Bab 15.

481 21 4
                                    

Sudah malam, seperti yang dijanjikan oleh Vian tadi siang. Dia benar-benar datang bawa buku skripsi miliknya. Dengan wajah berseri-seri dari Kirana. Dengan cermat dia membuka dan melihat isinya. Tentu dong seperti apa dia lihat seperti buku makalah pernah dia buat.

Tetapi, sampai saat ini dia belum menemukan apa yang mau dia buat untuk jurusannya. Vian menjelaskan kepada Kirana saat akan buat skripsi. Pertama itu, dia harus mencari isi apa yang akan dibuat. Kirana sampai mencatat apa dikatakan oleh Vian.

"Kamu bisa membuat skripsi dari pekerjaan kamu. Misalkan jurusan kamu itu, kan Sistem Informasi. Kamu bisa membuat sistem jurnal perusahaan di tempat kerja kamu," ucapnya.

Kirana agak susah menjawab, tidak mungkin juga dia ceritakan pekerjaan yang dia jalankan. "Kalau selain tempat kerjaku, memang gak bisa?" Kirana bertanya.

Vian berpikir sebentar, "Bisa sih, tapi agak susah. Lebih bagus, kan, dari pekerjaan kamu. Langsung ke perusahaan kamu kerjakan. Lebih mudah dan gampang saat sidang meja hijau. Saat dosen pembimbing nanti bertanya, kamu mudah menjawab. Soalnya kan, kita sudah tau sistem operasi dari perusahaan."

"Iya, sih, benar. Masalahnya, Vian. Aku ini gak kerja di perusahaan. Perusahaan mana coba?" batinnya.

Kirana sudah kehabisan akal. Sungguh berat jika buat skripsi begini. Tidak mungkin juga dia numpang masuk ke kantor orang. Kayak kriminal saja.

"Begitu, ya. Gak apa-apa nih. Buku skripsi kamu aku pinjam dulu?"

Vian hanya beri senyum, "Gak. Pakai saja. Mau ampe lepas itu bajunya juga gak masalah, toh, gak ke pakai lagi," katanya.

Setelah berbincang-bincang membahas soal makalah skripsi. "Loh, Vian. Tumben main di sini?" Santo bersuara, baru saja selesai mandi.

Vian menoleh dan menyambut ramah pada papanya Kirana. "Iya, Paman. Sekalian mau kasih buku makalah skripsi ke Kirana. Soalnya Kirana sebentar lagi selesai kuliah."

"Oh, iya, Kira sebentar lagi selesai kuliahnya. Tolong bimbing dia ya, habis dia lulus nanti dapat nilai yang bagus. Dia langsung kerja," ucap Santo meminta bantuan kepada Vian.

Vian yang dengar langsung kaget, Kirana malah tidak mengamati apa yang dibicarakan oleh Santo. "Benarkah? Kerja dimana Paman? Bukannya, dia masih kerja, apa mau resign?"

Vian merasa ingin tau, dia memang tidak tau, selama Kirana jarang pulang ke kampung. Vian berpikir, bahwa Kirana kerja sambil kuliah. Vian malahan bangga lihat Kirana bisa seperti itu. Dulu dia malah setelah lulus kuliah dulu baru mencari pekerjaan. Karena dia takut mengganggu konsentrasi kuliahnya.

"Tempat saya kerja," jawabnya.

Vian mengerti. Vian sedikit iri banget. Dia juga pernah melamar pekerjaan di perusahaan itu. Sayang banget, dia ditolak karena belum memenuhi persyaratan mereka inginkan. Padahal perusahaan itu cukup bagus dan banyak yang betah. Apalagi di sana juga sistem operasinya juga bagus. Agak kecewa sebenarnya dibalik wajahnya sekarang.

"Bagus itu, kapan lagi bisa dapat pekerjaan di sana. Aku dengar, banyak lamar di sana. Tapi, banyak ditolak, ya? Susah juga, ya?" kata Vian.

Santo ikut bergabung dan duduk disebelah Kirana, Kirana masih sibuk sama buku di pangkuannya. Masih melihat sambil membaca.

"Tidak juga, memang kamu pernah lamar di sana?" Giliran Santo bertanya kepada Vian.

"Pernah, dua tahun lalu," jawabnya. Meskipun sekarang dia sudah menjadi karyawan tetap dia kerja. Walaupun begitu, dia masih kecewa. Mungkin saja, dia bisa lamar lagi, jika melalui orang dalam.

"Benarkah? Sebelumnya kamu lamar di posisi apa? Kok, Paman tidak tahu? Padahal dua tahun itu, banyak banget seleksi peserta yang lamar pekerjaan di sana? Paman termasuk bagian menyeleksi penilaian dari jawaban diberikan oleh asisten HRD," kata Santo.

Dua tahun lalu itu memang Santo diperintah oleh Presiden direktur buat bantu anggota lain untuk menyeleksi siapa saja yang sesuai dengan syarat ditentukan oleh perusahaan tersebut. Usia Santo di waktu itu, sudah boleh disebut paling tua. Selain itu, Santo tergolong senior paling dihargai oleh pekerja lainnya. Tidak pungkiri, jika presiden direktur sangat menginginkan putrinya menduduki posisi di sana.

"Posisi apa, ya? Aku sudah lupa, Paman. Soalnya itu juga tiba-tiba pas lamar. Terus dua hari selanjutnya dapat panggilan buat ikuti ujian tes," jawabnya lagi.

Kirana beranjak dari duduknya. Santo memperhatikan. "Aku ke kamar dulu, ya. Kurang konsen soalnya. Kalian lanjut saja ngobrolnya," ujarnya kemudian, mendahului ke kamar.

Santo dan Vian tidak merespons. Setelah itu mereka kembali ngobrol dengan pembahasan tertunda tadi. Kirana duduk di kursi menghadap jendela. Dia masih fokus dengan buku di tangan. Sambil menyalin sesuatu di hapenya.

Beberapa detik, saking serius dia mengetik di sana. Tiba-tiba hapenya bergetar. Membuat dia berhenti mengetik. Ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenalnya. Kirana mengabaikan dan membiarkan hapenya bergetar terus hingga berhenti. Saat getaran itu usai, dia kembali melanjutkan mengetik. Selang berapa detik kembali, dia mendapatkan pesan masuk dari hape tersebut.

Kirana sempat membaca melalui layar notifikasi. Sebuah pesan itu tertulis tidak penting banget. Kirana malah mengabaikan. Hingga waktu dia gunakan sebaik mungkin membuat dirinya merasa lelah pada leher. Setelah itu, dia pun mengakhiri salinan di hape. Lalu dia terkejut dengan jam ponselnya. Sudah pukul sebelas malas. Dia benar-benar tidak menyadari berapa dirinya membaca dan menyalin yang penting menurut dirinya mudah mencari bahan untuk skripsinya.

Dia pun, meletakkan buku Vian ke meja dekat tempat tidurnya. Lalu, dia keluar, tentu ke dapur buat minum. Di teras depan rumah, masih ada suara berbincang-bincang. Ternyata Santo dan Vian masih belum selesai berbincang-bincang.

"Gak juga sih, Paman. Kerjaan aku juga banyak perlu dipelajari. Niatnya pengin resign. Tapi..."

Kirana berdiri di samping pintu melihat Vian menatap dirinya. "Sudah selesai bacanya?" Vian balik bertanya ke Kirana.

"Belum, betah banget? Ngobrol apa saja sih?" jawabnya dan ikut nimbrung gabung dengan mereka.

Giliran Santo beranjak dari duduk, dia merasa sudah mengantuk. Besok kembali kerja lagi. Kirana mendongak menatap papanya. "Sudah mau tidur, Pa?" tanyanya basa-basi.

"Iya, besok balik kerja lagi. Terus Papa mau menemui atasan soal rekomendasi pekerjaan kamu," jawab Santo, yang memang sudah mengantuk banget.

Kirana yang melihat wajah papanya, sedikit kurang menyenangkan buatnya. Tetapi, dia sudah menyetujui kerja di sana. Setelah selesai kuliah. Vian yang dengar itu, jadi pengen ikut kerja di sana. Biar bisa lihat Kirana terus.

"Ya sudah, aku juga nih mau balik ke rumah. Besok juga mau kerja lagi, kamu juga. Besok bukannya sudah balik ke kota?" sambung Vian bersuara.

Kirana pun berdiri, lalu dia pun langsung menjawab. "Selasa, baru balik."

"Loh, gak kuliah?"

"Libur, dosennya sering banyak urusan."

"Oh, enak, ya. Ya sudah, aku balik dulu, ya. Jangan malam kali tidurnya! Daaa!"

Usai Vian beranjak dari duduk, Kirana malah duduk di depan sambil minum. Dia memilih menatap langit tanpa bintang. Padahal udara malam sangat dingin. Setelah itu muncul Ocha yang belum tidur.

"Belum tidur, Mbak?" sapa Ocha.

Kirana menoleh, "Belum, Cha! Kamu sendiri?"

"Baru selesai setrika," jawabnya.

Ocha duduk di sebelah Kirana ikut memandang langit tanpa bintang juga. "Saya dengar, Mbak menyetujui kerja di tempat kantor Bapak?"

"Iya, Cha. Menurut kamu aku sudah pantas jadi pengawai di sana? Aku masih kurang yakin nih?" jawabnya, masih kurang percaya diri. Ada sesuatu membuat dirinya tidak bisa menceritakan bagaimana selanjutnya.

√TERJEBAK KARENA NAFSU (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang