Sepulang sekolahnya, Syazwa langsung saja menuju kamarnya. Untuknya, hari ini benar-benar hari yang buruk. Kesal yang dia rasakan, sekarang malah menjadi kecewa hanya karena nasehat yang diberikan Aina kepadanya tadi.
"Akh!" teriaknya frustasi.
"Gue benci lo, Na! Gue benci!
"Akh! Kenapa sih, gue harus ngingat lo? Kenapa?!"
Ceklek!
"Siapa yang suruh lo masuk?!" bentaknya kepada Gevan.
"Heh! Bahasamu, Cil! Siapa yang ngajarin lo ngomong gitu, ha?" marah Gevan, yang awalnya berniat melihat keadaan adiknya.
"Apa urusan lo, ha? Pergi sana!" usirnya yang tak lupa melayangkan sebuah bantal ke hadapan Gevan.
"What?" terkejutnya.
"Wa, kamu kenapa, ha? Siapa yang udah buat kamu gini? Bilang sama Abang!" ucap Gevan, berusaha menghampiri adiknya. Namun, Syazwa malah menghempaskan tangan Gevan yang hendak memegang bahunya.
"Keluar! Gue gak mau diganggu!" bentaknya, semakin membuat Gevan heran.
"Gak! Kamu gak bisa gini. Abang gak suka ya, Wa!"
"Terserah! Gue gak peduli! Kalian semua sama aja! Gue benci kalian semua! Gue benci!" teriak Syazwa begitu memekakkan telinga siapapun.
Deg.
Aletta yang tengah berdiri diambang pintu dibuat terkejut akan kelakuan Syazwa yang benar-benar sudah di luar kendalinya. Syazwa tak lagi terlihat seperti putri kecilnya dahulu.
"Ummy?" lirih Gevan, menyadari kehadiran Aletta. Dengan cepat, Gevan keluar dari kamar adiknya itu dan menghampiri Aletta.
"Ummy, ummy ngapain di sini? Kita ke kamar saja ya, My!" ajaknya, langsung membawa Aletta dari sana, tanpa menunggu jawaban dari Aletta terlebih dahulu.
"Apa yang terjadi, Nak? Kenapa putri Ummy begitu?" tanya Aletta berusaha untuk menahan air matanya.
"Tidak apa-apa Ummy, Syazwa mungkin lelah. Ada baiknya, kita berikan dia waktu dulu. Nanti, biar Gevan bantu tenangin Syazwa."
"Kamu yakin?"
"Iya, Ummy. Sekarang, Ummy istirahat ya, kasihan tubuh Ummy kecapekan. Gevan mau ke kamar dulu sebentar," ucapnya yang langsung diangguki oleh Aletta.
...
"Assalamualaikum!" salam Aina memasuki rumahnya yang begitu sepi. Tiada siapapun di sini, melainkan hanya dirinya.
Lagi-lagi, dia tidak mendapati keluarganya di rumah. Ini selalu saja dia rasakan. Di saat, banyaknya remaja diluaran sana yang mendapatkan kasih sayang orang tua mereka sepenuhnya, namun Aina malah mendapatkannya separuh saja.
Aina memang terlahir dari keluarga yang berkecukupan, namun tak sebanding dengan Syazwa yang tentu saja lebih dari dirinya. Akan tetapi, apa yang dia miliki, jauh diluar ekspektasi siapapun.
Penampilan yang terlihat agamis dalam dirinya, belum tentu juga berada di dalam diri orang tuanya. Dan ini adalah rahasia terbesar yang sengaja untuk dia sembunyikan selama ini, termasuk kepada Syazwa sendiri.
Setiap kali, Syazwa berbicara mengenai keluarganya, Aina hanya bisa mendengarkannya dengan baik. Tanpa, ikut menceritakan keluarganya juga.
Aina hanya tak ingin, siapapun mengetahui kehancuran keluarganya ini. Cukup, hanya dia dan Allah yang menjadi saksinya.
"Yaa Allah, kapan rumah ini akan seperti mereka? Selalu dipenuhi akan canda tawa, selalu dihiasi akan keharmonisan, dan selalu bertekuk pada agamamu yang benar," lirihnya, menahan air mata yang siap untuk menitik begitu saja.
Setelah mengatakan itu, Aina beranjak untuk menuju kamarnya. Membersihkan dirinya di sana. Lalu, kembali turun ke bawah, guna mengisi perutnya.
"Alhamdulillah," lirihnya, bernapas lega, tatkala mendapatkan semangkuk mie di atas meja makan.
"Mungkin, ini Bunda yang buatkan," batinnya, mulai duduk di kursi meja makan itu. Lalu, mulai menikmati semangkuk mie yang dia tambahkan dengan nasi di magicom.
"Heh!" sentak seseorang, tiba-tiba saja mengejutkan Aina.
"Ka-kak Arka?" gugupnya, menatap hadirnya sosok Arka—kakak tirinya, istri kedua dari ayahnya.
"Itu mie gue! Lo ngapain makan mie gue?!" sentaknya, membuat Aina seketika melototkan matanya.
"I-ini?" tunjuknya pada semangkuk mie tersebut.
"Iya! Lo apa-apaan sih, gue belum makan, tapi lo malah main ambil gitu aja. Kalau lo mau, buat sendiri sana!" bentak Arka, benar-benar tidak suka.
"Ma-maaf, Kak. A-aku gak tau," ucapnya menunduk takut.
"I-ini, kalau Kakak mau ambil lagi, silahkan. Aku bisa beli lagi nanti," ucapnya, kembali menyodorkan semangkuk mie tersebut.
"Ck, gak salah dengar gue? Lo ngasih gue bekas lo yang menjijikkan itu? Ciuh! Gak! Daripada gue makan bekas lo, mending gue makan tai babi aja!" jawab Arka begitu marahnya.
"Yaudah, nanti aku kasih tai babi aja," jawab Aina begitu polosnya.
"*** lo! Lama-lama, gue usir juga lo dari sini."
"Yaudah, kalau Kak Arka gak mau."
"Ck!" Setelah itu, Arka pun memutuskan untuk pergi dari sana. Dia terlalu malas meladeni sikap adik tirinya ini. Bukan benci, hanya saja tidak ingin mencari masalah.
Sebenarnya, Arka itu baik. Hanya saja, dia merasa benci dengan keluarga ini. Maka dari itu, dia selalu saja tidak pernah mau berbuat ataupun berbicara baik kepada Aina.
Beda cerita lagi dengan Aina yang begitu menyayangi keluarga ini. Namun, rasa sayang itu malah tak terbalaskan sedikit pun untuk dirinya. Maka dari itu, jangan pernah salahkan Aina, jika suatu saat dia melakukan kesalahan besar di mata keluarganya, hingga dirinya tak dianggap. Sebab, tak ada lagi pengakuan yang sesungguhnya yang dia dapatkan.
"Jika bukan sekarang, mungkin suatu saat nanti!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Exploring Love (End)
SpiritualSyazwa Analisa Syafa Maher. Gadis keturunan arab dan mesir. Anak perempuan satu-satunya dari keluarga Maher yang terpandang seorang pembisnis. Namun, walaupun Syazwa terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, tetap saja gadis itu tidak pernah...