Kamar Penuh(?) Kenangan

12.3K 538 0
                                    

Sudah sebulan lebih sejak kelahiran anaknya, Naya masih belum mendapatkan kejelasan tentang hubungannya dengan Reno. Apa laki-laki itu benar-benar serius dengannya?

Naya melirik Reno yang sedang senyum-senyum gemas memandang Rolan yang sedang disusui olehnya. Mulut anaknya itu sangat lahap menghisap sumber susunya.

Jari telunjuk Reno terulur menusuk-nusuk pelan pipi Rolan. Tekanan ketiga, tangan Reno ditepuk Naya.

"Jangan digangguin!" protes Naya.
"Abisnya dia gemes. Saking gemesnya mau aku makan."

"Apa sih kamu ih." Naya menyikut pelan perut Reno.

Setelah Rolan tertidur, Naya perlahan menidurkan bayi mungil itu ke dalam box bayi.

Reno ikut bangkit berjalan menghampiri Naya, lalu memeluk tubuh Ibu dari anaknya itu.

Naya memutar dua bola matanya begitu tubuhnya dihimpit dan segera menolak ciuman Reno di lehernya. Namun, Reno masih berusaha untuk menciumi Naya.

"Kamu jadi gak sih nikahin aku?" Reno menghela napas pelan dan melepaskan pelukannya.

"Ya jadi lah. Kalo bisa, sekarang juga aku nikahin kamu. Aku juga mau secepatnya." Reno membalikkan tubuh Naya agar menghadap dirinya.

"Tapi, kamu tau 'kan papa maunya orang tua kamu dateng, nyaksiin kita nikah," ucap Naya yang seakan sudah frustasi dengan kegelisahannya sendiri.

"Oke, besok aku ke rumah ayah aku," lugas Reno.

"Udah ayo tidur lagi, jangan berantem terus," manja Reno dengan memeluk erat tubuh Naya.

Mereka kembali untuk tidur karena sebelumnya mereka dibangunkan oleh tangisan Rolan di tengah malam.

"Sayang, peluk aku dong. Dingin nih," rengek Reno.
"Mangkanya pake baju!" Naya tampak kesal karena terus-terusan diganggu. Sekarang ini, dia hanya ingin tidur.

"Kamu tau gak, sebenernya aku kalo tidur gak pernah pake baju. Gak bebas aja gitu geraknya," ocehan Reno semakin membuat Naya tidak bisa tidur.

"Tadi katanya dingin, tapi gak mau pake baju. Kamu maunya apa sih?" kesal Naya.
"Yaudah jangan marah-marah, itu tadi kode biar kamu peluk aku," gumam Reno.

Naya memejamkan matanya kemudian menghembuskan napasnya pelan. Setelah itu tangannya terulur memeluk Reno.

Senyuman lebar tercetak di wajah Reno. Seperti anak kecil yang bahagia dipeluk Ibunya.

"Nay—"
"Apa lagi sih?" Naya membalikkan badannya membelakangi Reno.

"Aku cuma mau nanya."
"Apa?"

"Emang nanti abis nikah, kita mau tinggal di mana?" Pernyataan itu membuat Naya ikut termenung.

"Kata Melani di kosan kita, pasutri boleh tinggal di situ," ujar Reno.

"Aku gak punya banyak uang, Nay. Gaji aku juga gak seberapa. Aku cuma takut gak bisa menuhin kebutuhan kamu dan anak kita." Reno menunduk, dahinya menempel pada punggung Naya.

"Nay?" Reno memajukan tubuhnya mengintip melihat wajah Naya.

"Kamu udah tidur?" Tidak ada sahutan dari Naya, yang sedang pura-pura tertidur, tidak ingin membahas percakapan itu.

×_+

Lima hari kemudian, Reno berangkat ke rumah ayahnya. Dengan jarak yang tidak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu satu setengah jam.

Di depan gerbang sebuah rumah, Reno hanya berdiri tegak. Ragu untuk memencet bel dekat gerbang itu.

Berkali-kali dia menghempaskan tangannya yang ingin menekan bel rumah itu.

Air di Atas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang