Bab 18.

333 15 0
                                    

"Kecelakaan? Sepertinya itu bukan kecelakaan, malahan saya merasa kamu menikmati apa yang kita lakukan saat .... "

"Bisa gak jangan ungkit-ungkit masalah itu?! Mau berapa kali, aku bilang, gak ada terjadi apa pun di antara kamu maupun aku! Itu hanya kecelakaan!" potong Kirana, menegaskan kepada pria di hadapannya.

Niatan Kirana ke mal untuk menenangkan hati dan suasana pikiran terganggu karena pria di sebelahnya saat ini. Sekarang dia tidak tahu lagi mau ke mana. Rasanya buntu, tujuan satu-satu yang bisa dia nikmati dan merenung dalam keadaan rileks pun terganggu.

Yang bisa dia lakukan sekarang adalah mencari sesuatu tidak ada kaitan dengan pria di sebelahnya. Yang selalu menempel.

"Baiklah, saya tidak akan mengungkit masalah itu. Tetapi dengan satu syarat? Jika kamu tidak ingin masalah itu terulang lagi," ucap pria itu.

"Apa?"

Kali ini Kirana tidak ingin main-main soal syarat-syarat aneh. Dia sudah lelah, apalagi tugas kuliah, belum lagi susun skripsi. Ingin sekali dia berteriak.

"Jadi pacarku," ucapnya.

Kirana terkejut mendengarnya. "Pacar? Mau taruh di mana anak dan istri kamu? Jangan bercanda!"

Kirana tidak ingin dicap sebagai perempuan tidak tahu diri. Dia memang sudah dipakai banyak pria. Tetapi, dia masih punya potensi harga diri. Jangankan jadi simpanan, dia tetap tidak mau.

"Sudah saya beritahu ke kamu, mereka tidak penting. Jadi pacar, belum tentu menjadikan kamu sebagai simpanan?"

"Kamu itu masih waras atau memang sudah gila? Lebih bagus, kamu cek ke psikologi deh, capek aku layani kamu ngobrol, bisa-bisa aku ikut gila," ucap Kirana, beranjak dari duduk yang sempat istirahat sambil menjernihkan segala isi pikiran yang semakin stres.

Pria itu menangkap tangan Kirana, Kirana menoleh. Kirana pun menoleh kiri kanan, takut orang-orang berpikir kalau dirinya sedang mencampakkan seorang pria. Bukan sifat Kirana. Jangan untuk menerima perasaan orang lain.

"Saya serius, kalau tidak, jadi asisten saya sementara. Saat ini saya butuh asisten," katanya menatap lurus ke arah Kirana.

Kirana sepertinya tidak menginginkan soal pekerjaan itu. Tetapi melihat raut wajah pria di hadapannya. Memang membutuhkan. Tetapi, bagaimana dia menjelaskan kepada ayahnya, Jesika, dan juga teman lainnya. Sampai sekarang mereka semua belum mengetahui pria yang sering ikuti dirinya kemana saja. Sudah seperti anak dan induk takut kehilangan rumah.

"Kalau soal asisten, pacar, tunangan, ataupun simpanan sekalipun. Maaf, aku gak berkenan, lebih baik cari orang lain yang cocok dengan pekerjaan itu," ucap Kirana melepaskan tangan Pria itu dari tangannya.

Pria itu belum menyerah, melihat Kirana mencoba untuk menghindar. Dia pun bangkit dari duduk dan mengatakan sesuatu hingga membuat Kirana mematung. "Tidak masalah jika kamu menolak. Mungkin saya akan memberitahu kepada orang tuamu soal hubungan yang pernah kita lakukan dua hari kemarin, dan juga soal pekerjaan yang selama ini kamu tutupi dari mereka."

Kirana tidak berkutik. Dia mulai merasa seperti dihantam. Dia tidak ingin ayah dan ibunya mengetahui soal pekerjaan dia jalankan. Jika sampai mereka mengetahui, mungkin reputasi serta biaya kuliah selama mereka berikan untuknya memberi sebuah harapan palsu.

Pria itu merasa menang, dia tahu, Kirana tidak akan mungkin menolak persoalan ini. Karena pria itu tahu, bagaimana kebiasaan dan keseharian di lakukan oleh Kirana selama dua tahun.

***

Kirana tidak bisa berpikir lebih jernih lagi. Dia ingin sekali menghilang. Tetapi harus menghilang kemana? Rasanya segala isi di kepalanya mau meledak.

√TERJEBAK KARENA NAFSU (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang