25 - Kehilangan

63 5 1
                                    

Written by Narayana.

Malam ini sunyi, bahkan suara jangkrik pun tidak bisa aku dengar. Kala waktu motor bersuara hanya sekedar lewat, tapi bukan berisik bagi ku. Kembali mengurung diri dalam sebuah ruangan dengan jendela yang sangat sedikit. Hanya dengan cahaya lampu berwarna kuning remang yang mampu membuat kamar ku lebih berwarna dan menyala.

Berdiam diri dalam keheningan tanpa damai di hati, anehnya aku sangat menikmatinya. Padahal aku butuh orang, butuh percakapan. Namun, aku sedang berproses. Berusaha untuk tabah dan merelakan jatuh cinta pertama ku hilang begitu saja. Ia bahkan tak sempat mampir dalam mimpi ku sebelum meninggalkan dunia dimana aku dapat bertemu dengannya.

"Halo Jon, gua titip anak-anak dulu ya" ucap ku pada dia yang ada di tempatnya, aku hanya berbicara melalui sambungan telfon.

"Abis ditolak? Atau karena bokap lo?"

"Lebih parah"

Ku tutup telfon sebelum Ia bertanya lebih lanjut.

Sebuah ketukan pintu ku dengar, tertatih aku berjalan menuju gagang pintu kemudian menarik ya ke bawah agar pintu dapat terbuka. Seorang perempuan berdiri dengan pakaian berwarna gelap, sama seperti ku.

"Mas Nara, yuk" ucapnya, tetap tersenyum meski sama hancurnya dengan ku.

Kalau dipikir reaksinya justru jauh lebih baik dari ku, mata ku telah sembab akibat derasnya air mata semalam. Ruam merah di sekitar hidung sudah pasti terlihat jelas, aku tidak dapat menutupi sedihnya kehilangan.

Tapi tidak dengan Triya, Ia masih mampu memperlihatkan senyumnya. Meski Bapak yang telah datang hanya membawa petaka untuknya.

Semua salah Triya, Ibu meninggal karena Triya, Triya seenaknya membujuk Ibu balik ke Jogja sendirian. Semua itu terlontar dari bibir Bapak, salah satu orang tua kami. Kini menjadi satu-satunya.

"Mas, ayo. Ditunggu Bapak dan Dek Juna" ucapnya,

Ia mengganggu pelan kemudian memegangi tangan kanan ku.

"Jangan bohong..." lirih ku, suara ku terdengar sangat buruk.

"Mas tenang aja. Yuk" ajaknya lagi.

Aku melihat Bapak bersiap-siap dengan beberapa orang dan di depan rumah. Juna hanya duduk di sofa tanpa TV yang menyala, tanpa melakukan apapun.

Triya menepuk pundak Juna, perlahan Juna menengok. Air matanya masih saja mengalir, isakannya terdengar meski bibirnya tertutup rapat. Aku mendatanginya hanya untuk sekedar memberi pelukan, karena aku tidak bisa apa-apa.

"Triya disini aja, gak perlu ikut pemakaman"

Suara Bapak membuat ku menengok, ku lepaskan perlahan pelukan ku pada Juna dan menatap Bapak tajam. Sambil mengolah emosi ku yang menggebu kembali karena ucapannya.

"Pak, semua kehilangan Ibu. Jangan bikin asumsi soal kematiannya, polisi sudah jelaskan mobil Ibu sendiri yang berbelok sampai menabrak truk. Bukan salah Triya"

Bapak mengendus kesal, sedangkan aku masih dapat melihat Triya yang diam berdiri. Ku ambil tangannya dan membawanya ke motor, adik ku semua harus ikut melihat Ibu untuk terakhir kalinya. Triya ikut aku ke acara pemakaman, sedangkan Juna dengan Bapak menggunakan kendaraan umum. Bapak kesini menggunakan pesawat sehingga tidak membawa mobilnya.

Meskipun acara pemakaman ini lebih bersifat individu apa lagi bersifat tiba-tiba, tetap saja ada beberapa orang yang datang. Bukan hanya keluarga, namun teman-teman Ibu juga. Bu Seroja datang sebagai teman dekat Ibu, kini aku dapat melihat teman-teman Ibu lainnya. Teman Bapak pun datang meski aku tak kenal siapa saja mereka itu.

SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang