"Mau kemana, Nay?" tanya Rian yang melihat Naya bersiap ingin keluar rumah.
"Mau cari makanan, Mas." Rian mendekat ke arah Naya.
"Sama, aku juga lagi mau cari makan, bareng aja yuk," ajak Rian dengan nada yang lembut."Hhh—gak ngerepotin, Mas?" tolak Naya
"Gak dong, lagian udah malem juga. Nanti kamu kenapa-napa." Rian pun menuntun dan membantu Naya naik ke motornya.Di perjalanan Naya tidak canggung untuk berbincang dengan Rian. Bahkan tertawa sekalipun. Rian tidak hanya membuatnya nyaman, tapi juga aman.
"Kamu mau makan apa, Nay?" tanya Rian.
"Aku mau bubur kacang ijo aja, Mas, di situ." Rian mengikuti arah yang ditunjuk Naya.Naya memesan bubur kacang hijau yang sejak tadi sore diinginkan. "Mas mau makan di sini?" tanya Naya.
"Kalo kamu maunya makan di sini apa dibawa pulang?" Rian malah bertanya balik.
"Hmm... makan di sini aja deh. Emang Mas mau makan apa?""Pecel lele aja di situ." Tempatnya tidak jauh dari gerobak bubur itu.
Naya menyuruh Rian untuk memesan terlebih dahulu selagi dia membeli bubur, setelahnya dia akan menyusul dan makan bersama Rian.
Selama menyantap makanan mereka berbincang-bincang. Pembicaraan yang dilontarkan Rian pun tidak yang terlalu serius, lebih banyak bercanda dan menggoda Naya.
"Nih, dulu ya pas aku masih kecil kira-kira empat tahunan lah, aku pernah nyemplung ke got." Rian terkekeh menceritakan kehidupan masa kecilnya. Naya pun tertawa mendengar cerita-cerita Rian.
"Tapi kata nenek aku, aku gak nangis, diem aja gitu minta ada yang nolongin. Untung nenek aku liat."
"Ada-ada aja, Mas nih.""Kayaknya kalo anak kamu cowok, dia bakalan bandel juga deh."
"Ih, jangan gitu dong, Mas." Naya memanyunkan bibirnya."Gak, bercanda. Nanti anak ini yang akan jagain ibunya." Naya tersenyum tipis mendengar tuturan Rian.
Membayangkan anaknya saja sudah membuat Naya senyum-senyum sendiri, dia akan menyaksikan pertumbuhan anaknya hingga besar.
Namun, ketakutannya saat ini adalah orang tua dan keluarga. Mereka semua belum mengetahui kenyataan yang dialami Naya dan belum tentu mereka menerimanya.
"Eh, kok bengong."
"Hhh—enggak." Naya dengan gugup menghabiskan minumannya."Kenapa? Cerita aja sama aku." Seakan Rian tahu banyak beban yang ditanggung Naya.
"Aku masih bingung aja, gimana cara kasih tau semua ini ke orang tua aku." Naya menundukkan kepalanya."Nanti mereka juga ngerti, mungkin awalnya aja marah, kecewa, tapi kamu 'kan masih anak mereka. Apalagi nanti kalo anak kamu udah lahir, nanti pasti dia akan disayang banget," ujar Rian menenangkan Naya.
"Udah yuk pulang." Rian menuntun Naya berjalan karena jalanan yang terlalu gelap, bisa-bisa perempuan itu terjatuh, apalagi sedang hamil.
×_+
Naya membuka matanya, perasaan asing dirasakannya. Melihat sekeliling, tempat dia bangun saat ini bukanlah kamarnya.
Kepalanya pusing, bibirnya pucat. Reflek dia pegang perutnya yang masih mengembang. Setelah nyawanya sudah terkumpul, dia menyadari dirinya berada di ruang unit kesehatan kampus.
Naya mengingat-ingat kembali apa yang terjadi kepadanya. Ingatan terakhir, dia yang sedang melihat Reno bersama teman-temannya di lapangan.
Berakhir dirinya ada di sini, bisa jadi dia pingsan saat sedang berjalan melewati koridor dekat lapangan itu.
Pintu terbuka, muncul sosok Reno memasuki ruangan itu. Laki-laki itu membawa kantung berisikan makanan.
"Ren." Pandangan Naya mengikuti pergerakan Reno yang menghampirinya.
"Ini makan." Reno memberikan kantung itu pada Naya. "Lu gak makan ya dari pagi? Makanya pingsan."
Kebiasaan lama Naya yang saat hamil pun dia lakukan, malas untuk makan. Entah sudah berapa kali dia kelewat untuk makan, bahkan saat mengidam. Untung bayinya baik-baik saja.
"Gua gak mau anak gua kenapa-kenapa. 'Kan gua udah kasih duit ke lu, apa masih kurang?" tegas Reno, tidak terima dengan kelakuan Naya yang lupa untuk makan.
"Gak kurang kok."
"Mending lu ambil cuti sampe anak ini lahir." Pernyataan Reno membuat Naya makin bimbang. Sebelumnya pernah juga terpikirkan di benaknya untuk cuti kuliah."Tapi—" Belum sempat Naya selesai berbicara, terdengar teriakan seseorang memanggil namanya.
"NAYA!! NAYA!!! MANA KATANYA KAMU PINGSAN," teriakan Melani terdengar hingga ke dalam ruangan. Perempuan itu masuk dengan wajah panik.
"Haduh, Nay—tadi aku gak bisa langsung nyamperin kamu, harus presentasi dulu," ceplos Melani.
"Udah gak apa-apa. Aku juga baik-baik aja," ucap Naya menenangkan temannya itu.
Naya mulai melahap makanan pemberian Reno. Ternyata laki-laki itu masih peduli padanya.
"Lu ngapain di sini?" sinis Melani pada Reno. "Jangan-jangan lu yang buat Naya pingsan," tuduhnya.
"Bukan, Mel. Dia cuma anterin makanan," ujar Naya menenangkan Melani lagi.
Tanpa berlama-lama lagi Reno pun keluar dari ruangan itu.
"Nay."
"Iya?""Kamu gak mau cerita sesuatu gitu sama aku?" Melani bertanya dengan pandangan mata mengarah pada perut Naya.
Naya menaruh sendok yang dia pegang, kemudian menyentuh perutnya.
"Aku gak perlu tau ayahnya siapa atau gimana, tapi kamu harus jaga diri kamu, Nay. Aku liat dari kamaren kamu lemes banget," sendu Melani.
Setetes air mata Naya terjatuh ke pipinya. Dia segera menghapus air mata itu.
"Hey—" Melani ikut sedih, lalu memeluk Naya sambil menenangkan temannya itu. Dia pun bingung harus berkata apa.
Jika Melani mengetahui apa yang terjadi pada Naya, kemungkinan besar penghuni kos yang lain pun ada yang mengetahuinya juga.
Bagaimana mungkin dengan tubuh yang setiap hari berkembang, tidak ada yang menyadarinya? Apalagi Naya sering kepergok minum susu ibu hamil. Mungkin saja mereka tidak enak untuk bertanya langsung kepadanya.
"Yaudah selesai makan, kita pulang." Naya mengangguk dan kembali melahap makanannya.
Melani mengenal Naya saat ospek jurusan berlangsung, saat itulah mereka menjadi teman. Melani tau bagaimana sifat dan kebiasaan Naya.
Temannya itu berbicara seadanya saja, bahkan jika disuruh untuk curhat, dia tidak akan membuka mulutnya. Berbeda dengan Melani yang ceplas-ceplos dan gampang untuk mengutarakan curhatannya.
Karena, sudah lama mereka berteman, Melani seakan tau apa yang dipikirkan oleh Naya.
.
"Nay, aku balik ke kampus lagi ya, harus ngurusin anak-anak. Kamu istirahat, makan yang banyak."
"Iya—"Melani melajukan motornya untuk kembali ke kampus. Terkadang Naya ingin seperti temannya itu, aktif dalam kegiatan-kegiatan di kampus. Ya, tapi apa daya itu hanya keinginannya saja, tidak pernah terlaksanakan.
Masuk ke dalam kos, Naya segera menuju kamar mandi. Di dalam kamar kecil itu, dia menyalakan keran air dengan suara deras air yang terdengar sampai ke luar. Tubuhnya dia dudukan di atas closet. Kemudian dia menangis.
Tangisannya terendam oleh suara air yang keluar dari keran. Dia menangis sambil memeluk perutnya dengan erat. Ada nyawa kecil yang harus dia jaga. Berkali-kali Naya meminta maaf kepada calon bayinya.
"Maafin, Ibu—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Air di Atas Awan
ChickLitMengandung anak dari lelaki yang dia sukai, akibat dari kesalahannya sendiri. Merelakan kehidupannya demi merawat dan menghidupkan sang buah hati. Belum lagi buah hatinya mendapatkan penolakan dari sang ayah kandung, membuat dirinya semakin bersung...