Bab 21

97 6 0
                                    

"Kak," panggil Aina yang saat ini sudah duduk di atas kasur. Dengan tangan yang perlahan-lahan mulai membuka khimar yang selama ini sudah setia menutup mahkotanya.

"Kenapa Sayang?" ucap lelaki yang tadi sudah menjemputnya. Kenal saja lelaki itu Gibran. Gibran pun menghampiri Aina dengan tatapan yang terlihat seperti dipenuhi akan nafsunya.

"Kakak gak akan menaruh kamera di kamar ini, kan?" tanyanya dengan tatapan memastikan.

"Em ... tentu saja tidak. Sudah, kamu tidak perlu khawatir. Sekarang, jalankan saja tugasmu sebagai wanita bayaranku." Dengan sedikit keraguan, Aina menganggukkan kepalanya.

"Ingat, kamu jangan pernah main-main dengan saya, karena bagaimanapun kehidupanmu ada pada saya. Kamu ingin hancur atau ingin bahagia itu berada pada kendali saya. Jadi, jangan berencana untuk mengecewakan saya walau sedikit saja."

"Iya, Kak."

Setelahnya, Aina mulai melakukan segala yang diperintahkan oleh laki-laki itu. Gibran terlihat begitu dipenuhi akan nafsunya. Berbeda dengan Aina yang sudah terlihat pasrah saja dengan hidup. Jujur saja, jika saat ini Tuhan berkehendak untuk dirinya, maka dia akan dengan rela menyerahkan dirinya begitu saja.

Brak!

"Astaghfirullah!" teriak Syazwa, tiba-tiba membuka pintu kamar hotel itu dengan kasar.

Aina yang terkejut, segera mungkin mendorong Gibran dengan kasar. Dengan bergegas dia memperbaiki penampilannya. Mengambil khimarnya kembali dan menutupi mahkotanya kembali secara asalan.

Aina malu. Sekarang tindakannya sudah mulai diketahui oleh seseorang yang begitu dekat dengannya selama ini. Beda halnya dengan Syazwa yang membekap mulutnya tidak percaya. Jujur, Syazwa kecewa dengan Aina saat ini.

Tes! Butiran bening menetes begitu saja dari pelupuk matanya. Syazwa menangis. Tanpa berkata apa-apa, Syazwa langsung saja pergi dari sana dengan air mata yang kian mengalir.

Aina yang menyadari itu, hendak mengejar Syazwa. Namun, Gibran langsung menahannya.

"Kenapa? Mau mengejarnya? Silahkan saja, tapi saya tidak bisa jamin, setelah ini hidupmu akan baik-baik saja." Aina tidak peduli. Dia tetap berlalu dari hadapan Gibran yang sudah tersenyum miring dengan kepergian gadis itu.

"Mari kita bermain, gadis cilik!"

...

"Wa," panggil Aina yang sudah berada dekat dengan Syazwa. Dengan terpaksa, Syazwa memberhentikan langkahnya, menunggu kehadiran Aina di hadapannya.

"Maaf Wa!" ucap Aina mulai terisak.

"Bukan ke aku Na, bukan!"

"Aku kotor ya, Wa? Hiks ... hiks ...."

Syazwa tak kuasa untuk melihat sahabatnya seperti ini. Dengan satu tarikan napas, Syazwa memeluk sahabatnya begitu erat.

"Kamu kenapa Na? Ke mana Aina yang aku kenal selama ini? Kenapa kamu kaya gini sekarang?"

"Maaf Wa, maaf! Hiks ... aku gak tau harus apa lagi, aku udah capek Wa."

"Kamu sebenarnya anggap aku apa, Na? Padahal, selama ini kamu orang yang sering ngingatin aku tentang marwah wanita. Tapi, sekarang-" Syazwa tidak mampu lagi untuk melanjutkan ucapannya. Tindakan Aina tadi benar-benar membuatnya sakit.

Aina terdiam. Syazwa benar, dia sudah jauh dan terlalu munafik saat ini. Bahkan, dia sudah kotor, hingga tidak ada lagi kata pantas untuknya.

"Ada apa Na? Kenapa kamu kaya gini? Kenapa? Hiks ... hiks ...!"

"Maafin aku Wa! Maaf!" Syazwa sudah kehilangan kata-kata saat ini.

"Wa, hiks ... please jangan diam. Kalau kamu mau, aku bisa lepasin aja jilbab ini, biar gak ada lagi kata munafik untuk diri aku yang udah kotor ini."

Sontak, Syazwa membulatkan matanya. Dengan cepat, Syazwa menahan tangan Aina yang hendak membuka khimarnya. "Jangan, please jangan! Awa memang marah sama Aina. Tapi, Awa gak mau jadi teman Aina yang dulu. Awa gak mau jadi teman Aina yang jahat lagi. Please, Awa mohon! Jangan lepas! Mahkota Aina jauh lebih berharga. Aina gak kotor. Aina masih pantas memakai khimar ini. Aina-" Lagi-lagi, Syazwa tak sanggup untuk melanjutkan ucapannya.

Dengan menghela napasnya, Syazwa mengusap kedua pipi Aina dengan ibu jarinya. "Udah, mulai sekarang Aina harus janji sama Awa. Apapun yang terjadi pada Aina, Aina harus cerita ke Awa. Aina gak boleh sembunyikan apapun dari Awa kaya sekarang. Dan Aina juga harus janji sama Awa, Aina gak akan mengulang hal ini lagi. Kalau Aina butuh bantuan, Aina bisa bilang ke Awa. In Syaa Allah, Awa akan bantuin Aina."

Aina tersenyum bahagia, akhirnya apa yang dia tunggu selama ini terwujud. Dia bahagia, tapi itu tak lama. Semuanya terhenti di saat ada dua orang yang melewati mereka.

"Eh, itu cewek bayaran itu bukan, sih?"

"Eh, iya. Loh, tapi kok pakaiannya kaya-"

"Lagi mau pengajian kali," sahut satunya dengan tertawaan mereka yang begitu menusuk bagi Aina.

"Wa," lirih Aina mulai gemetaran.

"Kenapa Na?"

"Video aku udah kesebar," lirihnya benar-benar tak kuasa lagi. Bahkan, air mata Aina kembali merembas begitu saja.

"Video? Maksud kamu-" Aina langsung saja mengangguk sebelum Syazwa melanjutkannya.

"Astaghfirullah," istighfar Syazwa. Dia tak habis pikir lagi dengan apa yang terjadi pada sahabatnya ini.

Dengan berusaha tenang, Syazwa mengelus pundak Aina. "Ya sudah, urusan ini biar aku yang selesaikan. Sekarang, lebih baik kamu pulang. Aku harus ke suatu tempat."

"Ta-"

"Sudah, kamu tenang saja. Semuanya pasti akan baik-baik saja setelah ini."

Tanpa berkata-kata lagi, Syazwa meninggalkan Aina begitu saja. Sebelum memberhentikan taksi di depan, Syazwa meronggoh ponsel pemberian Ehan. "Akhirnya, benda ini berguna juga," lirihnya lalu menelpon seseorang.

"Berapa pun, bakalan gue bayar lo!"

"Gue mohon! Cuma lo satu-satunya orang yang bisa bantuin gue."

"Ris, gue mohon!"

Tut ... tut ... tut ...

Panggilan itu malah diberhentikan secara sepihak saja, membuat Syazwa menghembuskan napasnya secara resah. "Yaa Allah, siapa lagi yang bisa bantuin hamba?" monolognya. Lalu, memasuki taksi yang audah dia berhentikan.

"Mau ke mana Neng?" tanya sopir taksi itu kepadanya.

"Jalan Mekar saja, Pak." Tanpa sadar, Syazwa malah menyebutkan alamat rumahnya. Dan gadis itu tak kunjung menyadarinya. Sampai akhirnya, taksi itu sudah berhenti di depan rumahnya.

"Di sini bukan, Neng?" tanyanya. Aina yang menyadari perkataan supir itu langsung saja terkejut. "Loh, Bapak kenapa bawa sa- Oh, iya. Ini Pak, terima kasih ya, Pak." Setelahnya, Syazwa langsung saja turun dari taksi dan mulai melangkahkan kakinya, seraya menatap rumah megah itu dengan kerinduan yang terselip di dalam hatinya.

"Ummy, Abi, Bang Sahar, dan Bang Gevan, Awa pulang. Awa butuh kalian saat ini."

Exploring Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang