Bab 22 : Gelisahnya Seorang Putri

72 19 0
                                    

Bab 22 : Gelisahnya Seorang Putri
.
.
.

UNTUK pembangunan rumah susun diserahkan kepada para pekerja yang andal, sedangkan para pangeran dan putri mempersiapkan diri untuk berlomba. Alisa tengah menyaksikan para prajurit pilihannya berlatih, bersama Naesha yang mulai merasa bosan.

"Yang Mulia, rasanya saya sangat muak pada topeng-topeng polos para pengkhianat itu."

Alisa menyungging senyuman miring, meneguk air putih dalam botol yang diberikan Naesha. "Bukan hanya para pengkhianat itu saja yang memakai topeng, Na. Sejatinya, semua manusia termasuk kita memiliki topeng masing-masing. Entah itu kepada keluarga, sahabat, dan orang lain. Topeng yang menyembunyikan rupa yang sebenarnya. Namun, percayalah bahwa sampai waktunya topeng-topeng akan terlepas secara suka rela maupun dengan terpaksa."

Naesha menunduk, menatap kotak berisi biskuit cokelat. Dia baru mengangkat pandangan saat Alisa berada di arena latihan, mengayunkan pedang untuk menunjukkan seni bertarung yang masuk dalam poin penilaian. Karena bertarung tanpa seni tidaklah asyik. Para prajurit meniru gerakan Alisa, tidak terlalu sulit karena mereka telah terlatih.

"Yang perlu kalian ingat, saat bertarung kalian harus fokus. Tersebab, sehebat apa pun teknik dan gerakan pamungkas kalian, jika tidak fokus itu percuma saja. Kalian akan tumbang sebagai yang kalah. Jadi, saya harap kalian meningkatkan kefokusan, abai akan keadaan sekeliling, fokuslah dalam mengalahkan lawan. Kalian paham?"

"Paham, Yang Mulia Putri!"

"Bagus. Ulang lagi gerakan yang saya ajarkan barusan sebanyak sepuluh kali, gabungkan dengan gerakan pamungkas kalian. Ini akan jadi gerakan penyamaan yang menjadi ciri khas dari prajurit petarung Istana Tulip. Saya akan segera kembali."

Alisa pergi diiringi oleh Naesha, melangkah menuju kamar Alisa. Naesha menangkap keraguan di mata Alisa, kebimbangan yang pasti sangat menbingungkan. Ada apa gerangan? Alisa duduk di kasur dengan wajah kusut.

Naesha mendekat, mengusap lembut pundak sang putri, lalu bertanya, "Apa gerangan yang membuat Yang Mulia tampak risau?"

Alisa menoleh ke samping, menatap sepasang mata cokelat muda milik Naesha. "Aku tidak tahu apa artinya ini, Na. Aku tiba-tiba merasa sudah kelewatan dalam penyiksaan mereka."

"Kenapa tiba-tiba begini, Yang Mulia? Bukankah Yang Mulia sangat ingin melihat mereka tersiksa sebelum lenyap untuk selamanya? Yang Mulia, Anda harus kuat dan singkirkan rasa itu. Tujuan Anda adalah balas dendam, dan balas dendam tidak butuh perasaan iba. Singkirkan perasaan itu, jangan biarkan rasa kasihan menghalangi Anda dalam menyelesaikan balas dendam.

Yang Mulia, pertama kali permainan ini dimulai, saya juga merasa tidak enak dan tidak tega. Namun, mengingat semua yang terjadi dan para pengkhianat itu sama sekali tidak merasa bersalah telah bermain api di belakang kita, rasa kasihan itu hilang tidak berbekas. Yang ada hanya rasa puas saat mereka menderita."

Naesha menggenggam jemari tangan Alisa, menatapnya dengan penuh kepercayaan bahwa orang-orang itu pantas menderita tanpa perlu dikasihani. Mereka tidak pantas mendapat rasa kasihan dari Alisa, begitu menurut Naesha.

"Kamu benar, Na. Memberi rasa kasihan kepada lawan hanya akan membuat kita terjebak pada kesengsaraan. Aku tidak akan membiarkan mereka menang untuk yang kedua kalinya."

Naesha mengangguk setuju, menularkan senyuman kepada tuan putri. Alisa meminta Naesha untuk memberitahu para prajurit yang sedang latihan untuk beristirahat terlebih dahulu, sedangkan Alisa akan berjalan-jalan ke hutan, mungkin ke danau kemarin yang ditemuinya bersama Archard.

Dengan menunggang kuda bersurai putih panjang, menuju danau indah di inti hutan. Alisa penasaran akan sosok perempuan berwajah menyeramkan yang lenyap seketika saat wanita itu hendak menyerangnya dan Archard.

Merampas Nyawamu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang