Bab 9

88 5 0
                                    

Selama diperjalanan pulang, suasana di dalam mobil Hevan tak henti-hentinya menjadi mencekam. Dan itu semua tentu membuat Syazwa ketakutan.

"A-"

"Jangan bicara! Abi tidak mau mendengarkan apapun darimu!" bentak Hevan begitu saja. Membuat Syazwa benar-benar kehilangan nyalinya.

Hanya dengan meremas tanganlah, sedikit rasa takutnya hilang. Namun, tetap saja, amarah Hevan tak akan bisa membuatnya tenang.

"Turun!" titah Hevan, tatkala mereka telah sampai di rumah. Dengan menunduk takut, Syazwa turun dari mobil itu, mengiringi langkah Hevan.

"Assalamualaikum!" salam Hevan, namun tidak dengan Syazwa.

"Wa'alaikumussalam. Loh, Abi? Kenapa pulang secepat ini? Tumben sekali," sambut Aletta.

"Azwa? Eh, ini putri Ummy kenapa?" tanya Aletta khawatir, melihat wajah Syazwa yang memerah, menahan tangisnya.

"U-ummy," gemetar Syazwa, lalu langsung memeluk tubuh Aletta begitu erat. Dan sungguh, itu membuat Aletta terkejut.

"Yaa Allah, ini ada apa?" tanyanya, membalas pelukan Syazwa yang diiringi oleh tangisan gadis itu.

Melihat putrinya yang seperti ini, membuat Hevan menghela napasnya. Dia benar-benar tidak menyangka, jika putri yang selama ini dia unggulkan akan bersikap seperti ini kepada orang lain. Bahkan, sampai memaki seperti tadi.

"Kenapa kamu melakukannya? Bukankah, Abi sudah pernah mengatakan. Jangan pernah melontarkan ucapan yang tidak baik kepada orang lain! Tapi, apa yang kamu lakukan? Wa! Selama ini Abi sudah cukup sabar dengan sikapmu ini. Tapi, tidak untuk kali ini. Abi tidak bisa membiarkanmu seperti ini. Maka, keputusan Abi untuk menjodohkanmu sudah bulat!"

Deg.

"Bi?" tanya Aletta terkejut.

"Me-menjodohkan?"

"Abi, kenapa harus dengan cara ini?" tanya Aletta.

"Abi tidak ada pilihan lain, My. Hanya ini cara satu-satunya, agar Azwa bisa mengerti. Dia tidak bisa dinasehati dengan cara biasa. Dan hanya inilah cara satu-satunya. Abi yakin, orang yang akan Abi jodohkan dengan Azwa adalah lelaki yang tepat untuk dia. Dan keputusan Abi sudah bulat." Setelah mengatakan itu, Hevan pun pergi dari sana. Meninggalkan ibu dan putri itu.

"Ummy," lirih Syazwa, kembali memeluk Aletta dengan tangisan yang semakin memecah.

"Kesalahan apa yang sudah kamu lakukan, Nak? Sebegitu marahnya abimu padamu."

"A-azwa khilaf, My. Da-dan ini semua adalah kesalahan Aina. Dia yang sudah buat abi begini! Jika bukan karena dia, abi tidak akan mungkin berlaku seperti ini kepada Azwa. Azwa benci dia! Dia wanita munafik yang pernah Azwa kenal!" racau Syazwa, yang mengundang seribu tanda tanya dibenak Aletta.

"Azwa, kenapa berbicara seperti itu? Bukankah, Ummy dan abi tidak pernah mengajarkanmu begitu? Sekarang, Ummy tau kenapa abimu marah besar."

"Sayang, dengarkan Ummy. Tiada satupun amarah yang lebih baik daripada diam. Kamu mencaci maki sahabatmu seperti ini, sama saja kamu mencaci maki dirimu sendiri. Sudah seberapa lebih baik kamu daripadanya? Alhamdulillah jika sudah, jika tidak? Tapi, walaupun kamu sudah baik, belum tentu di mata Allah perangaimu ini akan menjadi baik juga. Jujur, Ummy juga marah dengan tingkahmu ini. Tapi, bagaimana pun kamu adalah putri Ummy. Dan tugas Ummy adalah memberikanmu nasehat selalu."

"Ummy juga nyalahin Azwa?"

"Bukan Ummy menyalahkanmu, ta-"

"Ah, udahlah! Azwa capek! Semuanya sama aja! Azwa benci kalian!" Dengan air mata yang terus mengalir, Syazwa berlari untuk menuju kamarnya.

Setiba di kamar pun, Syazwa malah memberantaki semua  barang-barang yang ada di dalam kamar. Tidak ada satu terkecuali pun, selain isi dari lemarinya. Dia benar-benar di ambang kesadaran.

"Aina! Gue benci lo!" teriaknya menggila, setelah selesai mengobrak-abrik semuanya.

"Kenapa sih, harus lo yang gue kenal? Kenapa?!"

"Seharusnya, gue gak pernah kenal lo!"

"Lo benar-benar udah hancurin hidup gue!"

"Gue membenci lo Aina!"

"Gue benci lo!"

"Gu-gue benci lo," isaknya mulai memelan, dan diakhir dengan terduduk lemas di lantai yang begitu dingin menyentuh kulit.

"Kenapa harus gini, sih?"

"Kenapa harus lo?"

"Dan kenapa harus gue?"

"Kenapa gak lo yang berada di posisi gue?"

"Kenapa?!"

"Akh!"

Bugh!

...

"Assalamualaikum, Abi!" salam Ehan memasuki ruangan kepala sekolah, yang tak lain adalah ruangan Abyan.

"Wa'alaikumussalam, silahkan duduk, Nak!"

"Abi ada apa memanggil Ehan?"

"Terburu-buru sekali, Nak? Ada jam ngajar, ya?"

"Tidak Abi. Semuanya sudah selesai. Hanya saja, Ehan ingin ke kantor sebentar," jelasnya.

"Baiklah. Abi ingin tau, sekarang kamu sudah memiliki calon?"

Deg.

"Ma-maksud, Abi?"

"Maksud Abi, apakah kamu sudah memiliki wanita yang akan kamu jadikan istrimu nantinya?"

"Em ... Ehan belum ada kepikiran itu, Bi."

"Kenapa belum, Nak?"

"Ehan, belum bisa untuk membina rumah tangga. Ehan masih mau fokus dengan pekerjaan Ehan dulu, Bi."

"Nak, dengarkan Abi. Membina rumah tangga itu bukan suatu hal yang harus kamu pikirkan begitu panjang. Tapi, harus kamu coba buat berlatih. Abi yakin, di umurmu yang mungkin sudah cukup ini, kamu bisa membina rumah tangga dengan baik. Apalagi, tidak ada yang harus ditakuti, bukan? Kamu sudah berpenghasilan seperti ini. Dan kamu juga sudah memiliki pemikiran yang dewasa."

"Abi memiliki calon untukmu, jika kamu belum memiliki calon. Dan nanti malam, kita akan kerumahnya. Apa kamu bisa?"

"Ab-"

"Ehan, Abi yakin, ini adalah yang terbaik untuk kamu."

"Ta- Ya sudah, demi Abi."

"Terima kasih, Nak. Abi yakin, keputusanmu ini tidak akan pernah salah. Dan pilihan Abi tak akan pernah melenceng sedikitpun."

"Aamiin ... Ya sudah, kalau gitu Ehan permisi dulu, Bi. Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh!" Setelah itu, Ehan langsung saja melangkahkan kakinya keluar dari sana. Dengan perasaan kacaunya, Ehan bergumam dalam diam, "Kenapa secepat ini Yaa Rabb? Engkau tahu, jika beberapa hari ini ada seseorang yang sudah mengalihkan perhatian hamba."

Exploring Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang