggung, seakan hanya figuran dalam momen hidup Jace saat ini. Sementara pemuda di sisinya adalah si pemeran utama.
“So pretty…”
Jamie, yang tengah bersenandung bersama penonton lain, sontak mencondongkan tubuh ke arah teman kencannya. “Kenapa, Jace?”
Ah, indra pendengarannya tak menangkap pujian Jace.
Maka dengan senang hati, Jace mengulang kalimatnya. Lebih dekat di telinga sang gebetan, supaya tak kalah saing dengan bising dari alat musik yang tengah dimainkan. “So pretty, Jamie.”
“Oh.., Iya, emang.” Percikan antusiasme mencerahkan sorotnya. “Makanya gue suka banget New West. Untung lo tau mereka ke sini, Jace. Kalau enggak, pasti gue ketinggalan.”
Sadar objek pembicaraan mereka berbeda, kekehan Jace pun mengudara. Ia kemudian menyelipkan sejumlah helai rambut Jamie ke belakang telinganya. Bermaksud agar sisi wajah pemuda itu dapat Jace nikmati lebih leluasa.
“New West’s performance is magical, but what I was talking about is you, Jamie. Your angelic and breathtakingly beautiful self.”
“Jace!” Paha teman kencannya dicubit. Tilikan matanya menajam, tapi hanya main-main saja. “Stop being flirty for once, will you?”
“Loh? Padahal guejujur.”
Jamie berdecih seakan tak suka. Berbanding terbalik dengan respons kedua pipi gempalnya, yang malah menyiratkan semburat merah muda. Diikuti seringai, yang ditahan untuk merekah.
Sampai kapanpun, Jamie agaknya tidak akan terbiasa dengan pujian Jace terkait parasnya. Ia senang bukan main, tentu saja. Ia selalu senang mendengarnya.
Sayang, senang itu tak datang sendiri. Ia turut membawa rasa tak nyaman, yang lantas bersemayam dalam benak. Tidak nyaman lantaran merasa asing dan tak terbiasa, serta tak nyaman karena ia punya kenangan buruk terkait puji-memuji.
Dulu, Rion pernah dipuji seseorang. Alih-alih bahagia, yang didapat malah luka. Begitu membekas, sampai kadang hatinya terasa kebas.
Perubahan suasana hati Jamie pun tak luput dari perhatian Jace. Serta-merta, ia menyentuh lengannya.
“Jamie, kenapa?” Saat atensi si manis diperoleh, ia melempar tanya yang kental akan kekhawatiran.
Dan Jamie tetap menjadi Jamie, orang yang lebih suka mengubur masalahnya dalam sebuah gelengan singkat dan seulas senyum tipis.
Entah beruntung atau tidak bagi Jamie, kali ini Jace tidak berniat melepaskannya begitu saja. Pemuda berjaket hitam itu tidak mau pura-pura percaya jika sang gebetan baik-baik saja.