"Abi," panggil Syazwa, menghampiri keluarganya yang saat ini tengah berbincang di ruang keluarga.
"Loh, Ummy, Abi? Ini Gevan gak salah lihat, kan?" tanya Gevan terkejut.
"Kenapa? Awa cantik ya, sekarang?" tanya Syazwa dengan PD-nya yang melupakan kehadiran Ehan saat ini.
"Ck, GR banget sih. Btw, kenapa balik? Gak sekalian aja pergi selama-lamanya?"
"What? Abang ngusir Awa?"
"Ya, salah siapa? Ngapain kabur-kaburan kaya gitu, kalau ujung dan akhirnya balik lagi?"
"Udah ah, yang sok tau diam aja. Jangan berisik! Abi, Awa mau ke luar dulu, ya?"
"Loh, kenapa Nak? Ada urusan apa kamu?"
"Awa mau ketemu teman sebentar, Bi."
"Ya sudah, tapi kamu diantarkan nak Ehan saja, ya?"
"Eh, tidak usah Bi. Awa bisa sendiri."
"Tidak apa, kebetulan saya juga akan pulang."
"Em ... tapi Awa gak mau repotin Bapak."
"Tidak apa, ayo!" Dengan terpaksa akhirnya Syazwa mengiyakan saja. Walaupun dia bisa pergi sendiri saja bersama dengan motor kesayangan yang sudah lama tidak dia gunakan.
Mereka pun berpamitan, lalu langsung saja menuju tempat yang dituju oleh Syazwa.
"Loh, Bapak kenapa ikut turun?"
"Kenapa? Apa saya tidak boleh bertemu dengan siswi saya?"
"Em ... boleh sih, tapikan ini privasi, Pak."
"Tidak masalah, ayo!" Lagi-lagi, Syazwa hanya pasrah.
"Aina," sapa Syazwa di saat sudah berada di hadapan Aina.
"Eh, kamu sudah sampai."
"Iya, ada apa? Kenapa kamu ngajak aku ketemu di sini?"
Sebelum menjawabnya, Aina tersenyum simpul. "Makasih ya, Wa. Karena kamu sekarang nama baik aku sudah kembali. Dan untuk itu, aku bakalan memutuskan untuk pergi ke luar negeri bertemu dengan keluarga ibu aku."
"Loh, Na? Kenapa gitu? Apa masih ada yang perlu aku perbaiki lagi?"
Aina menggeleng pelan. " Tidak ada, Wa. Kamu cukup menjadikan dirimu lebih baik lagi. Dan jangan lupa jaga pak Ehan. Jangan pernah kecewakan dia. Teruslah menjadi versimu sendiri. Aku benar-benar senang dan bahagia liat kamu yang sekarang. Semoga kalian berdua bahagia selalu. Aku cuma bisa titip doa saja untuk kalian. Ya sudah, aku cuma mau bilang itu saja. Aku harus pergi sekarang. Assalamualaikum!" salam Aina pada akhirnya, meninggalkan Syazwa yang begitu heran dengan maksudnya.
"Wa'alaikumussalam," jawab kedua insan itu.
Setelah kepergian Aina yang sudah tidak terlihat lagi, dengan ragu Syazwa melayangkan tatapan anehnya kepada Ehan.
"Kenapa?" heran Ehan.
"Awa yakin, Bapak paham dengan maksud Aina. Sekarang, jelasin sama Awa!"
"Maksud kamu?" heran Ehan.
"Bapak merahasiakan sesuatu dari Awa, kan?"
Pertanyaan itupun berhasil membuat Ehan gelagapan. Dia bingung harus menjawab apa. Mungkinkah dia menyatakan kebenarannya saja atau malah berbohong?
"Saya rasa ini belum saatnya kamu tahu Syazwa."
"Kenapa? Bapak takut Syazwa kecewa? Bapak takut kalau Syazwa bakalan gak terima?"
"Ma-maksud kamu?"
"Huh ... Bapak anggap Syazwa gak tau apa-apa?"
Ehan terdiam. "Syazwa tau Pak. Syazwa udah tau semuanya. Bapak, abi, ummy, bang Gevan, dan bang Sahar, kalian gak bakalan bisa bohongi Syazwa sejauh ini. Syazwa udah tau semuanya. Syazwa udah tau! Hiks ... hiks ...!" Tanpa diminta, akhirnya air mata Syazwa mengalir begitu saja. Dan itu membuat Ehan menjadi tidak tega karena.
"Syazwa, sa-"
"Kenapa Pak? Kenapa? Kenapa Bapak sembunyikan ini semua dari Awa? Kenapa?!"
"Sa-"
"Awa tau, Awa bukan cewek baik-baik. Tapi, kenapa kalian memaksa Awa sampai sejauh ini? Kenapa?"
"Syazwa-"
"Jujur, Awa kecewa dengan kalian semua. Sekuat apapun Awa berusaha, Awa sakit Pak. Awa capek!"
"Maaf," hanya kata itu yang akhirnya bisa Ehan ucapkan.
"Bapak sebenarnya ngerti perasaan Awa atau enggak sih?"
Deg. Seketika dada Ehan sakit mendengarnya. Apa maksud gadis di depannya ini? Dia bertanya perihal perasaan gadis itu? Lantas, bagaimana dengan perasaan Ehan?
"Awa capek, Pak. Awa capek!" isaknya yang pada akhirnya memilih untuk meluruhkan dirinya di lantai.
Ehan yang melihat itu, sontak menahan tubuh Syazwa yang hampir saja terduduk di tanah. Dengan sekuat tenaga, Ehan menegakkan tubuh Syazwa kembali, lalu memeluk gadis itu dengan eratnya.
"Maafin saya Syazwa. Saya begitu lemah. Saya gak berani untuk mengatakan semuanya pada kamu. Maaf!" Hanya isakanlah yang Ehan dapatkan. Perlahan-lahan, tangan Syazwa membalas pelukan itu. Membuat Ehan merasakan ada harapan.
"Sudah ya, jangan menangis lagi. Saya tidak bisa melihatmu seperti ini karena saya. Saya merasa sakit melihat air matamu itu."
"Hiks ... hiks ... hiks ...!" Tak lama setelah itu, pelukan itu terlepaskan. Syazwa mulai merasakan tenang.
"Maafin saya, ya?" tanya Ehan, seraya mengusap lembut pipi Syazwa.
"Kamu memaafkan saya, kan?" tanyanya sekali lagi. Dengan air mata yang masih mengalir, Syazwa mengangguk. Dan itu membuat Ehan gemas sendiri.
"Ya sudah, sekarang kita pulang? Atau kamu mau ke suatu tempat?"
"Awa mau pulang aja, Pak."
"Ya sudah. Ayo!"
Dan akhirnya, mereka pun beranjak dari sana dan memilih untuk pulang ke rumah Syazwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exploring Love (End)
EspiritualSyazwa Analisa Syafa Maher. Gadis keturunan arab dan mesir. Anak perempuan satu-satunya dari keluarga Maher yang terpandang seorang pembisnis. Namun, walaupun Syazwa terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, tetap saja gadis itu tidak pernah...