Terkuak

13.3K 680 6
                                    

Bianca menunggu kedatangan Reno dengan perasaan yang sedang buruk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bianca menunggu kedatangan Reno dengan perasaan yang sedang buruk. Sebenarnya dia sedang tidak ingin bertemu dengan Reno, tapi ada hal yang harus dia pastikan kebenarannya. 

Sepanjang jalan menuju bioskop, sesekali saja Bianca menanggapi ocehan Reno. 

"Kamu kenapa, Bi? Dari tadi diem aja gak kayak biasanya," tanya Reno sambil menggandeng tangan Bianca. Yang ditanya hanya diam saja tanpa memberikan jawaban.

Mereka pun memasuki pintu masuk mall. Kemudian sampai di bioskop dan menukarkan tiket yang sebelumnya sudah dipesan secara online.

"Kamu mau beli popcorn gak?" tanya Reno memicingkan matanya untuk melihat menu. Namun, Bianca tidak merespon apapun.

"Bi." Tetap tidak ada jawaban.
"Bianca." 

Tiba-tiba Bianca menyeletuk, "Kayaknya kita gak jadi nonton," lalu memalingkan wajahnya, dan menarik tangannya dari genggaman Reno.

"Maksudnya?" Reno mengerutkan dahinya bingung. 

"Aku mau ngomong serius sama kamu." Bianca berjalan mencari pintu tangga darurat. Hanya tempat itu yang sepi dari keramaian. Reno mengikutinya dari belakang.

Ketika sampai di tempat itu, Reno kembali membuka suaranya, "Kalo gak mau nonton, kenapa kamu gak bilang dari awal?" 

"Waktu aku mau bilang kamu udah terlanjur beli tiket. Udahlah gak penting juga," jelas Bianca.

"Ya penting lah, kita udah janjian mau nonton. Ini aku juga udah pegang tiketnya," ujar Reno hampir membentak, yang membuat Bianca terdiam beberapa detik dan tidak membalas omongan kekasihnya.

"Kamu kenapa sih, Bi? Perasaan kita baik-baik aja atau kamu lagi ada masalah sama keluarga kamu?" singgung Reno.

"Kenapa jadi bawa-bawa keluarga aku?" sontak emosi Bianca meningkat karena pertanyaan tentang keluarganya.

"Ya biasanya emang gitu 'kan. Aku jadi pelampiasan, kalo kamu lagi ada masalah sama keluarga kamu." Reno tidak mau kalah. 

"Oh jadi, saking muaknya kamu sering aku jadiin pelampiasan, kamu cari cewek lain buat jadi pelampiasan kamu, gitu?" tukas Bianca.
"Aku gak ngerti kamu ngomong apa. Ini bukan kamu."

"Gak usah pura-pura gak tau, Ren." Mata Bianca sibuk menahan air mata agar tidak keluar.
"Hey, aku emang gak tau. Kenapa?" Reno memelankan nada bicaranya.

"Aku udah tau semuanya. Naya hamil karena kamu 'kan?" Pernyataan Bianca yang membuat Reno terbelalak.

"Aku gak tau, kamu tau dari siapa, tapi itu cuma fitnah. Kalo dari temen kamu, Paling juga candaan dari mereka aja." Reno mencoba menenangkan Bianca yang sudah menangis.

Bianca berkali-kali menggelengkan kepalanya, "Gak. Aku denger sendiri dari mulut Naya. Bener 'kan?" Seketika rahang Reno mengeras. 

Dari Naya? Bukannya dia sudah sepakat tidak akan memberitahu siapapun.

"Jawab!!" geram Bianca. Sedangkan Reno terbujur kaku.

"Kamu diem berarti itu bener. Mulai sekarang aku gak mau ketemu kamu lagi." Bianca menghapus kasar air mata di wajahnya.

"Sayang."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi," gertak Bianca penuh penekanan di setiap kata.

"Bi—Dengerin aku dulu." Reno meraih tangan Bianca yang berusaha pergi.

Ketika ingin membawa Bianca ke dalam pelukannya, satu tamparan Reno dapatkan di pipi kirinya. 

Bianca berhasil keluar dari tempat itu, lalu pergi meninggalkan Reno sendiri.

"BANGSAT!!!" dengus Reno dengan melayangkan satu pukulan pada tembok yang keras. Membuat punggung jari-jari tangannya lecet, kemudian darah segar mengalir.

Reno kembali ke tempat motornya terparkir. Dua tiket nonton yang ada di kantong celananya, dia keluarkan dan dihempaskan begitu saja ke sembarang tempat. 

Dia mengendarai motor dengan kecepatan tinggi dan menampilkan wajah yang sudah tersulut emosi.

Benarkah hubungannya dengan Bianca berakhir sampai di sini?

×_+

Sampai di kos-an dengan menggebu-gebu, Reno menggedor pintu kamar Naya. 

"Maksud lu apa bilang-bilang ke Bianca?" Naya yang baru saja membuka pintu kamarnya, dibuat terkejut dengan cercaan Reno.

"Bilang apa?" tanya Naya ketakutan.
Reno mulai mencengkram lengan Naya, "Gak usah pura-pura bego atau emang lu mau semua orang tau, gua yang hamilin lu, hah??" bentak Reno dengan wajah yang merah.

Naya masih dengan kebingungannya dan berusaha menahan tangis dan sakit yang dia rasa.

Mungkin saja, Bianca tidak sengaja mendengar obrolan Naya dengan Melani kemarin siang di kampus. Siang itu Naya sehabis mempertimbangkan kelanjutan perkuliahannya dengan dosen pembimbing ditemani oleh Melani. Temannya itu terus memohon padanya untuk diberitahukan siapa ayah dari anak di kandungannya. 

"Aku gak bilang apa-apa ke Bianca." Naya membela dirinya yang tidak salah. 

Lagipula sepandai-pandainya mereka menyembunyikan fakta kehamilan Naya, akan ada saatnya orang-orang di sekitaran mereka mengetahui kebenaran itu.

Tangan Reno yang mencengkram Naya ditarik oleh seseorang, kemudian Bogem mentah mendarat pada pipi Reno hingga dirinya terkapar ke lantai. 

"Bangun lu!" Rian menarik kerah baju Reno, menariknya untuk berdiri. 

"Lu gak usah ikut campur!!" gertak Reno, dan mendapatkan pukulan di pipi yang satunya lagi. 

Tarikan kerah Rian semakin keras hingga mencekik Reno.

"Udah, Mas, berhenti," pinta Naya.
"Gak bisa, Nay. Dia harus dikasih pelajaran." Para penghuni kos-an yang melihat kejadian itu pun, tidak ada yang berani memisahkan. Justru mereka senang menonton hiburan gratis itu. Jarang-jarang kejadian seperti ini muncul di sana. 

Masih sempat Reno menampilkan seringainya dengan bibir yang penuh darah.

"Kenapa? Lu kecewa orang yang lu suka ternyata gua yang hamilin?" bisik Reno, lalu tertawa mengejek.

"BRENGSEK!" Satu tinjuan mengenai perut Reno. Terdengar rintihan kesakitan dari mulut Reno.

Rian kembali menjatuhkan tubuh Reno. Kemudian menendang kaki laki-laki dan mengenai tulang kering bajingan itu. Reno meringkuk memegangi perutnya yang perih.

"Anjing lu, Ri!!" rintih Reno, dengan napas yang tidak karuan menahan sakit dan sebelah mata yang melirik Naya.
"Masih untung lu gak gua bunuh." Rian menuntun Naya untuk kembali istirahat di kamar.

"Mas, tolongin dia dulu." Naya prihatin, tidak tega melihat kondisi Reno.
"Gak usah, Nay. Dia pantes dapetin itu. Biarin dia intropeksi diri. Kamu terlalu baik sama dia." Rian hanya ingin menyadarkan Naya.

Reno sadar bahwa dirinya memang pantas mendapatkan itu semua. Masih ada sedikit rasa bersalah dalam dirinya. Pasrah dengan tidak menghindar atau pun melawan balik pukulan Rian. Jika dia melawan, masalah akan semakin panjang. Bisa-bisa dia mati di tangan Rian.

"Woy, woy kenapa nih? Ren!" Alvin yang baru saja datang kaget melihat Reno terbujur di lantai. Dirinya langsung menghampiri dan membantu temannya berjalan ke kamar. 

"Lu pada bukannya dipisahin," dumel Alvin.
"Udah lama, bang, gak liat orang berantem langsung," ucap salah satu teman kosnya.

"Bubar-bubar," sahut Alvin sambil memapah Reno.

Melani yang juga baru saja pulang bersamaan dengan Alvin, segera memasuki kamar Naya. 

"Ini ada apaan, Nay? Mas?" bingung Melani meminta jawaban dari Naya dan Rian.

.

Air di Atas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang