"Kamu cinta sama anak saya?"
"Iya, Pak." Reno memberikan tatapan yang panjang sebagai jawaban.Saat ini Aryo dan Reno sedang berbincang di teras belakang rumah. Setelah dibujuk dan ditenangkan oleh istrinya, akhirnya Aryo dapat berpikir dengan kepala dingin.
"Orang tua kamu gimana? Tau masalah ini?" Aryo selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan selayaknya Reno sedang diinterogasi.
"Ibu kandung saya udah lama meninggal, saya juga udah lama gak pernah ketemu ayah kandung saya, terakhir waktu lulus SMA." Seketika Reno tertekun mendengar penjelasannya sendiri.
Ternyata sudah lama dirinya tidak pernah pulang ke rumah ayahnya. Semenjak lulus SMA dan diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Dia pun memutuskan untuk hidup sendiri karena beberapa alasan yang mengharuskannya untuk pergi dari rumah itu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan membayar uang kuliah. Apapun pekerjaan yang temannya tawarkan untuknya, sebisa mungkin dia mampukan. Seperti, menjadi buruh lepasan, mengemas produk-produk promo di sebuah gudang distribusi. Bekerja sambilan di kafe dekat kampus.
Di tahun kedua Reno kuliah, dia merasa penghasilannya masih sangat kurang untuk kebutuhan sekundernya, dia pun membuat target untuk mendekati mahasiswi-mahasiswi baru.
Sudah menjadi tradisi, saat ospek beberapa senior di setiap jurusan akan mencari mahasiswa baru untuk dikencani. Begitupun dengan Reno, ada satu perempuan yang masuk ke dalam targetnya.
Hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua bulan, Reno berhasil mengencani Bianca. Bukan karena alasan suka ataupun cinta, ya alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah uang. Sesekali Reno memanfaatkan uang Bianca, tetapi tidak secara terang-terangan.
Namun, seiring berjalannya waktu bibit cinta muncul dalam dirinya, tapi pemerasan pada Bianca masih berlanjut. Tentunya tanpa sepengetahuan Bianca. Belum lagi kepolosan Bianca yang tidak pernah curiga, ketika Reno memintanya uang. Bahkan tidak segan-segan Bianca memberikan konsol game sebagai hadiah ulang tahun Reno.
"Ekhemm—" Aryo berdeham kencang, menyadarkan Reno yang sibuk melamun.
"Sekarang rencana kamu gimana?" tanya Aryo, memecah lamunan Reno.
"Niat saya ke sini mau melamar anak bapak. Saat ini saya baru punya ini." Reno mengeluarkan sebuah kotak berisikan sepasang cincin, yang sepertinya Naya belum mengetahui perihal cincin tersebut."Saya akan nikahi Naya. Kami sepakat mau nikah tanpa resepsi. Apa bapak setuju?" ucap Reno hati-hati, menjelaskan dengan nada yang tenang. Namun, muncul perasaan takut dan khawatir dalam diri Reno.
"Alasannya apa?" Aryo membenarkan posisi duduknya.
"Saya pikir lebih baik uangnya saya tabung buat beli rumah yang nyaman untuk Naya dan anak kami. Saya juga tau uang saya gak banyak."Aryo menghela napas panjang, kemudian berdiri dari kursinya. "Nanti kita pikirin lagi," lalu masuk ke dalam rumah.
Reno menyandarkan diri, kemudian mendongak ke arah langit-langit, menghembuskan napas yang lebih besar dan keras.
.
"Mama gak marah sama aku?" tanya Naya yang sedang berbaring bersama Elena di kamarnya. Selagi suami dan calon menantunya sedang berbincang.
"Marah sih, kecewa juga, tapi ya mau gimana lagi udah kejadian. Masa mama mau marah-marah terus." Elena mengusap pelan rambut Naya.
"Tapi, papa—"
"Kamu tenang aja, papa udah mama bujuk, sekarang lagi ngobrol sama Reno.""Oh, Reno lagi sama papa," kata Naya dalam hati. Ketika bangun dari tidur, dia tidak melihat keberadaan Reno di kamarnya.
"Mama mau nanya, kamu udah berapa lama pacaran sama Reno? Kok gak pernah kasih tau mama?"
"Sebenernya aku gak pernah pacaran sama dia." Naya sendiri yang memaksa dirinya untuk mengeluarkan kata-kata tersebut, lalu mengalihkan pandangannya.
"Terus kok kamu bisa hamil? Mama kira kalian pacaran. Jangan-jangan dia yang maksa kamu ya?" Ekspresi wajah Elena seketika berubah sedikit geram.
"Gak, Mah. Aku yang mau, kita sama-sama mau. Malam itu juga harusnya aku gak usah ikut ke acara itu." Elena langsung memeluk Naya seakan mengerti kefrustrasian anaknya semata wayangnya.
"Kamu cinta sama dia?" Naya mengangguk.
"Dari yang mama liat, dia cukup bertanggung jawab. Ya, walaupun kelamaan sih, tapi keliatan, dia serius sama kamu." Seakan Elena dapat membaca pikiran dari wajah Reno.Lagi-lagi Naya merasa sangat bersyukur mempunyai Ibu yang pengertian dan tidak membencinya.
"Oh, iya, mama sampe lupa mau siapin makan siang. Udah jam berapa ini." Elena terkekeh.
"Aku mau bantuin mama." Naya ikut berdiri dari ranjangnya."Gak usah, kamu istirahat aja," balas Elena, lalu berjalan ke arah pintu. Bersamaan dengan itu pintu kamar dibuka lebih dulu oleh Reno.
"Eh, Mah." Reno menundukkan kepalanya sopan.
"Kamu udah selesai ngobrolnya sama papa?" Reno menjawab dengan anggukkan."Yaudah kalian tunggu ya, mama mau bikin makanan yang enak."
"Makasih, Mah," ucap Reno.Setelah menutup pintu, Reno berlari kecil dan refleks melemparkan dirinya ke ranjang.
"Ishh—" protes Naya karena tubuhnya ikut terguncang.
"Aduh! Sakit!" rajuk Reno yang habis mendapatkan hadiah cubitan kecil."Kamu gak pernah pacaran ya?" balas Reno dengan nada ledekan.
"Kalo iya emang kenapa?"
"Gak kenapa-kenapa. Keliatan aja gitu dari kamar kamu." Reno menatap punggung Naya yang membelakanginya."Maksudnya?" sewot Naya, sambil menoleh ke belakang, menatap Reno.
"Kamar kamu tuh terlalu polos, kayak gak ada tanda-tanda kehidupan.""Ihh, kamu nyebelin banget sih dari tadi, aku aduin ke papa nih."
"Jangan dong." Reno ikut duduk di samping Naya. "Abisnya godain kamu seru," ujarnya, sembari mencium kepala calon istrinya."Sebagai bentuk permintaan maaf, aku punya ini buat kamu." Reno mengeluarkan sebuah kotak cincin, lalu diserahkan pada Naya.
"Ini apa?"
"Buka aja." Mata Naya berbinar ketika melihat isi kotak di tangannya.Reno mulai memasangkan salah satu cincin itu pada jari manis Naya. Begitu pun sebaliknya. Mereka tidak berhenti tersenyum dengan bahagia sambil berpelukan.
"Temenin aku bantuin mama." Naya menarik tangan Reno untuk ikut dengannya ke dapur.
.
Naya menghampiri Ibunya yang sedang memasak hidangan yang sebentar lagi selesai. Membantu menyiapkan peralatan makan dan menata makanan.
"Ih, 'kan mama udah bilang gak usah."
"Aku bosen di kamar terus." Elena tersenyum melihat anaknya merajuk.Reno yang sedang duduk di meja makan, mendengar pintu kamar terbuka. Muncul sosok Aryo yang berjalan ke arah meja makan. Mereka duduk saling berhadapan, menunggu hidangan datang. Suasana meja makan yang penuh dengan kecanggungan.
"Eh, iya. Mama mau tanya, anak kalian cewek atau cowok?" Elena mencoba mencairkan suasana yang tegang.
"Cowok, Mah," jawab Naya, refleks memegang perutnya."Kalian udah kasih dia nama?" Elena melanjutkan pembicaraannya untuk menghadapi keheningan.
Bersamaan Naya dan Reno saling menatap satu sama lain. Mereka sampai lupa memikirkan perihal nama anak mereka nanti.
Belum sempat Naya menjawab, Ayahnya lebih dulu membuka suara.
"Saya restui kamu nikahi anak saya, tapi tunggu anak itu lahir dulu. Untuk sementara Naya tinggal di sini sampai anak itu lahir. Bulan depan 'kan kamu udah mulai kerja, kamu bisa pulang duluan, Naya tetap di sini." Kalimat Aryo menggema di ruangan itu. Pemikiran yang sedari tadi berada di kepalanya, kini telah dikeluarkan.
Reno pun mengangguk dalam diam, seakan menyetujui pernyataan calon mertuanya itu.
"Satu lagi, kalau bisa orang tua kamu datang waktu pernikahan nanti." Untuk satu hal itu, Reno belum bisa memastikan. Dia tidak tahu harus berkata apa. Saat ini, dia tidak bisa berpikir jernih.
×_+
KAMU SEDANG MEMBACA
Air di Atas Awan
ChickLitMengandung anak dari lelaki yang dia sukai, akibat dari kesalahannya sendiri. Merelakan kehidupannya demi merawat dan menghidupkan sang buah hati. Belum lagi buah hatinya mendapatkan penolakan dari sang ayah kandung, membuat dirinya semakin bersung...