Bab 14.

445 23 0
                                    

Saat ini Kirana sedang duduk di depan rumah, sambil membuka beberapa aplikasi pencarian materi atas tugas diberikan oleh Pak Tomi. Kali ini dia sangat stres banget mencari keunggulan dan kelebihan, serta sistem kinerja perusahaan. Entah kenapa otak Kirana saat ini tidak berfungsi.

Dia sambil menggigit jarinya, saking gemas, segala website dia ketik tidak ada satu pun yang nempel di matanya. Belum lagi, sinyal bisa lambat setelah dia memilih salah satu artikel.

"Please deh! Jangan bikin aku makin kesal?!" gerutu Kirana.

Di siang seperti ini memang tidak ada kegiatan apa pun dilakukan oleh Kirana. Sebentar lagi, dia mungkin akan kembali ke kota. Tetapi sepertinya dia bakalan kembali ke kota lusa. Karena dia izin absen masuk ke kampus untuk hari senin. Tidak mungkin juga dia baru sampai di kampung, kemudian hari ini dia kembali lagi. Duit darimana lagi dia peroleh.

"Ah! Sialan! Main lemot lagi!" ngomel Kirana.

Percuma dia melanjutkan tugas mata kuliah dari Pak Tomi. Hasilnya tidak akan bisa memuaskan. Dia pun mengakhiri pencarian bahan tugasnya. Dia mendongak menatap awan putih yang sedang berjalan pelan untuk menyatukan awan satunya lagi.

Dia masih memikirkan perkataan papanya. Banyak yang harus dia penuhi. Setelah dia selesai kuliah, dia akan berpisah dengan Jesika teman satu kampus. Pastinya dia akan menjalani hidupnya sendiri lagi. Lalu, dia akan menjalani aktivitas yang baru.

Pesanan masuk dari hape Kirana, dia memeriksa. Dari Jesika. Kirana kelupaan bahwa dia lupa memberitahu kepada Jesika, kalau dia sudah sampai di rumah. Jesika mengirim sebuah pesan yang cukup panjang. Kirana membaca sampai akhir. Pesanan itu sebuah pemberitahuan untuk tiga bulan berikutnya waktu pelaksanaan meja hijau.

Sampai sekarang ini, Kirana belum melakukan satu pun makalah skripsinya. Untuk judul dan bahan dasar komposisi saja dia belum melakukannya. Dia benar-benar stres dan pusing. Dia takut akan mengecewakan kembali keinginan papa dan mamanya.

"Sedang apa?"

Kirana menoleh dan mengarah sumber suara entah dari mana datangnya. Vian, anak tetangga sebelah yang sudah selesai kuliah, dan sudah sukses mendapatkan pekerjaan tetap di salah satu pabrik ada di daerah sini.

"Gak sedang apa-apa, kamu sendiri? Baru pulang kerja?" Dari penglihatan Kirana, Vian pasti baru pulang dari pabrik. Karena seragamnya belum diganti.

"Iya, baru saja. Pas lewat, nampak kamu. Kamu sendiri?" jawabnya, ikut duduk di dekat Kirana.

"Semalam sore baru sampai, lusa sudah balik, kok," kata Kirana. Kembali sibuk sama hapenya.

Vian sedikit mengintip pesan panjang dari teman Kirana. "Lagi bahas soal makalah skripsi, ya?" tebalnya.

Kirana Langsung menyingkirkan hape dari Vian. "Begitulah, buat skripsi susah gak sih?" ucap Kirana dan bertanya. Mana tau Vian mau membantunya.

"Susah-susah gampang saja, sih, menurutku. Memang kenapa? Kamu mau buat skripsi? Judulnya sudah kamu temukan? Apa dulu yang mau kamu buat?"

Kirana jadi bengong setelah bertanya sama Vian. Malah sebaliknya Vian bertanya sangat banyak sekali. Sehingga membuat Kirana sudah menangkap.

"Bentar-bentar, memang buat skripsi itu harus tau judul sama isinya?" Kali ini Kirana serius.

"Tentu, kalau misalkan kamu belum menemukan judul. Kamu bisa buat dulu isinya. Tapi harus rapi dan juga komponennya. Apalagi penyusunannya itu wajib jelas," kata Vian.

"Benarkah? Ribet banget, kayak bikin proposal buat ajukan promosi?"

"Ya begitulah. Kadang saat kita buat itu sudah bagus, dosen kita tidak akan menerima secara langsung. Ada di mana nanti koreksi yang kurang puas dari dosen tersebut. Aku bisa mengulang semua skripsi, bisa tiga kali. Baru kelima kali dosen menerima hasil skripsi yang aku buat. Belum lagi menemui dosennya juga susah banget," ucap Vian sambil menceritakan pengalaman buat skripsi.

Kirana sudah berputar-putar otak dan membayangkan. Bagaimana jika dia buat skripsi itu kemudian tidak diterima sama dosen-dosen tersebut. Mungkin sudah tamat riwayat hidup sebagai anak yang mengecewakan.

"Nanti malam, aku kasih contoh hasil skripsi ke kamu. Malam, kamu ada di rumah, kan?" ucap Vian dengan baiknya, membuat Kirana sedikit lega mendapat peluang melihat buku skripsinya.

Padahal Kirana tidak terlalu akrab dengan Vian. Hanya saja mamanya selalu membanggakan Vian di depannya. Kirana boleh akui, Vian memang orang yang paling dibanggakan oleh warga di sini. Sekarang saja, dia bisa beli satu mobil, atas keberhasilan dia peroleh. Kirana juga berpikir apakah nanti dia akan seperti Vian? Itu terus dia pertanyakan dalam dirinya sendiri.

"Gak apa-apa nih, kamu pinjam contoh buku skripsi ke aku?" Kirana balik bertanya, dia takut jika nanti dia pinjam malah akan merusak bukunya.

Vian tertawa. "Ya gak, lah. Santai saja. Buku skripsi mau kamu apakan juga gak pengaruh sama profesi aku sekarang. Aku kan sudah selesai. Jadi mau kapan kamu balikin juga gak masalah."

Kirana seperti disindir. Dia menciutkan mulutnya ke dalam. "Bukan itu, soalnya kan itu buku suksesmu. Kalau sampai aku rusakin, bagaimana aku balikin semula?"

Vian berhenti tertawa, "Tenang. Buku itu gak akan rusak kok. Mau dirusakin juga, toh, aku sudah kerja. Terkecuali aku kembali kuliah lagi. Itu beda ceritanya."

Kirana paham, selama perbincangan dengan Vian. Ternyata orangnya mengasyikan. Kirana sudah menilai tidak baik di belakangnya. Karena banyak yang seperti Vian. Sukses suka menyombongkan muka ke orang yang masih mencari kesuksesan. Cukup lama perbincangan dengan Vian, hingga tidak ingat sudah jam berapa obrolan. Sampai dia lupa beri minuman buat Vian.

"Ya ampun, sudah jam segini. Aku sampai lupa kasih minuman ke kamu. Sorry, ya. Aku ambil minum dulu, kamu belum mau pulang, kan? Gak kecarian sama orang rumah, kan?" Kirana bertanya kepada Vian.

Vian menggeleng dan berkata santai, "Tenang saja."

"Oke deh. Aku ambil minum dulu. Kamu mau minum apa? Sirup kurnia, teh, apa kopi?"

Sebelum Kirana masuk ke rumah buat bikin minuman ke Vian. Dia menawarkan dulu ke Vian. Karena dia takut Vian tidak suka minuman buatan darinya.

"Apa saja deh, asal bukan bensin," jawabnya canda.

"Yeee, kriminal dong! Ya sudah, tunggu bentar, ya!"

Kirana masuk ke dalam, Vian duduk sambil memainkan hapenya. Di sana Vian sedang asyik chat dengan seseorang. Suasana di depan rumah orang tua Kirana memang adem banget. Vian sampai betah, tidak mau beranjak dari duduknya. Lalu dia tidak sengaja melihat hape Kirana tergeletak di sampingnya tidak jauh dia duduk. Sempat juga dia ingin melihat hapenya. Takut Kirana muncul.

Melihat Kirana masih di dapur, Vian pun mengambil hapenya, dan pas dia aktifkan layar. Hape Kirana tidak terkunci. Vian hanya membuka salah satu galeri. Tidak ada foto apa pun di sana. Hanya beberapa foto berupa tugas dan chat dari temannya. Lalu, dia beralih ke aplikasi whatsapp. Ada beberapa chat masuk. Ada juga grup dan Vian tertuju satu nomor yang tiga tersimpan oleh Kirana. Nomor itu sangat jelas sekali, dia hafal. Dia pun membuka hapenya, dan mencari kontak nama.

Lalu beberapa saat, terdengar suara Kirana, Vian langsung meletakkan hape Kirana ke tempat semula. "Sorry, ya, Vian! Ternyata gak ada sirup kurnia, yang ada cuma teh, doang!" ucap Kirana meletakkan gelas ke tengah mereka duduk.

"Gak apa-apa, kan, aku bilang tadi, asal jangan bensin," balasnya.

"Bisa juga bercanda kayak gitu," tawa Kirana.

Sudah berapa lama ini, Kirana tidak bercanda sampai tawa seperti ini. Kirana sekali lagi melihat hapenya. Sinyal masih belum normal. Vian sesekali melirik. Ada beberapa pertanyaan yang ingin dia katakan. Tetapi dia urungkan.

****

√TERJEBAK KARENA NAFSU (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang