Bab 18

96 4 0
                                    

"Maksud Bapak?"

"Sudahlah, lupakan saja. Ayo, turun!" ajaknya. Dengan ragu Syazwa mengikuti perkataan Ehan, dia pun turun dari mobil dan menghampiri Ehan yang sudah menantinya di luar mobil.

"Kita akan ke mana, Pak?"

"Untuk hari ini, kamu bebas buat ngapain aja."

"Tapi, kenapa gitu Pak? Saya juga mau belajar."

"Karena saya tau, kamu butuh refreshing untuk satu hari. Terlebih, kamu baru saja pulih."

"Mba Syafira cerita, ya?" Ehan hanya mengangguk. Lalu, melangkahkan kakinya menuju tepi pantai dan mendudukkan dirinya di sebuah batang kelapa yang membengkok.

"Sini!" instruksi Ehan, lagi-lagi membawa gadis itu ke dekatnya dan duduk di sebelahnya.

"Kamu tau gak, kenapa saya ngajak ke sini?" tanya Ehan, memandang lurus ke depan.

"Enggak, memangnya kenapa Pak?"

"Karena ini adalah tempat yang menurut saya terbaik. Saya selalu ke sini di saat saya memiliki banyak masalah. Menurut saya, angin di sini mampu membuat pikiran saya lebih plong dan tenang."

"Bisa gitu ya, Pak?" Ehan mengangguk.

"Oh iya, Pak. Kapan-kapan, Awa boleh ketemu istri Bapak, gak? Awa pengen tau seperti apa istri Bapak. Dan pasti istri Bapak sangat mencintai Bapak."

"Kamu tau dari mana istri saya mencintai saya?"

"Itu hanya perasaan saya, Pak. Memangnya istri Bapak tidak mencintai Bapak? Gak mungkinlah Pak. Jika istri Bapak gak cinta sama Bapak, kenapa kalian nikah?"

"Hahaha ... semuanya tidak selalu berdasarkan cinta Syazwa. Terkadang ada keterpaksaan yang membuat kita harus melakukannya. Akan tetapi, kamu harus percaya jika suatu saat nanti akan ada kebahagiaan di atas keterpaksaan itu."

Syazwa terlihat senang hati sekali mendengarkannya. Bahkan, dia tak berhenti untuk menatap Ehan. Entahlah, gadis itu menjadi suka menatap wajah teduh Ehan secara tiba-tiba. Dia sendiri pun bingung dengan dirinya, entah apa alasannya, namun hanya ada kenyamanan yang dia lihat di saat menatap wajah itu, meskipun datar.

"Dan begitulah pernikahan saya. Dulu, saya mengira jika pernikahan ini pasti akan batal. Namun, ternyata dugaan saya salah. Pernikahan itu terus berlanjut, walaupun tak sesuai harapan.  Jujur, awalnya saya sedikit kecewa dengan istri saya. Namun, pada akhirnya semua kekecewaan itu berubah menjadi rasa syukur untuk saya. Istri saya tak seburuk yang saya pikirkan. Hanya saja, dia membutuhkan waktu untuk bisa menjadi dirinya. Satu hal yang harus kamu ketahui. Saat ini, saya begitu mencintai istri saya, namun saya tidak akan berharap seperti apa feedback dari istri saya sendiri. Karena yang terpenting bagi saya, istri saya bisa menjadi lebih baik lagi di saat bersama saya."

"Bapak nangis?" tanya Syazwa. Ehan hanya tersenyum, dan itu mampu membuat Syazwa paham.

"Awa yakin, istri Bapak pasti beruntung banget bisa nikah sama Bapak. Kalau Awa yang jadi istri Bapak, pasti Awa gak bakalan sia-siakan orang seperti Bapak."

Sontak, Ehan mengalihkan pandangannya kepada Syazwa. Merasa tak yakin akan perkataan gadis itu. "Kenapa begitu?"

"Karena menurut Awa, Bapak itu lelaki yang hebat. Bapak mau menerima seperti apa istri Bapak. Ya, walaupun Awa gak tau kebenaran istri Bapak, tapi Awa merasa jika istri Bapak itu mungkin memiliki masa lalu yang sama dengan Awa. Dan untuk berubah itu gak bisa sendiri. Kita butuh yang namanya pembimbing. Sama seperti Awa yang butuh seseorang untuk membuat Awa lebih baik lagi."

Ucapan Syazwa itu malah mendapatkan kekehan dari Ehan. "Kamu katakan saya hebat? Hebat dari mananya Syazwa?"

"Emang sikap Bapak itu gak cukup ya membuktikan betapa hebatnya Bapak?"

"Jadi, maksud kamu, saya jauh lebih baik dari Gibran?"

"Awa gak bilang gitu ya, Pak."

"Terus?"

"Bapak emang hebat. Tapi, tetap saja pak Gibran yang perfect."

"Ooh gitu ... okelah." Akhirnya, keheningan pun menghampiri mereka. Hanya ada deruan angin yang menerpa kulit keduanya.

"Pak," panggil Syazwa, membuat Ehan mengalihkan pandangannya.

"Menurut Bapak, Awa itu orangnya seperti apa? Apakah Awa yang dulu dan sekarang itu udah beda?"

"Kamu? Saya rasa tidak ada yang baik dari diri kamu. Mungkin sudah."

"What? Kok Bapak gitu, sih?"

"Eh? Loh, Bapak kok ninggalin saya?" terkejut Syazwa yang bukannya mendapatkan jawaban, tetapi malah ditinggal pergi.

"Pak!" Akhirnya, Syazwa mengejar langkah Ehan yang bisa dibilang besar tersebut.

"Bapak mau ke mana? Kok main pergi aja, sih?"

"Saya kesal dengan istri saya."

"Loh, emang istri Bapak kenapa? Eh bentar, tapi kok bisa kesal?"

"Dia muji lelaki lain di depan saya."

"Wah ... parah sih, masa gak ngehargai suaminya, sih. Yaudah, sini!"

"Apa?" heran Ehan, menatap tangan Syazwa yang seolah meminta sesuatu.

"Handphone-nya, biar Awa yang ngomong sama buk bos."

"Enggak usah."

"Loh, kenapa?"

"Ingat, kamu bukan siapa-siapa saya."

Deg. Kenapa sesakit itu, ya? Padahal, itu memang benar, bukan? Syazwa bukan siapa-siapa Ehan, dan dia tidak boleh ikut campur perihal rumah tangga orang lain.

Perkataan Ehan barusan, malah membuat Syazwa langsung menunduk. Dia baru menyadari sesuatu hal. Ternyata ini terlihat bukan seperti dirinya. Ada sesuatu yang membuatnya seperti ini, yaitu adalah 'nyaman'.

"Heh, malah bengong!"

"Eh, maaf Pak. Tadi Awa keingat sesuatu. Awa pergi dulu ya, Pak?" pamitnya, membuat kening Ehan berkerut tidak paham.

"Apakah dia marah?" monolognya dalam hati.

"Biar saya antar."

"Tidak usah. Bapak pasti harus bekerja. Awa bisa sendiri."

"Tapi, kamu pergi bersama saya."

"Awa bisa sendiri. Assalamualaikum!"

Hap! Bukan Ehan namanya, jika melepaskan Syazwa begitu saja. Tanpa izin, Ehan menggenggam tangan gadis itu dan membawanya pergi dari sana.

"Perihal yang tadi, maafkan saya. Saya hanya tidak ingin kamu terkena masalah."

"Bapak gak salah, kok. Yang Bapak katakan memang benar, Awa bukan siapa-siapa Bapak. Jadi, memang gak seharusnya Awa terlalu sibuk mengurusi urusan Bapak. Tapi, Awa senang, hari ini Bapak bisa menjadi teman Awa."

"Kamu gak marah, kan?"

"Enggak kok, Pak."

"Ya sudah, sekarang kamu mau ke mana?"

"Bapak bisa antarkan Awa ke suatu tempat?"

"Tentu, memangnya ke mana?"

"Rumah Awa."

Exploring Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang