1 - Si Tengah

519 22 3
                                    

Ku rasa dunia tidak perlu tahu, aku pun tidak ingin semua orang harus mengetahui cerita ku. Bahkan aku menulis ini hanya karena bosan saja.

Ini bukan diary, tapi aku harap ini sebuah cerita yang tak membosankan. Hangatnya Yogyakarta tidak bisa lepas dari orang-orangnya, kenangannya, suasananya dan rumah ku. Barangkali kamu akan mengira yang aku maksud adalah sebuah bangunan dengan pintu, jendela, gerbang pintu mungkin untuk kamu yang punya seperti punya ku. Tapi rumah yang aku maksud adalah kakak dan adik ku, maaf aku terbiasa memanggil mereka dengan sebutan Mas dan Dek. Seperti kata Bapak, orang Jawa setidaknya harus berbicara dan berperilaku seperti orang Jawa. Paling tidak aku bisa memenuhi untuk cara berbicara, karena untuk tingkah laku ku sepertinya jauh dari pemahaman orang luar tentang orang Jogja.

Yogyakarta atau Jogja, bagi ku sama saja. Kalau aku memahaminya Jogja adalah penulisan  untuk Yogyakarta secara singkat. Aku pun jarang mendengar seseorang berkata Yogyakarta atau Yogya menggunakan huruf Y, justru lebih sering menggunakan huruf J. Ku rasa itu pilihan, apapun yang penting daerah ini menjadi teman ku saat ini.

Maaf, aku melamun sejak tadi di depan hasil foto dari kamera kakak ku. Aku harus segera ke dapur karena kakak ku sudah berteriak memanggil ku.

"Triya! Gayatri!" bisa kau dengar suara kencangnya memanggil ku?

Dengan susah payah aku turun dari lantai atas menuju lantai bawah, menemukan dirinya sedang berkacak pinggang di depan rice cooker yang terbuka oleh tangannya.

"Lembek" ucapnya, samar ku lihat wajah kecewanya.

"Yah..." kata ku tanpa bersuara, hanya bibir ku yang terbuka.

"Di back aja Mas, atau cancel gitu. Siapa tahu bisa diulang pas jadi beras"

Adik ku, memang punya banyak ide. Maaf, tapi idenya selalu aneh. Bukan kreatif, tapi dia memang aneh.

"Yo wes, yo wes  sini aku bikinkan lagi"

Ku langkahkan kaki ku dengan segera dari depan tangga hingga depan rice cooker kemudian hendak mencabut kabel dari alat tersebut.

"Mau ngapain?" tangan ku berhenti, ku pandang sosok di samping ku dengan heran "dicabut, ganti yang baru". Ia menggeleng kemudian menutup alat tersebut dan meletakan tangan ku.

"Nasi udah jadi bubur, biarin. Mau kasih tahu aja kalau ini dibiarin dulu beberapa menit, jadi sabar masih nanti makannya" ucapnya, tanpa tersenyum. Sudah biasa diri ku melihatnya seperti itu, bukan berarti dia tak pernah tersenyum tapi ketika situasinya seperti ini di saat salah satu dari kami melakukan kesalahan pasti dia jadi serius.

"Makanya dihitung perbandingan air dan berasnya dek, jadi cewek kok begini gak bisa"

Aku. Sebal. Banget. Sungguh.

Sebagai seorang wanita bukan berarti kamu harus dituntut untuk bisa ini dan itu seperti ekspektasi orang lain, menurut ku semua orang punya standarnya masing-masing. Tapi kalau sudah berurusan dengan dirinya, semua harus memenuhi standarnya. Rasanya ingin ku kuras, ku injek, ku jambak. Tapi tidak bisa karena dia Mas Nara.

Namanya Narayana, diambil dari seorang tokoh pewayangan. Kalau sudah tua namanya Krisna. Kalau di wayang kadang warnanya hitam seluruh tubuh, kadang yang berwarna hitam hanya wajahnya saja dan tubuhnya berwarna emas sebagai cerminan dari warna kulit. Sikapnya bijaksana sejak kecil, sama seperti Mas Nara juga punya tiga saudara. Perbedaannya nasib tokoh tersebut seperti diri ku, anak tengah.

Narayana, tapi Bapak dan Ibu memanggilnya Nara saja supaya lebih singkat, jelas, padat, titik. Aku pun dibiasakan untuk memanggilnya Mas Nara.

Kalau dilihat-lihat wajah Mas Nara lebih mirip dengan wajah Ibu dibandingkan Bapak, dari mata, hidung, bibirnya. Namun, tetap saja ada pembedanya. Misalkan Ibu itu perempuan , kalau Mas Nara laki-laki. Beda kan?

SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang