Bab 1

590 14 0
                                    

Hidup itu bagaikan air yang mengalir. Kalau arusnya kencang, berarti harus dilewati dengan penuh kesabaran. Namun, jika arusnya lambat, berarti harus dilewati dengan penuh ketaatan. Jangan terlena hanya dengan manisnya dunia, tapi terlenalah dengan apa yang dijanjikan di akhirat.

Syazwa Analisa Syafa Maher. Gadis keturunan arab dan mesir. Anak perempuan satu-satunya dari keluarga Maher yang terpandang seorang pembisnis. Namun, walaupun Syazwa terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, tetap saja gadis itu tidak pernah mau bersyukur akan apa yang didapati saat ini.

Saat ini, Syazwa berumur 17 tahun, yang menandakan jika gadis itu baru saja menginjak kelas 11 di SMA Cakrawala.

"Azwa!" Tiba-tiba saja, ditengah nyenyaknya tidurnya, sosok lelaki tampan yang sedikit mirip dengan dirinya menghempaskan tubuhnya begitu saja ke atas kasurnya Syazwa.

"Hei! Bangun!" ucapnya mengguncang tubuh Syazwa.

"Ih! Jangan ganggu Azwa!" kesal Syazwa semakin menarik selimutnya, menutupi seluruh tubuhnya.

"Heh, bocil! Bangun!" gaduh lelaki itu lagi.

Gevan Alghifano Maher, anak kedua dari keluarga Maher. Gevan sekarang berumur 20 tahun. Dan saat ini dirinya tengah disibukkan akan bisnis orang tuanya di sebuah perusahaan ternama di Indonesia.

Dan jangan lupa, jika Gevan juga seorang mahasiswa di salah satu universitas ternama di Australia. Dan untuk saat ini, lelaki itu memang tidak ada jadwal kuliah untuk satu bulan ke depan, jadi jangan heran jika dia lebih memilih untuk membantu ayahnya di perusahaan.

"Heh! Malah ngorok. Ayo, bangun! Ini kamu sudah lewatin sholat subuh, loh!" gaduh Gevan tiada hentinya.

"Azwa masih ngantuk!" teriak Syazwa berusaha mempertahankan selimutnya yang ditarik oleh Gevan.

"Kamu mau bangun, atau mau abang guyur pake ember?" ancam Gevan yang langsung turun dari tempat tidur adiknya itu.

"Terserah, Azwa gak peduli!" jawabnya sekenanya. Dan malah semakin melenyapkan dirinya ke bawah alam sadar.

Gevan yang tidak pernah berbohong dengan perkataannya, akhirnya menuju kamar mandi yang ada di kamar Syazwa. Dan tak lama kemudian, dia keluar dari sana dan benar saja. Gevan membawa seember air dan menyiramkan air itu ke atas kasur di mana Syazwa berada.

"ABANG!" teriak Syazwa spontan, membuat seisi rumah berhenti untuk beraktivitas di pagi ini.

"Ada apa lagi ini?" tanya Aletta-Ibunda Syazwa, yang tengah menyiapkan sarapan di kapur.

"Astagfirullah, kenapa lagi ini?" terkejut Hevan-Ayahanda Syazwa, yang tengah bersiap untuk berangkat ke kantornya.

"Dasar bocil!" kesal Sahar-Anak pertama keluarga Maher.

"Astagfirullah, Non Azwa kenapa lagi?" lirik bi Suwarti-Art keluarga Maher, yang tengah membersihkan rumah pagi ini.

Bugh!

Spontan, Gevan melemparkan bantal kursi yang ada di kamar Syazwa ke arah gadis yang telah basah kuyup itu.

"Berisik, wei! Lama-lama, seisi rumah ini bisa budek gara-gara suara cemprengmu itu, Cil," kesalnya menantang tatapan tidak suka dari Syazwa.

"Siapa suruh pagi-pagi udah buat Azwa marah?!" bentaknya tidak suka.

"Nah tu, udah tau pagi, masih aja molor kek kebo. Mau jadi apa hidupmu, Cil?" ucap Gevan, merotasi matanya dengan malas.

"Mau jadi apapun, itu bukan urusan Abang. Ini hidup Azwa. Abang gak berhak ngatur!"

"Cih, gak berterima kasih banget hidupmu, Cil. Abang kaya gini, juga karena Abang sayang kamu. Abang gak mau, kalau sampai kamu nyia-nyiain hidup kamu kaya gini."

"Ingat, Cil! Hidup itu cuma sekali. Dan apa yang bakalan terjadi esok, gak ada yang tau. Kamu harus bersyukur, jika saat ini Allah kasih kesempatan hidup. Lah, kalau kamu nantinya mati gimana?" ceramah Gevan yang sama sekali tidak dipedulikan oleh sang empu. Dan malahan, Syazwa pergi begitu saja tanpa peduli dengan ceramah yang sudah disampaikan oleh kakaknya itu.

"Pagi-pagi, udah kena siraman rohani. Apalagi sih, salah gue? Kenapa sih, gue harus lahir di keluarga kek gini? Kenapa gak kaya teman gue aja coba?" umpat, sebelum akhirnya memasuki kamar mandi tersebut.

...

"Mana Azwa, Bang?" tanya Aletta pada anaknya itu.

"Lagi, mandi Mi," jawabnya. Lalu, mendudukkan dirinya di kursi meja makan.

"Baru bangun?" tanya Aletta, seraya mehidangkan sarapannya.

"Iya, Mi. Biasa, harus dimandiin dulu, baru mau bangun," jelas Gevan yang membuat Aletta geleng-geleng kepala.

"Yaudah, sekarang kamu sarapan dulu!"

"Oh iya, Mi. Abi, mana?" tanyanya, seraya mulai memakan sarapan yang sudah dihidangkan oleh Aletta.

"Di-"

"Ada apa? Tumben nyariin Abi?" tanya Hevan, tiba-tiba saja muncul.

"Abi jangan geer!" peringat Hevan yang melah menghadirkan gelak tawa dari kedua orangtuanya.

"Anakmu, Mi?" tanyanya pada Aletta.

"Anakmu juga kali, Mas," sahut Aletta, geleng-geleng kepala.

"Assalamualaikum, pagi Mi, Bi!" sapa Sahar.

"Wa'alaikumussalam," sahut semuanya.

"Wah, gue gak lo sapa, Bang?" celoteh Gevan tidak terima.

"Gak!" dingin Sahar, yang membuat Gevan mendelik.

"Idih, gitu amat!"

"Salah lo sendiri, pagi-pagi udah buat onar," kesal Sahar.

"Buat onar demi adik tercinta kali, Bang!"

"Cih, adik tercinta!" Itu bukan sahutan dari Sahar ataupun Aletta dan Hevan. Melainkan, itu adalah sahutan dari Syazwa yang sudah rapi dengan seragamnya. Cepat sekali gadis itu bersiap.

"Napamu, Cil?" tanya Sahar dengan nada mengejeknya.

"Cil, cil, cil, dikira kancil apa?!" ketusnya. Lalu, mendudukkan dirinya di kursi meja makan dengan penuh kekesalan.

"Ya kan, kamu memang kancil. Cerdas, namun ngeselin," sahut Gevan dengan entangnya.

"Abang mau diam, atau Azwa lempar?!" ucapnya mengancam.

"Bodo amat, Abang gak peduli!" balas Gevan semakin memancing emosi Syazwa. Baru saja gadis itu akan melempari Gevan dengan roti, namun Aletta dan Hevan sudah dahulu menghentikan perdepatan ketiga anaknya ini.

"Udah, kalian ini. Masih pagi, udah bikin ribut. Udah, ayo sarapan!" Jika ayahanda sudah berkata begini, maka semuanya harus nurut. Dan itulah aturan tetap yang terjadi di keluarga Maher.

Exploring Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang