Seharian di sekolah, membuat Syazwa harus ekstra bersabar. Terutama perihal lontaran demi lontaran yang tertuju pada pakaiannya saat ini. Syazwa baru tahu, ternyata seberat itu ya, rasanya menjadi seseorang yang lebih baik di antara orang-orang yang kurang baik.
Untuk hari ini, rasanya Syazwa sangat ingin cepat-cepat kembali ke rumah. Dia sangat ingin beristirahat. Bukan ingin lari dari semua ini, namun hanya ingin mencari tempat di mana dia bisa merasakan ketenangan.
Namun, keinginannya untuk segera kembali ke rumah, malah urung begitu saja. Di saat dia teringat akan sesuatu hal. Membuat dirinya kembali larut dalam angan.
"Hei!" ucap seseorang membuyarkan lamunannya.
"Eh? Bapak? Bapak ngapain di sini? Bukannya udah jam pulang?" tanya Syazwa dengan wajah polosnya.
"Malah nanya. Seharusnya, saya yang tanya sama kamu. Ngapain masih bengong di sini. Kelas udah sepi, tapi kamu malah ngelamun gak jelas. Mikirin apa?" ucapnya dingin. Lalu, ikut duduk di samping Syazwa, menghadap gadis itu.
"Ih, Bapak ngapain? Jangan dekat-dekat, Pak!" sontak Syazwa langsung menggeser bangkunya.
Dan hal itu malah membuat Ehan mengangkat alisnya, tanda bertanya atas tindakan gadis itu.
"Gak mahram, Pak!" kesal Syazwa.
"Terus? Kalau saya mahram kamu, emang kamu mau dekatan sama saya?"
"Ya ... ya ... ya, itu gak mungkinlah. Secara Bapak bukan siapa-siapa saya. Di tambah lagi, Bapak sekarang sudah punya istri, kan?" ucapnya yang akhirnya dengan berani mengeluarkan segala pertanyaan di benaknya sejak tadi.
"Sebentar, kamu bilang apa tadi?"
"Bapak sekarang sudah punya istri, kan?" cicitnya. Membuat Ehan gemas sendiri dengan gadis di hadapannya ini.
"Kalau iya gimana? Kamu kecewa?" Dan itu sukses membuat Syazwa membulatkan matanya.
"Ya enggaklah! Bapak kira saya apaan, sukanya kok sama Bapak-bapak."
"What? Kamu bilang saya Bapak-bapak? Saya belum setua itu Syazwa. Umur saya dan kamu hanya beda beberapa tahun. Dan kamu sudah berani mengatai saya Bapak-bapak?" ucap Ehan tidak terima.
"Ya, kan memang Bapak-bapak. Buktinya aja Bapak udah punya istri. Sebentar lagi, pasti punya anak. Eh, nanti kalau istri Bapak udah lahiran, jangan lupa kasih tau saya ya, Pak."
"Buat apa? Kan kamu bukan siapa-siapa saya?" jawab Ehan sinis dan mulai larut dengan kecerewetan gadis itu.
"Biar saya culik anaknya. Kebetulan kan Bapaknya ganteng, trus emaknya pasti juga cantik. Jadi, anaknya pasti nanti cantik atau enggak ganteng." Pada akhirnya, pernyataan Syazwa tadi berhasil membuat Ehan menatap gadis itu penuh dengan tanda tanya.
"Kamu bilang apa tadi?" ulang Ehan, membuat Syazwa langsung sadar dengan ucapannya sendiri.
"Eh, enggak. A-anu, kayanya saya harus pulang sekarang deh, Pak. Saya duluan, ya! Assalamualaikum!" salamnya hendak bangkit dari duduknya.
Namun, belum jadi Syazwa melangkahkan kakinya, Ehan sudah dahulu menarik tangan gadis itu dengan lancang. Membuat Syazwa menatapnya dengan terkejut.
"Aaa!!! Astaghfirullah! Bapak, sadar! Bapak itu guru saya, jadi Bapak gak boleh semena-mena gini sama saya. Ya, saya tau Bapak adalah adik sepupu mba Syafira, tapi Bapak harus ingat batasan, Pak! Sadar Pak!" teriak Syazwa begitu heboh. Membuat gendang telinga Ehan terasa pekak begitu saja.
"Yaa Allah, Syazwa. Kamu ini apa-apaan, sih? Telinga saya jadi pekak ini. Lagian, ngapain teriak-teriak gak jelas, sih?"
"Hehehe ... maaf, Pak. Lagian, Bapak sih. Ngapain coba pegang-pegang tangan saya. Ingat loh, Pak! Gak boleh!"
"Heh! Saya pegang tangan kamu itu, supaya kamu gak pergi. Pulang sama saya." Sebentar, Syazwa sedikit lola.
"Bapak ngajak saya pulang bareng? Tapi, rumah kita beda, Pak."
"Saya gak ngajak. Mau serumah?"
Jleb.
Sudahlah, lama-lama bersama Ehan bisa membuat Syazwa gila sendiri ternyata.
"Huh ... ingat istri di rumah, Pak. Yaudah, Awa duluan. Bye!"
"E-eeh!" ucapnya yang sudah mulai melangkah, namun kembali tertarik ke belakang.
"Apalagi sih, Pak?" tanyanya lelah.
"Pulang sama saya atau kamu gak bisa masuk di jam pelajaran saya?"
"Lebih baik gak masuk. Eh, ups!" ceplosnya langsung membekap mulutnya sendiri.
"Ooh gitu, ok! Nilai kamu merah untuk semester ini," putus Ehan, berlalu dari hadapan Syazwa. Membuat gadis itu membulatkan matanya sempurna.
"Eh, Bapak! Jangan gitu dong! Saya bercanda, Pak!" teriaknya langsung mengejar langkah Ehan yang besar. Selama perjalanan menuju parkiran, tiada henti-hentinya Syazwa meminta maaf pada guru ngeselinnya ini.
"Pak, saya mohon! Di cabut ya Pak, persetujuannya." Ehan terlihat tak acuh. Dia terus saja melanjutkan langkah menuju parkiran.
"Yaudah, saya pulang bareng Bapak. Tapi, jangan merahin nilai saya ya, Pak. Bapak kan baik, jadi saya dimaafin kan, Pak?"
"Kalau kamu gak masuk dalam hitungan 5 detik, nilai kamu akan saya merahin." Sontak, dengan gercepnya Syazwa langsung masuk ke dalam mobil itu. Dan kali ini dia memilih untuk duduk di depan daripada di belakang. Karena dia sudah tau bagaimana akhirnya nanti
"Gak jadi merahkan, Pak?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Akh! Kenapa harus puppy eyes, sih?" geram Ehan di dalam hatinya.
"Jangan sok imut di depan saya!" dingin Ehan, merubah ekspresi Syazwa menjadi tak bersemangat lagi.
"Kalau ada yang liat kamu kaya gitu selain saya gimana? Saya gak rela harus berbagi dengan orang lain loh," ucap Ehan, membuat Syazwa malah ambigu.
"Huh ... Bapak, benar-benar ya! So, gimana? Nilai saya gak merah kan, Pak?" tanyanya serius.
"Akan saya pertimbangkan lagi."
Sudahlah, berbicara dengan Ehan hanya akan menguras kesabaran Syazwa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exploring Love (End)
ДуховныеSyazwa Analisa Syafa Maher. Gadis keturunan arab dan mesir. Anak perempuan satu-satunya dari keluarga Maher yang terpandang seorang pembisnis. Namun, walaupun Syazwa terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, tetap saja gadis itu tidak pernah...