Bab 21 : Yang Kedua Kalinya

77 20 0
                                    

Bab 21 : Yang Kedua Kalinya
.
.
.

PADA malam yang sunyi, ada angin yang menelisik orang-orang kesepian. Lentera malam mengasihani para penyendiri di sudut-sudut temaram yang akrab dengan tangisan. Alam menangis, dunia tidak lagi damai, terlebih dominan para pendendam. Alisa menyeka air mata yang mengalir tanpa sebab. Ada hati yang bersedih, ada rongga dada yang sesak, mendorong air mata keluar dari cangkang.

"Aku tidak boleh mengasihani mereka. Aku tidak boleh merasa bersalah telah memberikan hukuman yang memberatkan mereka. Mereka pantas mendapatkannya, mereka pantas menerimanya. Ayolah, Alisa! Enyahkan perasaan bersalahmu, lalu bersikap lebih kejam lagi untuk dendam yang berkobar. Ingat akan teriakan kematian keluargamu. Ingat akan darah yang mengalir dari tubuh orang-orang yang kamu sayangi, Alisa!

Mereka mesti merasakan sakitnya dipisahkan dari orang-orang yang dicintai. Tidak ada yang lebih sakit dari sebuah kehilangan. Ya, Alisa, bersikaplah lebih kejam dan buang rasa kasihan di dalam dada agar mereka menderita selalu bahkan sampai di hari pembalasan. Lihat saja, Arsean ... Reala dan semua orang di pihak kalian, penderitaan kalian akan setimpal dengan perasaanku dahulu."

Dengan menghapus air mata yang mengalir di pipi, keteguhan hati akan balas dendam kepada pengkhianat semakin kokoh walaupun ada sepercik rasa tidak tega. Alisa harus mengenyahkan rasa iba itu, menggantinya dengan rasa yang mengharuskan untuk bertindak kejam.

Memastikan pipinya kembali kering, barulah mengetuk lantai di atasnya sebanyak lima kali. Lantai berderit dan bergeser, Alisa segera naik dan kembali menutup lantai dengan karpet merah maroon polos. Dia mendapati Naesha yang mendengkur halus memeluk Moura yang tampak nyaman.

Membuka lemari pakaian, mengambil piyama merah muda. Alisa menukar baju, menanggalkan ikat rambut, menyembunyikan kacamata tebalnya di dalam laci yang selalu dikunci. Setelah mencuci wajah, tangan, dan kaki ... barulah dia berbaring di kasur sambil melepas Moura dari pelukan Naesha.

Kucing berbulu putih nan lebat mengeong singkat, bergelung dalam pelukan sang tuan. Alisa menatap langit-langit kamar, menyungging senyuman kecil. Dia mengingat saat-saat bersama Archard, terasa berbeda dan terlampau nyaman. Saat Archard mengkhawatirkan dirinya, melindungi dirinya, memintanya untuk selalu bahagia.

Sebenarnya, saat masih menjadi rival, Alisa menyadari hal-hal aneh dari Archard. Kata-kata tajam yang dia dengar dari mulut berbisa Archard selalu mampu memacu semangatnya untuk menjadi lebih dari lelaki itu. Memang, Archard tidak pernah mau mengalah darinya, tetapi Alisa menyadari dengan cara begitulah Archard membuat Alisa menjadi lebih kuat.

"Moura, apa dia mencintaiku?"

Moura menggeliat kecil, menutup wajahnya dengan posisi tangan menyilang. Kucing yang menggemaskan di mata Alisa, tetapi sangat menakutkan di mata orang lain. Putri Istana Tulip menutup mata, menyongsong kantuk yang sebenarnya masih belum menghampiri. Dia percaya, alam mimpi akan segera mengambil alih.

*

Dalam tidur yang nyenyak, dia berkelana di dunia mimpi. Menjelajahi tiap sudut alam mimpi yang kadang hanya dianggap sebagai ilusi saja. Perempuan bermata hijau muda menyentuh kelopak mawar hitam, memetik sekuntum dan menghidu aromanya dalam-dalam.

Lagi, dia dapati diri berada di sebuah hutan musim semi dengan tongkat bertakhtakan kristal hijau muda yang cerah. Suasana terang, tetapi tidak didapati posisi matahari di nabastala. Angin menyapa, membelai lembut dedaunan hingga menimbulkan suara bergemersik.

Alisa mendekati kristal hijau. Kali ini, kupu-kupu yang berterbangan mengelilingi kristal tidak menyembunyikan diri. Alisa bukan lagi ancaman bagi mereka seperti saat pertama kali mereka melihat perempuan itu.

Merampas Nyawamu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang