6 - Mahasiswa Studi Banding

54 5 0
                                    

Layar ponsel ku menyala memunculkan sebuah notifikasi dari personal chat, aku tak menduganya kali ini seseorang yang selama ini jarang sekali berkomunikasi dengan diri ku pada akhirnya menghubungi ku juga. Entah apa yang membuat seseorang ini merasa perlu untuk menghubungi ku ketika apa yang Ia kirim bahkan tidak ingin ku lihat sama sekali. Tapi aku bisa apa, dia Bapak ku sendiri.

Kita diskusi soal kamu ikut sbmptn lagi ya bareng Juna

Kata-kata Bapak di personal chat terbayang-bayang dikala Saka dan Winda mengobrol di depan ku, namun suara mereka seperti sebuah dengungan. Jika aku harus menuruti permintaan Bapak, artinya tidak ada lagi Saka dan Winda dalam hidup ku. 5 Sekawan pun tak bisa ku lihat sepanjang hari lagi, dan aku harus mencari teman lagi. Mungkin tidak akan sebaik 5 sekawan yang kehilangan orang kelimanya.

Begini saja sudah ada bayangan yang begitu realistis di mata ku.

"Tri jangan bengong, kesambet baru tahu rasa" ucap Saka, tangannya menepuk punggung ku dengan pelan membuat ku tersadar.

Ku kedipkan mata ku beberapa kali, berusaha untuk fokus pada apa yang harus ku kerjakan saat ini.

"Yah, bengong kan bener? Apa ngantuk?" ucap Winda.

"Ngantuk!" jawab ku bohong.

Setelah itu, kembali aku fokus pada pembahasan kami bertiga. Pasti sendari tadi aku melamun telah meninggalkan banyak percakapan antara dua manusia di depan ku ini.

Selesai kelas kami pun berjalan keluar menuju lantai bawah gedung kampus.

"Kalian langsung ke rumah Triya?" tanya Saka.

"Ikut aja Sak, gabung" ajak Winda.

"Gak deh makasih, mau main basket aja. Eh Tri! Jadi mau kenalan sama Malvin gak? Pasti ada tuh anaknya di lapangan"

Gara-gara percakapan dengan Bapak dengan mudahnya aku melupakan gundah gulana ku pada anak populer itu, besarya popularitasnya tak mempengaruhi diri ku untuk mengenal seorang Malvin.

"Jadi aku manggil Malvin aja nih Sak? Is it okay?"

"Gak apa-apa, lagian dia kok yang minta begitu. Malah dia canggung kalau ada yang pandang dia sebagai senior" ucap Saka.

Kami bertiga terus berjalan menuju lapangan basket, rasanya jantung ku berdebar-debar. Sudah keberapa kalinya jantung ini bersenam ria? Bisa-bisanya aku menguji ketahanan detak jantung ku sendiri.

"Win aku takut deh..." bisik ku.

"Bingung yak ngomongnya gimana?" balasnya, wanita ini memang benar-benar mengerti lagat ku sebagai seseorang yang tidak mudah berkenalan dengan orang lain. Aku pun mengangguk.

"Kalau dia orangnya emang asik, berdoa saja dia yang punya banyak topik. Kamu tuh fokus aja sama tujuan kamu deketin dia"

"Dibilang aku gak mau deketin dia...!"

"Gak usah bohong sama temen sendiri Tri"

"Serius ndak Win, aku penasaran sama orang lain..." ucap ku masih berbisik. Tanpa sadar tubuh kami semakin berdempetan dan semakin menjauh dari Saka, laki-laki itu tetap lurus pada jalannya sedangkan kami semakin mengarah ke kiri.

"Heh, jalannya gimana sih kalian?" ucap Saka berbalik melihat kami berdua, tersadar kami pun memisahkan diri. Aku meraih tangan Winda dan berlari sembari menariknya menuju Saka.

Kini kami sampai di lapangan basket kampus, beberapa mahasiswa laki-laki pun ada disana. Diri ku dan Winda seperti dua perawan diantara banyaknya laki-laki disini, lengan ku ditepuk beberapa kali oleh Winda.

SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang