Malamnya, Tian asyik buka tutup golden mengamati depan rumah Kirana. Hanya ada satu lampu hidup di ruang tengah. Sisanya tidak ada satu pun dinyalakan oleh Kirana.
"Dari tadi tutup buka mulu goldennya. Kalau niat mau samperin itu rumah. Samperin sana!" ejek temannya..
Tian ragu, dia jadi kurang percaya diri buat dekati rumah tetangganya. "Kata kamu, dia gak suka berteman sama orang luar. Nanti aku ke sana. Dia usir gimana? Malu-maluin harga diriku!" gerutunya.
"Daripada kamu buka tutup itu golden, ke bawa mimpi basah pula. Yang repot siapa? Aku, juga?!"
Tian melempar bantal sofa ke muka temannya. "Sialan! Kamu pikir aku lelaki apaan punya otak jorok kayak kamu!"
Temannya tertawa. Tian kembali mengintip, dia melihat Kirana keluar dengan pakaian tertutup. "Dia mau ke mana tuh?" si temannya malah ikut mengintip.
Kirana menurunkan topinya dan bergegas pergi dengan langkah begitu cepat. Teman Tian meminta Tian untuk menyusul. "Ikuti dia. Dia ngapain tuh, malam-malam pergi sendirian!" serunya.
Tian bukan bergerak, malah sibuk sama pikirannya. "Kenapa harus aku yang ikuti dia. Kamu siapa aku? Sok atur-atur!"
Temannya mendengkus. "Jadi kamu gak mau tahu, siapa wanita yang kamu kenal tadi siang? Kamu kan orang yang bertanggung jawab atas properti ini. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu sama wanita itu? Pemasaran properti kamu bakal...."
"Aargh!"
Tian menarik temannya ikut mengejarnya. Kirana berhenti, dia sedang menunggu seseorang. Dilihat jam ponsel, lalu sesuatu kedap kedip mengarah di mana dia berada. Ia pun segera menyebrang dan masuk ke mobil tersebut. Tian bersama temannya tidak berhasil mengejar setelah mobil itu melewati perumahan tersebut.
"Mobil siapa dinaiki?" tanya temannya.
Tian juga tidak tahu mobil siapa Kirana naik. Kirana melepas topinya. Dia seperti sosok mencurigakan. Dengan cara ngendap-ngendap hanya bisa keluar.
"Lain kali jangan janji mendadak seperti ini. Aku kayak orang mencurigakan malam-malam keluar dengan pakaian mau ngerampok!" gerutu Kirana, mengomentari orang yang dia jemput.
Orang itu tertawa, malah itu seru buat dirinya. "Lah, sudah biasa, kamu keluar malam kayak gini? Ya aku juga minta kamu pakai pakaian kayak gitu?" katanya.
Kirana mendengkus. "Itu dulu ..., aku gak mau ada yang mencurigai kalau aku itu pernah,"
"Selow. Terakhir kalinya. Aku bosan tau. Gak tau mau ke mana. Sejak kita lulus kuliah. Semua teman uda pada dunia masing-masing," terangnya.
Kirana memindahkan posisi menatap depan jalan. "Terus, kamu sendiri, gak ada niatan buat kerja di tempat lain?"
Temannya diam sejenak. "Belum, bingung juga mau lamar kerjaan apa? Kamu tau sendiri, aku paling benci sama pekerjaan di kantor, pengennya bebas gitu."
"Banyak. Gak harus di kantor. Sales promosi, atau marketing?"
"Tetap sama saja, pengennya gak diatur,"
"Buka usaha kecil-kecilan kalau gitu. Gak harus di atur?"
Temannya tertawa. "Boro-boro buka usaha. Modal saja gak punya. Kamu sendiri?"
Kirana tidak menjawab. "Kamu mau bawa aku ke mana? Aku gak bisa lama-lama. Besok adalah hari pertama kerja."
Temannya lupa, dia tetap jalankan mobil ke suatu tempat. "Baru jam berapa. Tenang, pokoknya aku bakal antar kamu ampe tujuan," ujarnya.
"Jangan sampai lewat jam setengah sebelas, portal dan pintu gerbang tempat tinggal ku sekarang tutup, aku akan kesulitan untuk masuk," ingatkan kembali.
"Beres itu."
***
Tian menghempaskan diri dia frustasi. Sedangkan temannya malah asyik ngemil. Dia penasaran dengan penghuni baru itu. Sampai sekarang dia belum mendapat informasi yang lebih lanjut.
"Btw, kamu tau, tetangga baru itu?" Tian kali ini tanya serius.
"Maksud kamu Kirana?" jawabnya sambil tertawa melihat film dia putar.
Tian berbalik dan menatap temannya. "Namanya Kirana?"
Giliran temannya menoleh dan menatap ke Tian. "Lah, kamu gak tau namanya? Jadi ngapain saja sih kamu di sana tadi siang?"
Tian kembali kedudukannya semula. "Dia gak sebutin, makanya aku gak tau namanya. Kayaknya kamu jauh lebih tau tentang dia, ya?"
Temannya masih tertawa dengan film dia putar. Film komedi. Hingga camilan dia makan, berserak di mana-mana. "Dulu dia satu angkatan sama aku. Dia terkenal banget, sampai dua dosen tergila-gila sama dia," ceritanya.
Tian melongo. "Yang benar?"
Temannya menjeda film itu, takut terlewat alur cerita. "Iya, benar."
"Eh, bukan dua dosen, ada satu lagi, aku gak ingat namanya. Pokoknya banyak lelaki suka sama dia. Dia wanita paling menarik di kampus," imbuhnya lagi.
Tian tidak tahu, dia bagaimana bisa tahu. Dia juga tidak kenal siapa Kirana. Ini juga dia baru pindah dan tiba-tiba di suruh sama pamannya pulang mendadak. Dan minta urusi properti yang sempat dipegang sama Aldo.
Tanggung jawab soal properti kayak gini, paling merepotkan buatnya. Sebenarnya dia malas sekali buat urus mengurus. Kadang dia ingin memaki Aldo tidak bertanggung jawab soal pekerjaan ini. Punya ruko perumahan yang hampir puluhan seperti ini, tidak mungkin dia setiap hari menyapa satu per satu. Kering suaranya. Satu saja sudah memalukan.
"Dengar-dengar sih, gosip. Dia itu bukan wanita yang kamu lihat. Dia sudah banyak bekas disentuh sama para lelaki," ucap temannya lagi.
Tian mengangkat satu alisnya beserta telinganya juga. "Benarkah? Aku lihat dia gak gitu?"
"Mulut kamu kadang ember. Memang kamu uda perjaka?" imbuh Tian. Malahan dia tidak percaya banget soal gosip atau cerita dari temannya.
"Ya sudah kalau kamu gak percaya. Baru-baru ini, aku dapat gosip sih. Dia baru saja kehilangan ayahnya. Pas sidang meja hijau. Minggu kemarin baru usai empat puluh sembilan hari atas mendiang ayahnya," kata temannya. Kembali memutar film komedi.
Tian tidak membalas percakapan temannya lagi. Dia teringat dengan sorot mata saat dia menyambut anggota baru di rumah tadi. Tian sempat menatap mata Kirana, kurang bersahabat.
Dia pun bersandar sambil memandang langit ruang santai. Dia menghela berat. Dia akan mengalami pengalaman terberat yang belum dia rasakan. Akankah nanti dia bisa akrab kembali dengan Kirana.
Mobil di mana Kirana numpang, berhenti sebuah kafe. "Masuk yuk! Kamu belum makan, kan?" ajaknya.
Kirana ikuti saja, saat masuk ke dalam kafe, suasana beda banget. Langsung terdengar melodi menyentuh sekali. Seorang pelayanan depan pintu menyambut mereka.
"Selamat datang di Kafe Kami. Berapa orang?" sambutnya dengan ramah.
Kirana mengamati nama tertempel sebelah kiri. "Melinda."
"Tiga orang," jawabnya.
"Silakan ikuti saya," ujarnya.
Kirana tercegah dengar sebutan dari temannya tadi. "Bukannya dua orang saja? Satu lagi siapa?"
Temannya mengedip sebelah matanya. "Ada deh. Nanti juga kamu tau."
Firasat Kirana sedikit canggung. "Meg, ini bukan untuk ...."
"Kenapa sih? Sudah tenang saja. Kita di sini cuma buat santai saja. Nikmati saja, oke?" ucapnya.
Kirana sudah berusaha untuk tenang. Dia merasa firasat untuk menunggu seorang lagi. Bukan hal terbaik baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
√TERJEBAK KARENA NAFSU (21+)
RomanceLANJUT BACA DI INNOVEL Terkhusus untuk pembaca di usia 21 tahun ke atas. *** Mau berapa kali alasan pun. Pada akhirnya tetap saja tidak akan berjalan mulus. Kirana hanya sebatas sosok tidak tahu, dan memilih dunia yang tidak adil.