Bab 2

196 5 0
                                    

Setelah selesai dengan sarapannya tadi, Syazwa langsung saja berangkat ke sekolahnya seorang diri. Di umur 17 ini, Syazwa diizinkan dengan keterpaksaan untuk mengendarai mobil ke sekolahnya.

Jujur saja, Hevan tidak rela, jika putrinya harus seperti ini. Harus mendesak setiap kemauannya. Syazwa benar-benar berbeda dari kedua kakaknya yang sangat penurut dengan orang tuanya. Bahkan, dalam hal prestasi pun, Syazwa selalu saja berbanding terbalik dari kedua kakaknya.

"Wa!" panggil Aina—sahabat Syazwa yang selalu sekelas dengannya sedari SMP.

Aina itu orangnya sebelas dua belas dengan kakaknya Syazwa, hanya saja Aina itu perempuan, bukan laki-laki. Syazwa dan Aina itu bagaikan magnet, ke mana-mana dan apapun itu, harus berdua. Tapi, sayangnya perilaku dan akhlak Aina saja yang belum ia tarik.

Sekalipun mereka berpisah, Syazwa pasti akan mencari berbagai cara agar bisa bersama dengan Aina. Karena bagi Syazwa, Aina itu bagaikan kakak kandung yang bisa mengerti dirinya. Tidak seperti kakak-kakaknya di rumah itu.

Pernah sekali, Syazwa dan Aina berpisah kelas. Namun, dengan modal merengek pada ayahnya, Syazwa berhasil sekelas selalu dengan Aina. Bukannya apa, tapi Syazwa benar-benar tidak mau berpisah dengan Aina. Begitulah kalau sahabat sudah menjadi saudara kandung. Pahamkan?

"Iya, kenapa?" tanya Syazwa, mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

"Tugas Biologi udah kamu buat?" tanya Aina, membuat Syazwa menepuk jidatnya.

"Hehehe, lo tau kan, Na. Gue itu orangnya pelupa. Jadi, boleh minjam, ya?" modusnya. Padahal, memang sengaja dilupakan.

"Ini kali terakhir, ya! Aku gak mau kamu malas-malasan kaya gini lagi," tutur Aina menasehati. Namun, malah diangguk-angguki tanpa rasa bersalah oleh Syazwa.

"Nih!" Dengan senang hati, Syazwa menerima buku itu dan langsung mengerjakan tugas yang katanya "terlupakan".

Kring!

Baru saja tangannya menuliskan angka satu, dan bel sudah berbunyi saja? Tidak, ini tidak bisa dibiarkan.

"Mati gue! Kalau pr ini gak selesai, bisa-bisanya gue kena amuk masal tu emak-emak!" batinnya, merutuki dirinya sendiri.

"Na, lo jangan santai gitu dong! Gue panik, nih! Daripada lo komat-kamit gak jelas, mending lo bantuin gue mendikte ini!" ucapnya yang terus saja berusaha menyalin setiap apa yang ada di buku Aina.

"Astagfirullah, kamu ini Wa! Yaudah, sini!" sabar Aina. Lalu, mulai mendiktekan segala tulisannya kata demi kata.

...

"Ta-"

"Selamat pagi anak-anak!" sapa bu Ainun memasuki kelas. Membuat pergerakan Syazwa dan Aina seketika berhenti. Dan membuat jantung Syazwa berdetak lebih cepat daripada biasanya.

"Pagi, Bu!" sahut semuanya, kecuali Syazwa. Sebab, gadis itu tengah berdoa di dalam hatinya. "Yaa Allah, Syazwa kan gak pernah buat salah. Nah, sekarang Syazwa minta satu hal ini aja, Yaa Allah. Tapi, tolong kabulin Yaa Allah. Lupakanlah bu Ainun akan tugas yang ia berikan minggu lalu Yaa Allah. Dan kalau bisa, jadikanlah bu Ainun orang yang benar-benar pelupa, Yaa Allah. Aamiin ...."

"Syazwa ngapain kamu?" tegur bu Ainun, menatap aneh ke arah Syazwa yang selesai mengusap kedua wajahnya.

"Berdoa ibuk cantik. Kan kita sebagai muslim harus berdoa," jawab Syazwa dengan senyuman manisnya. Dan saking manisnya, sampai-sampai membuat orang lain geleng-geleng kepala.

"Bagus, kali ini kamu patut dicontoh," apresiasi bu Ainun.

"Loh, kenapa kali ini aja, Bu?" tanyanya pura-pura tidak tau diri.

"Ya kan biasanya kamu tukang buat onar. Dan tumben-tumbenan kamu bisa benar kaya gini," jelas bu Ainun tanpa ragu sedikitpun.

"I-"

"Yaudah, anak-anak. Silahkan, tugas kalian minggu lalu dikumpulkan di meja saya!" potong bu Ainun, spontan membuat Syazwa kalang kabut.

Hanya dirinya yang tidak membuat. Sedangkan, yang lainnya begitu tenang akan tugas mereka yang sudah selesai.

"Syazwa, mana tugasmu?" tanya bu Ainun, menghasilkan cengiran dari Syazwa.

"Ada kok Bu," jawab Syazwa dengan tenangnya. Beda cerita lagi dengan Aina yang menatap miris sahabatnya ini.

"Mana? Kenapa tidak saya temui?" tanya bu Ainun penuh selidik.

"Katanya, dia malu ketemu Ibu, Bu," jawab Syazwa sekenanya.

"Kenapa malu?"

"Soalnya, ibuk kelewatan cantik sih, sedangkan dia burik!"

Wahaha

Gelak tawa menggelegar begitu saja, menghiasi seisi kelas ini. Tak terkecuali, bu Ainun yang ikut malu-malu kucing karenanya.

Namun ...

"Syazwa! Ke depan kamu!" titah bu Ainun membuat Syazwa menghela napasnya.

"Kenapa Ibu?" tanga Syazwa dengan memelas.

"Apanya yang kenapa?" tanya balik bu Ainun.

"Kenapa Ibu selalu bikin saya terngiang-ngiang ee," jawab Syazwa yang lagi-lagi ngasal.

"Berdiri di depan dengan satu kaki, dan jangan mencoba untuk bersandar, sampai jam saya selesai!"

...

"Wa!" panggil Aina, seraya memberikan sebotol air mineral ke Syazwa yang menenggelamkan wajahnya di bawah lipatan tangannya.

"Kenapa?" ketus Syazwa, membuat Aina mengernyit bingung. Namun, tetap saja Aina menyodorkan botol itu ke arah gadis itu.

"Nih, diminum!" jawab Aina, lalu duduk di sebelah Syazwa.

"Kenapa bete gitu?" tanyanya, setelah Syazwa menerimanya.

"Ya betelah, masa tiga jam gue harus berdiri di depan dengan satu kaki. Kaya kurang kerjaan banget gue," ucapnya kesal.

"Ya, siapa suruh kamu malas gini?" kesal balik Aina.

"Heh? Jadi, lo juga nyalahin gue?" ketus Syazwa dengan sengitnya.

"Yaelah, makanya lain kali, kalau dikasih tugas itu dikerjain, jangan dibiarin!" nasehat Aina dengan sabarnya.

"Ya kali gue harus belajar di rumah. Rumah itu tempatnya istirahat. Nah, kalau sekolah itu, baru benar tempatnya belajar. Jadi, kalau dikasih tugas, ya tinggal buat di sekolah, lah. Apa susahnya, sih?" jawabnya enteng.

"Ya, kalau kaya gitu, jadinya kaya gini juga, kan?" frustasi Aina.

"Itu cuma waktu aja yang gak berpihak sama gue," sanggahnya lagi.

"Huh ... terserah kamu aja deh, Wa. Aku mau kekantin dulu, bye!"

"Eh, tungguin, gue!" teriak Syazwa, bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah Aina yang tak berhenti sama sekali.

"Nah kan, pasti marah."

Exploring Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang