"Ummy, Abi, Ehan pamit dulu, ya!" ucap Ehan seraya mencium punggung tangan kedua orangtuanya yang diikuti oleh Syazwa.
Perihal kakak dan kakak iparnya Ehan, mereka sudah dahulu pulang ke rumah mereka, karena Kiano yang tiba-tiba rewel begitu saja.
"Ya sudah, kapan-kapan tidur di sini ya."
"Iya, Ummy. In Syaa Allah!"
"Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumussalam," jawab Fatimah dan Abyan seraya menatap kepergian menantu dan anaknya itu.
"Bahagia banget ya My, bisa ngelihat anak-anak kita udah menemukan masa depannya."
"Iya, Bi. Rasanya, dulu Ummy masih gendong-gendong mereka di sini, tapi sekarang Ummy malah melepas mereka pergi."
"Gak nyangka aja My, waktu berlalu gitu aja. Biasanya Abi kalau pulang kerja pasti mereka sambut karena minta di peluk, sekarang Abi udah gak bisa ngerasain itu. Abi cuma punya Ummy sekarang. Tapi, Abi tetap bahagia walaupun begitu. Karena akhirnya tugas kita udah hampir selesai."
"Abi benar, Ummy juga senang kalau lihat mereka senang kaya gitu."
"Ya sudah, kita masuk sekarang yuk! Udaranya mulai dingin."
"Iya, Bi."
...
"Pak," panggil Syazwa menatap Ehan yang sedang sibuk dengan stirnya.
"Kayanya ke rumah mba Syafira-nya lain waktu aja," ucap Syazwa, membuat Ehan mengalihkan pandangannya sejenak.
"Loh, kenapa?"
"Ini sudah malam, takutnya ganggu mba Syafira dan mas Herfan. Apalagi ada Harfi yang mungkin udah tidur jam segini."
"Ooh ... yaudah, kalau gitu kita langsung ke apartemen saya saja atau kamu mau mampir ke supermarket dulu?" tawar Ehan.
"Em ... di rumah Bapak ada apa saja memang?"
"Bahan-bahan masakan ada sih, tapi kalau kamu mau beli cemilan nanti saya antarkan ke supermarket."
"Yaudah, kita langsung ke apartemen aja, Pak. Lagian, Awa juga gak bawa uang."
"Yaa Allah, kan ada saya Syazwa. Saya yang akan bayar semua yang kamu mau."
"Loh, emang boleh?"
"Boleh lah, saya kan suami kamu."
"Kirain gak boleh," jawab Syazwa dengan nyengir dan itu malah membuat Ehan gemas sendiri.
"Ya sudah, kita pulang ya?"
"Iya Pak."
...
Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mereka akhirnya sampai di apartemennya Ehan. Sesampainya di sana, Ehan langsung saja mengajak Syazla turun dan membawa gadis itu menuju pintu apartemennya yang terletak di lantai lima.
"Pak, kata sandinya apa?" tanya Syazla menatap pintu apartemennya itu.
"Ulang tahun kamu."
"Emang ulang tahun Awa kapan?" tanyanya dengan polos.
"Lupa?" tanya Ehan yang langsung digelengi oleh Syazwa.
"Terus?"
"Awa bercanda Bapak."
"Ya sudah, sana dibuka!"
Syazwa langsung saja menekan angka sesuai dengan tanggal ulang tahunnya. Namun, gagal.
"Loh, kok gagal?" herannya, lalu menatap Ehan.
"Tahunnya kamu salah Syazwa."
"Eh, iya" cengirnya yang langsung mengulangnya kembali dan akhirnya pintu itupun terbuka.
Betapa terkejutnya Syazwa menatap apartemen Ehan saat ini. Apartemen ini seolah-olah bukan terlihat seperti apartemen, melainkan seperti rumah impiannya.
"Pak, ini apartemen Bapak?" tanyanya dengan langkah mulai menyusuri ruangan dan membiarkan Ehan membawa kopernya.
"Iya, maaf ya kalau ini tidak sebesar rumah kamu."
"Ih, Bapak jangan ngomong gitu. Awa malahan suka sama apartemen ini, Pak. Ini benar-benar perfect di mata Awa."
"Alhamdulillah, ya sudah saya mau letakin ini di kamar dulu. Kamu kalau capek duduk saja dulu, nanti saya buatkan minum."
"Eh, jangan! Seharusnya Awa yang buatkan Bapak minum. Bapak mau apa? Biar Awa buatkan," ucap Syazwa membuat senyuman Ehan langsung mengambang begitu saja.
"Kopi saja, ya. Gulanya cukup 1 sendok teh saja."
"Ya sudah, Awa ke dapur dulu." Syazwa pun langsung bergegas menuju dapur dan begitupun dengan Ehan yang langsung pergi menuju kamarnya untuk meletakkan koper istrinya itu.
Setelah itu, Ehan kembali keluar dari kamarnya dan memilih untuk menuju dapur karena tidak mendapati keberadaan Syazwa di ruangan sebelumnya.
"Sudah selesai?" tanya Ehan, menghampiri istri kecilnya itu.
"Belum, sebentar ya Pak, ini Awa kacau dulu kopinya." Lagi-lagi, Ehan tersenyum menatap istrinya itu. Entah kenapa, setiap melihat tingkah Syazwa membuat Ehan mudah selalu terhibur.
"Bapak kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Syazwa menyadari tindakan Ehan.
"Salah ya, kalau saya senyumin istri saya?"
"Enggak sih, cuma buat Awa takut aja gitu."
"Loh, takut kenapa?" heran Ehan.
Bukannya menjawab, gadis itu malah menyodorkan kopi itu pada Ehan yang langsung diminum oleh Ehan.
"Enak gak?" tanyanya yang langsung diangguki oleh Ehan.
"Bapak gak suka yang manis?" tanya Syazwa meletakkan kopi tadi di meja kompor sebelahnya.
"Suka, cuma manisnya kan udah ada sama kamu."
Blush!!!
"Eh, kok pipinya malah merah gitu?"
"Bapak jangan kaya gitu, Awa malu."
"Hahaha ... ternyata istri saya ini bisa malu juga?" ejeknya malah membuat Syazwa langsung masuk ke dalam pelukan Ehan.
"Lucunya," lirih Ehan yang ikut membalas pelukan itu dan membiarkan Syazwa mendusel-dusel di dadanya.
"Pak," panggil Syazwa yang setelah itu melepaskan pelukannya dari Ehan.
"Kenapa?"
"Bahasa arabnya aku mencintaimu apa, ya?"
Ehan mengangkat alisnya satu. "Em ... Ana uhibbuka fillah," ucap Ehan dengan menatap Syazwa heran.
"Ahabbakalladzi ahbabtani lahu, Pak."
Cup!
Blush!
Syazwa langsung saja pergi dari sana, membuat Ehan menegang di tempatnya. Bisa-bisanya istri kecilnya itu membuat dirinya malu seperti ini.
"Awas kamu Syazwa!" ucapnya yang malah membuat tawa Syazwa kian menggempar bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exploring Love (End)
SpiritualSyazwa Analisa Syafa Maher. Gadis keturunan arab dan mesir. Anak perempuan satu-satunya dari keluarga Maher yang terpandang seorang pembisnis. Namun, walaupun Syazwa terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, tetap saja gadis itu tidak pernah...